Rabu, 27 November 2013

Teori Postmodernisme dan Postkolonialisme

A. DASAR-DASAR POSTMODERNSISME

1. Menuju Kemapanan

Kehadiran postmodernisme di kalangan peneliti budaya me­mang masih kontroversial. Di satu pihak menghendaki agar ada perubahan pemahaman, dari modern ke yang lain, yang konon telah jenuh dan menemui jalan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan menerima istilah tersebut, karena postmodernisme dianggap sekedar konter produktif, hura-hura, dan cibiran terhadap paham modern. Paham kedua inilah kiranya yang menciptakan postmodernisme masih goyah, bahkan ada yang belum mengakui secara akademik.

Akan semakin rumit lagi, kalau posmodernisme sekedar diterima sebagai pengolok-olok wawasan modern. Akibatnya, mereka menerima tak ke dasar yang jelas, melainkan sekedar kulit-kulit saja. Penerimaan yang setengah-setengah, jelas akan memojokkan postmo­dernisme, sehingga boleh jadi menganggap paham tersebut sekedar buru-buru, reaksioner, dan lebih bersifat sembrana. Apalagi, penam­bahan awalan “post” dan akhiran “isme” tersebut, oleh beberapa pemi­kir budaya masih diragukan. Apakah “post” menandai sebuah peru­bahan pemikiran yang pascastruktural atau sekedar ingin bersikap dekonstruksi belaka.

Manakala “isme” tersebut kelak justru menjadi payung keil­muan (kajian) budaya yang lebih jernih, artinya kajian dekonstruksi yang konstruktif, tentu semua pihak akan mengangguk. Hal ini berarti posmodernisme menjadi pijaran neo-modernisme atau pasca-moder­nisme. Pada tingkatan demikian, postmodernisme telah melahirkan sebuah hirarkhi keilmuan yang handal. Postmodernisme tak sekedar “gila” terhadap metafora-metafora (bahasa) yang didengungkan Ricoeur, yang selalu berpijak “seperti ini” dan “adalah bukan” (Sugi­harto, 2001:18). Lebih dari itu, postmodernisme seharusnya menjadi kampiun kajian budaya, yang mampu mengungkap makna tertentu, yang referensinya tak sekedar “konvensional”. Karena, “konvensio­nal” adalah referensi yang tak murni, melainkan yang telah “dika­takan” dan dipoles lewat cahaya bahasa.

Pendek kata, kehadiran postmodernisme semestinya tak sekedar gerakan eforis di tengah hiruk pikuk pemahaman budaya. Apabila kemeriahan postmodernisme hanya sampai di sini, berarti pemahaman budaya justru semakin dangkal dan kosong. Kecemerlangan postmo­dernisme akhirnya akan terletak pada kemampuan merefleksikan fenomena secara arif. Arif, berarti memenuhi standar keilmiahan. Teror-teror mental yang selama ini membebani postmodernisme, seperti pelarangan menggunakan kata “saya” pada sebuah penelitian, pelarangan pemanfaatan kata-kata estetis dalam studi budaya – sebaiknya dihapus. Karena, postmodernisme tak lagi ingin berpikir kerdil yang meracuni peneliti sendiri. Keindahan bahasa dalam sebuah laporan peneltian budaya, asalkan tak mengurangi realitas, kiranya diizinkan dalam postmodernisme.

Yang lebih penting lagi, dalam postmodernisme memang sedang “menuju” pada titik lebenswelt, sebagaimana digagas Husserl. Lebenswelt adalah tatanan pengalaman hidup yang matang, yang ingin direfleksikan menjadi sebuah gagasan ilmiah. Postmodernisme akan bergerak ke arah ini, untuk menemukan kesejatian pemahaman budaya. Yakni, mulai dari taraf prailmiah, invensi, refleksi, sampai tingkat kemapanan.

Postmodernisme ingin mendudukkan persoalan pemahaman kebudayaan yang sering dikesampingkan kaum modernisme. Jika kaum modernisme cenderung menepikan pemahaman budaya dari aspek historis, menaifkan budaya terpencil, budaya terjajah, dan cenderung mendewakan oposisi-oposisi biner, potmodernisme tak demikian.

Postmodernisme justru ingin mengangkat dunia kecil, yang “dibuang” oleh modernisme. Jika kaum modernisme cenderung memahami budaya dengan struktur yang pasti, postmodernisme justru membuka dialog baru pemahaman budaya. Pemahaman budaya justru lebih ke arah demokratis dan terbuka.

2. Kebenaran: Gejala Radikal

Paham postmodernisme cenderung menyerang otoritas akal manusia. Mereka tak semata-mata mengkritik rasionalitas dunia alamiah dan kesulitan-kesulitan metodologis untuk menaklukkannya tetapi malah mempertanyakan konsep self sebagai hal yang hidup. Percakapan mereka berputar sekitar konsep becoming (menjadi) (Liliweri, 2001:76). Dari pernyataan demikian, berarti penelitian postmodernisme terhadap budaya lebih bebas dan radikal.

Hal demikian, juga diakui Lyotard (Sarup, 1993:131-134) bahwa postmodernisme merupakan gerakan penelitian budaya “radikal”. Paham ini merupakan tuntutan budaya kapitalis khususnya bidang seni. Paham ini tak mengindahkan hukum-hukum, pola-pola budaya yang lazim, dan menolak paham modern yang selalu memiliki hegemoni pemaknaan. Postmodernisme justru ingin menjebol sistem status quo. Itulah sebabnya, pemahaman budaya tak harus diatur rapi, tak harus berkotak-kotak, berteori-teori, melainkan dapat dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin.

Postmodernisme sebenarnya lahir atas ketidakpuasan terhadap model penelitian budaya sebelumnya. Penganut postmodernisme, menganggap bahwa teori kajian budaya sebelumnya, seperti evolusio­nisme, fungsionalisme, struktal fungsional, dan seterusnya yang mengeklaim dirinya modern — dianggap kurang berdaya. Maksudnya, teori kajian budaya modern itu kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin kompleks. Tuntutan zaman dan selera budaya masa kini, tampaknya tak mampu terwadahi oleh teori-teori modern yang agak sedikit kaku. Karena, pandangan modern hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya “harus ini” dan “harus itu”.

Keharusan semacam ini, seringkali tak mampu melacak kebenaran fenomena budaya itu sendiri, melainkan sekedar kamuflase belaka. Postmodernisme berpendapat bahwa kebenaran tidak pernah terbayangkan. Kebenaran tidak selalu hadir dari unsur-unsur budaya yang besar. Jalan mencari kebenaran perlu dicari secara kreatif mem­beri makna budaya. Maka budaya yang telah ada perlu didekonstruksi, karena konstruksi yang ada diasumsikan kurang mampu dan gagal menemukan kebenaran.

Kemungkinan besar, logika postmodernisme memang kontroversial dan paradoks. Tegasnya, logika berpikir mere­ka sangat labil dan tak menghendaki kemapanan dalam mencari kebe­naran makna. Kendati logika mereka sangat cerdas, tetapi sering dicap tidak konsisten, dan ini ciri postmodernisme. Mereka akan memahami gejala budaya menurut sistem yang dianutnya. Mungkin, sistem itu sangat subyektif, individualis, idealis, dan sulit dipahami oleh orang awam. Yang jelas, sistem pemahaman itu sendiri tak bisa dibakukan, dikukuhkan, dan disistematikakan.

Memang harus diakui, penelitian budaya yang menggunakan paham postmodernisme seakan-akan belum diakui oleh akademisi tertentu. Para peneliti masih budaya sering menganggap bahwa postmodernisme sebagai gejala radikal akademik, yang sering memaksakan sebuah paradigma. Padahal, bagi mereka sebenarnya “kaca pandang” mutakhir ini merupakan rangkaian pelengkap kajian budaya sebelumnya. Paling tidak, postmodernisme akan memberikan pencerahan penelitian budaya pasca-tafsir kebudayaan yang dianggap kurang berhasil. Terutama, setelah Geertz menafsirkan budaya Jawa di Pare dengan samaran Mojokuto. Periode tafsir ini dianggap kurang mewakili abangan, santri, priyayi di Jawa secara keseluruhan. Karena itu, muncul postmodernisme yang berupaya menjelaskan sisi-sisi kecil dari unsur budaya yang sering terabaikan.

Sandaran dasar kaum postmodernisme, bukan berarti menolak rasionalitas yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya, melainkan ingin mencari makna baru lewat kebenaran aktif kreatif. Logika yang digunakan adalah selalu menemukan kebaruan, tanpa standar yang pasti. Karena itu, bagi kaum postmodernisme berkilah bahwa, kebenaran yang selalu mengandalkan “grandtheory” sudah tidak relevan lagi. Namun, mereka lebih menghargai perbedaan,

pertentangan, paradoks, dan misteri di balik fenomena budaya.

B. TEORI KAJIAN

1. Pluralitas Makna

Menurut Marvin Harris (1992:153-154) postmodernisme meru­pakan gerakan intelektual yang (sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih menitikberatkan pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki paradig­ma penelitian yang lebih istimewa. Bagi Foucault, postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan post­modernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandal­kan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.

Salah satu karakteristik postmodernisme adalah tak suka pada makna tunggal sebuah fenomena budaya. Mereka cenderung meman­dang budaya itu bermakna banyak (plural). Budaya menyuguhkan makna yang bersifat poliinterpretable, sehingga boleh dimaknai sekehendak hati. Dari sini, realitas budaya dipandang sangat proble­matis dan menampilkan makna plural. Pendek kata, postmodernisme seirama dengan kajian pascastrukturalisme. Dia menolak ide struktur sebagai penopang makna yang mapan. Bahkan Strorey (2003:123) menyatakan pascastrukturalisme “mengimani” bahwa makna selalu dalam proses, tak pernah final.

Paham postmodernisme atau dekonstruksi, menolak otoritas sentral dalam pemaknaan budaya. Makna budaya tidak harus tunggal, melainkan bersifat terbuka pada makna yang lain. Makna mungkin ada dalam apa saja, hal-hal yang kecil, yang kurang diperhatikan, kurang disinggung, kemungkinan justru memiliki makna yang besar. Jadi, postmodernisme lebih menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan. Hal ini tidak berarti bahwa postmoder­nisme hanya ingin menang sendiri, hanya kecewa dengan paradigma penelitian sebelumnya, dan atau hanya tergelincir pada eforia, melain­kan memiliki dasar-dasar yang kuat dan logis dalam pemaknaan.

Jika kaum modernis selalu mengandalkan “rahasia makna” budaya dalam sebuah struktur atau teks, postmodernisme tidak demi­kian. Kaum postmodernisme justru menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan unconsciousness di balik fenomena budaya. Hu­bungan statis antara prosisi dengan realitas tidak ada baginya, yang ada adalah penanda yang mengambang terus-menerus dan sukar ditemukan hubungannya. Kodrat pemaknaan tidak stabil secara esen­sial. Karena penanda mengambang terus, postmodernisme berusaha mendefinisikan ulang teori yang selama ini dianut, mendekonstruksi realitas, dan berusaha memaknai fenomena budaya berdasarkan plura­litas makna.

Prinsip pengejaran makna menganut konsep relativisme budaya. Tentunya, postmodemisme lalu menolak makna universalitas budaya. Makna budaya tidak harus menjadi milik sekian banyak orang. Biasa saja fenomena budaya hanya bermakna bagi segelintir orang dan individual. Hal ini dapat dipahami melalui pemikiran Derrida. Meskipun dia lebih banyak menyorot pada konteks budaya sebagai teks, khususnya bidang teks sastra, namun tetap menyiratkan pandang­an yang luar biasa bagi pengkaji budaya. Menurutnya, teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda, melainkan sebuah “rajutan”, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks.

Bagi Derrida, pencarian makna teks budaya bukan secara logosentrisme, seperti paham strukturalis. Paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme, yang mendewakan kata. Budaya, pada mulanya adalah “kata“. Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, namun makna budaya lebih dari sebuah kata. Makna budaya justru tertenun dalam seluruh teks budaya dan tak berdiri sendiri. Makna teks akan berubah dan berkembang terns. Jika demikian, tidak ada yang mampu menjamin kebenaran makna. Kalau demikian, makna budaya bukan milik suatu zaman, melainkan terus berjalan seiring perkembangan budaya itu sendiri. Makna budaya juga bersifat longgar, bukan univocity absolut, melainkan multiplicity of meaning. Dalam kaitan ini Derrida mengenalkan istilah equivocity (berdalih) untuk mengontrol ambiguity. la lebih mendekonstruksi pemikiran “objektif’ ke “subyektif’, yang umum ke individual.

Pemaknaan dalam pandangan pencetus dekonstruksi, Derrida, makna bukan sekedar arti kata, bukan sekedar sign yang disepakati oleh banyak orang, bukan pula arbriter, melainkan tergantung bagai­mana orang mengartikannya. Yang terpenting bagi Derrida, yang kemudian dilanjutkan oleh Kristeva, Barthes, dan lain-lain – pengala­man empirik sensual manusia difilter oleh ide-idenya yang dalam. Berarti bahasa (teks budaya) itu berada pada dataran proyeksi dari pemfilterannya atas pengalaman empirik tersebut. Makna akan terkait denga kreativitas manusia dalam berbahasa.

Logika yang digunakan dalam analisis budaya secara postmo­dernisme memang berlaku sempit. Logika tersebut lebih bersifat sensible/make sense, yang penting dapat dimengerti, meskipun infor­masi yang digunakan untuk menarik kesimpulan tidak konsisten. Dalarn kaitan ini, Marilyn Strathen (1987) mengatakan, “The 1920s shift between Frazer and postmodernismeist anthrophology helps interpret the alleged shift from modernism to postmodernisme in the 1980s. The phenomenon lies in how anthopologists represent what they do, what they say they are wrtiting, and in the purpose of commu­nication. Ideas cannot in the end be divorced from relationships … ” (1987:169).

Pendapat tersebut sejajar dengan pernyataan Keesing bahwa ” .. anthophology as an interpretive quest will havve to be situated more wisely within a wider theory of society, cultural meanings will have to be more clearly and carefully connected to the real humans who live out their live through them” (1987:169).

Sengaja atau tidak, dari kutipan di atas, tampak bahwa antara Strathern dan Keesing bisa dicari titik temunya. Tanpa mencari point puncak keduanya, sulit untuk melihat implikasi penting dalam jagad peneliti budaya di Indonesia. Kalau Strathern dengan mengomentari Frazer menunjukkan adanya pergeseran peneliti budaya modern ke postmodernisme, dari konteks ke luar konteks, dengan tujuan agar etnografi yang dihasilkan terkomunikasikan – Keesing lebih mene­kankan persoalan interpretasi. Maksudnya, tafsir kebudayaan hendak­nya diletakkan dalam teori masyarakat luas secara tepat, dan makna budayanya harus lebih cermat dikaitkan dengan manusia yang hidup melalui budaya itu.

Pertemuan kedua pendapat ini, adalah pada maksud etnografi itu ditulis. Etnografi, perlu “bargaining” antara peneliti-yang diteliti, penulis-pembaca, agar ada pemahaman yang tepat di antara mereka. Di satu pihak, Strathern telah memikirkan demokratisasi beretnografi, ada tawar-menawar, ada asah-asih-asuh, agar kajian budaya lebih komunikatif, tetapi tetap menjaga orisinalitas. Dalam beretnografi, tidak salah jika memperhatikan pluralisme, multivokality, refleksi­vitas, relativisme, dan metaforis. Jika demikian halnya, kita salut dengan Keesing (1989:5) yang semula mengorek habis-habisan peneliti budaya tafsir, lalu pada bagian lain ia juga mengakui (agak lunak) bahwa para pakar peneliti budaya tidak begitu dibayang­bayangi oleh keilmiahan dibanding dengan kebanyakan rekan mereka di bidang psikologi, sosiologi, dll.

Akhirnya, Keesing harus mengakui bahwa peneliti budaya harus berjuang menghadapi masalah komunikasi pada saat bekerja melintasi jurang pemisah perbedaan budaya. Oleh kakrena konsep

“objektivitas” barat tidak selalu tepat diterapkan di dunia peneliti budaya kita, ahli peneliti budaya cenderung memanfaatkan kembali kemampuan kemanusiaan dalam belajar memahami dan berkomuni­kasi. Upaya memahami simbol budaya, tidak selalu tepat untuk meng­objektivitaskan kontak-kontak kemanusiaan. Begitu pula pemahaman makna terhadap simbol mitos atau ritual tidaklah bisa diramalkan seperti halnya siapa yang akan memenangkan Pemilu. Tugas peneliti budaya, mirip seperti upaya menafsirkan Hamlet. Kita tidak dapat menggali, mengukur, dan menguji Shakespeare untuk mengetahui apakah tafsiran kita itu “benar” dan tafsiran orang lain keliru.

2. Out of Context

Dengan masuknya wacana sastra dan seni, dalam penelitian budaya langsung atau tidak — etnografi akan menjadi lebih `ber­bunga’, tidak kering. `Bunga’ yang dimaksud, tidak sekedar asesori,

melainkan juga menawarkan komunikasi khusus dalam etnografi, sehingga dalam konteks pluralisme budaya pun, akan tetap terpahami. Kehadiran postmodernisme merupakan upaya penafsiran yang berga­bung dengan semiotik yang menyangkut `bagaimana’ makna teks, dan tidak lagi hanya seperti hermeneutika yang lebih menyangkut `apa’ makna teks.

Hal semacam itu sejalan dengan pemikiran Eagleton (1988:397) bahwa postmodernisme memang mengambil ide dari modernisme dan avant-garde, dan kemudian diramu yang lebih masak dengan disiplin lain. Dari modernisme, postmodernisme mencoba mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak, sedangkan dari avant-garde, postmoder­nisme ingin mencoba memecahkan masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi “high” culture. Dalam istilah yang sederhana, Habermas (Hardiman, 1993:179) postmodernismeime itu sebagai langkah “counter culture”, artinya kebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan.

Strathern, yang banyak menyoroti gagasan Frazer dengan cukup tajam, tampak memuji dan sekaligus mengujinya. Frazer adalah peneliti budaya yang semula berinspirasi dari pendapat Malinowski, khususnya bahwa penelitian lapangan adalah upaya untuk: “to grasp the native’s of view” (hal. 252). Di pihak lain, dengan sengaja atau tidak sebenarnya Malinowski sendiri juga mencoba menggulingkan ide-ide Frazer yang cemerlang itu.

Setidaknya, dia ingin mengganti peneliti budaya teoritis dengan peneliti budaya lapangan. Kendati demikian, Frazer tidak goyah dan tetap teguh pendiriannya pada karya yang bernuansa (terlalu) sastra, sehingga mengundang `kecaman akademik’ dari berbagai pihak. Bahkan karyanya telah memperla­kukan peristiwa, tingkah laku, dan ritus di luar konteks.

Karya Frazer yang bersumber pada folklor Perjanjian Lama, jelas menghadirkan aroma baru dalam hal persuasi dan khayalan peneliti budaya. Dengan kegigihannya ia telah membahas pluralitas dan keragaman folklor, sehingga mampu melukiskan hubungan sastra dengan masa lampau. Dengan cara ini, ia merasa lebih dekat pembaca. Dengan model Frazer itu, paling tidak telah terbuka jalan munculnya peneliti budaya komunikatif (istilah saya sendiri), sehingga ada kaitan jelas antara penulis etnografi, pemilik budaya, dan pembaca etnografi. Karena itu, memang tidak keliru jika Strathern juga memuji Leenhard bahwa karyanya pascastrukturalis memang mampu mengungkapkan teori budaya yang lebih terbuka dan inovatif. Pendek kata, apa yang dihasilkan Frazer telah mampu menggeser tesis Geertz bahwa menulis etnografi merupakan pekerja lapangan sebagai sumber kekuasaan terpadu.

Frazer secara diam-diam, telah membersitkan peneliti budaya reflektif, yakni karya etnografi merupakan hasil dialog antara peneliti budaya dengan informan. Hubungan antara pengamat dengan yang diamati, tidak lagi seperti hubungan subjek-objek. Dalam dialog tersebut subjektivitas dan objektivitas selalu bisa diciptakan. Dari akar semacam ini, Frazer lalu mengangkat istilah “sense of history” untuk mengupas lebih jauh relasi antara pembaca dan penulis. Pendapat inilah yang juga terilhami oleh tafsir kebudayaan yang memandang budaya sebagai teks, budaya yang harus dibaca sebagai teks.

Kelebihan Frazer dalam hal ini adalah bahwa penulis dan pembaca (etnografi), keduanya memiliki `sejarah ide’ yang menim­bulkan imajinasi yang seringkali berbeda dalam menghadapi persoal­an (baca:budaya) yang sama. Asumsi inilah yang membuat Frazer mulai `pindah’ dari frame modernis yang sering ke arah positivistik, menuju pada suatu shift (pergeseran) pola pikir peneliti budaya.

Pergeseran konteks, yang semula `in of context’ ke arah `out of context” akan membuahkan pola pemikiran baru, yang implikasinya menghadirkan arus postmodernisme.

Dengan mempertimbangkan isyarat Frazer, Strathern berdalih bahwa pemahaman budaya dengan menempatkan suatu konteks yang dibangun oleh peneliti (penulis etnografi) sesuai dengan kaidah teoritis dan pengorganisasian frame work – akan meluncurkan `asap’ karya-karya yang etnosentris. Etnosentrisme menurut Swartz dan Jordan (1976:67) adalah cara memahami dan mengevaluasi budaya menurut si peneliti itu sendiri. Oleh karena, di sini otoritas penuh berada pada diri peneliti dan atau penulis etnografi terhadap teks, kehadiran penulis menjadi dominan. Akibatnya menggembosi objekti­vitas itu sendiri. Dalam kaitan ini, penulis-peneliti etnografi tidak memberi `ruang bicara’ kepada pembaca, mematikan pembaca, dan membodohkan atau mendungukan. Karena itu, dalam `out of context’ tidak menjadikan konteks sebagai hal utama yang harus didewakan. Penulisan dan penelitian yang akan membuahkan pelukisan budaya selalu sharing of culture.

Dari alasan-alasan itu, Strathern boleh dinilai telah berani `merobek’ konteks. Artinya, dia telah mengarahkan agar penulis­peneliti dan pembaca generasi masa kini, harus berbagi teks. Trias hermeneutik, yaitu realitas-penulis/peneliti, pembaca, teks, dan pem­baca/penafsir), tidak harus diberi sekat yang tebal. Maksudnya, kalau dalam pandangan peneliti budaya modern masih berpusar pada prinsip “putting thing in context”, melalui pandangan Frazer, peneliti budaya bisa keluar dari frame ini.

Sebab, sadar atau tidak di dalam kontak budaya, antara kutub penulis-pembaca, keduanya akan terdapat `the persuasive fiction’. Dengan khayalan yang meyakinkan ini, khayalan tingkat tinggi (meminjam istilah dalam wacana kreativitas sastra), mungkin sampai ke tingkat fantasi, penulis akan menciptakan sesuatu yang `baru’, yang familier bagi pembaca. Hal ini berarti bahwa pembahasan kebudayaan menjadi lebih demokratis, tidak ada `pengu­asa tunggal’, orang nomer satu (merujuk kata-kata KH. Zainudin MZ). Baik penulis maupun pembaca memiliki ruang yang sama dalam memahami kebudayaan.

Konteks, boleh berpindah-pindah dan hanya ada dalam komu­nikasi dimana suatu konstruksi pemikiran tersusun melalui dialektika. Dengan pergeseran itu, timbul kebebasan atau kemerdekaan dalam mengetengahkan dimensi-dimensi kemanusiaan, dibanding tuntutan kepastian yang mereduksi realitas kemanusiaan. Dengan kata lain, out of context bukan mengejar budaya sebagai where, budaya tidaklah mono, melainkan plural dan menurut siapa.

Strathern juga memberikan sugesti bahwa gerakan feminisme pun memiliki andil penting dalam postmodernisme, karena tidak sedikit karya feminis yang dibentuk dengan wacana plural. Keduanya, memang memiliki visi yang berbeda, namun juga ada hal-hal esensial yang saling melengkapi. Seperti halnya ditegaskan oleh Fraser dan Nicholson (1990:20), jika postmodernisme ke arah prinsip dan esensi kritik budaya yang canggih dan persuasif serta cenderung mencari kekurangan-kekurangan, feminisme berusaha secara tegas cenderung mencari pergeseran prinsip dan esensi.

Dengan kehadiran postmodernisme itu, penulis dan peneliti peneliti budaya menjadi lebih longgar. Sekarang, bukan lagi soal objektivitas yang harus diperhatikan, melainkan pada pemahaman budaya yang tidak tercerabut dari akar pluralisme budaya. Tidakkah Benjamin dan Adorno (Sullivan, 1990:269) juga mensugestikan bahwa postmodernisme mampu menjembatani gap antara subjek dan obyek, praktis dan teori dalam peneliti budaya. la mengatakan: “The merger of theory and textual form in postmodernismeist ethnography may, upon closer historical examinantion, prove to be a similarly illu­sory fiat”. Bahkan Bruner (1993:23) mengungkapkan bahwa lukisan karya postmodernisme adalah: “a world that is multivocal, fragmen­ted, desentered, with no master narrativees or central texs, a world in wich meaning is radically plural”.

Hanya saja, apakah konteks serupa telah mendapat sambutan hangat dari peneliti budaya kita? Apakah skripsi-skripsi dan juga desertasi peneliti budaya di Indonesia telah mau menjelajah apa yang dikehendaki Frazer? Jika belum, atau tidak, lalu kapan postmodern­isme akan berkembang? Pertanyaan ini, tidak harus dijawab serta merta, melainkan waktulah yang menjawab dengan pasti.

Kendatipun begitu, kehadiran ide Frazer dan Keesing telah membuka mata kita. Setidaknya, implikasi penting dari semua itu bagi calon peneliti budaya akan terbuka wawasan baru ke arah dunia baru yang rumit. Lalu, kita akan lebih berhati-hati dalam menjelaskan dan memahami budaya masa kini. Terlebih lagi jika bertumpu pada pernyataan Keesing (1981:207-270) dengan adanya persoalan men­dasar pada dunia ketiga dan dunia keempat. Pandangan ini mengi­nginkan seorang peneliti budaya yang futurolog, mampu melihat ke depan dengan kacamata postmodemisme. Oleh karena, mengalirnya pengaruh postmo di pasar global dan abad mellenium nanti penuh tantangan. Hal serupa juga telah ditunjukkan Strinati (1995:228-235) bahwa masa budaya massa dan budaya populer jelas akan hadir di depan mata kita. Pengaruh globalisasi, seperti film, arsitektur, televisi,

Man, musik pop dan sebagainya akan membuat pergeseran konteks budaya kita juga.

Lebih khusus lagi, kita akan tercuci batinnya bahwa dalam beretnografi dan meneliti: (1) kita jangan memaksakan pandangan, (2) kita mesti harus berhati-hati dalam meletakkan budaya dalam posi­sinya, (3) dalam memahami budaya tidak harus etnosentris, artinya menurut `kaca mata’ si peneliti saja, (4) pemahaman budaya perlu share, berbagi pengalaman antara penulis dan pembaca, (5) penulis dan pembaca harus akrab, familier, kendati kita boleh bermain-main dengan bahasa, (6) harus jujur’ akan karya kita dan keterbatasan jangkauan kita.

Persoalan yang harus dihadapi lebih jauh lagi, dengan adanya pemahaman bahwa konteks bisa bergeser, berubah, meloncat, dan bahkan berputar sampai 360 derajat – memang pada gilirannya akan menyulitkan penulisan sejarah peneliti budaya (baca: kebudayaan) itu sendiri. Kebudayaan menjadi sangat bebas dan hanya akan terpahami secara mendalam oleh kritikus kebudayaan.

Akhirnya, karya kritik ini akan menyulitkan pula dalam menyusun teori kebudayaan. Atau mungkin, analog dengan wacana sastra, pada tataran tertentu memang tidak dibutuhkan sejarah dan teori peneliti budaya, etnografi, dan kebudayaan. Lalu, dengan munculnya sejumlah buku, seperti tulisan Van Ball dan Kcentjaraningrat, yang masih beria-ria dengan sejarah­teori itu menjadi kurang penting? Pasalnya, kenapa harus ditulis sejarah dan teori, jika budaya itu sendiri `tidak jelas’ ada dimana, seperti apa?

Postmodernisme biasanya mengembangkan paradoks-paradoks penafsiran makna. Artinya, yang semula oleh kaum modern ada unsur budaya yang disisihkan, dianggap kecil, dianggap pinggiran, dan kurang mendukung makna – oleh kaum postmo justru dikejar. Ke­mungkinan hal-hal yang sepele yang kurang “bernyawa” itu menjadi bermakna istimewa. Itulah sebabnya Esneva dan Prakash (1998:3) menyatakan bahwa grass roots dari postmodernisme adalah kontra­diksi. Melalui asumsi ke hal-hal yang kontradiktif dengan yang telah lazim, justru mereka mampu menemukan malma hakiki sebuah fenomena budaya.

3. Langkah Kajian

Menurut kaum postmodernisme, telah ada pelenyapan batas­batas antara seni dan kehidupan masa kini, antara budaya strukti.u’al (legitimated, birokrasi) dengan budaya populer, semua itu akan ditandai dengan penghilangan kode stilistik masing-masing. Bahkan, menurut mereka pada suatu saat budaya akan menjadi sebuah ironi, parodi, dan penuh permainan. Jadi, fenomena budaya boleh SO bersifat imajiner, bebas, liar, dan bermakna. Budaya tak lagi berupa “monumen” dan “bangunan” kokoh, melainkan sebuah fenomena lentur, mesra, dan artistik.

Dengan demikian, postmodernisme memang menolak sebuah hirarkhi, genealogik, kontiuitas, keseragaman, dan perkembangan­Dalam tataran ini, tidak berarti kaum postmodernisme sekedar membuat dobrakan (destruksi) pada kaum modem, melainkan ingin merepresentasikan segala sesuatu yang buntu pada masa modern. Oleh karena kaum modern sering taat pada standar logis, posmodernisme lebih dari itu, yaitu tidak menggunakan standar baku, melainkan bersifat kreatif.

Itulah sebabnya, Demda selalu menyarankan agar pengkaji postmodernisme tak ragu-ragu melakukan dekonstruksi. Pembalikan struktur sah-sah saja, asalkan bertujuan untuk memahami rnakna­Dalam kaitan ini, Derrida mengusulkan adanya istilah “supplement’”, yang berasal dari bahasa Perancis “suppleer” artinya mengganti, Misalkan saja, kita harus menafsirkan budaya baik dan buruk. Ada yang berpendapat kebaikan ada karena ada standar keburukatl­Bahkan, dalam tema tertentu sering muncul keburukan akan terhapus dengan kebaikan. Paham semacam ini, semestinya didekonstruksi• dengan cara berpikir “mengganti”. Kita perlu menyajikan tesis bahWa “buruk” hanyalah pengganti saja perannya.

Atas dasar itu, Derrida memberikan saran agar berhati-hati jika peneliti budaya berhadapan dengan budaya sebagai teks maupun ujaran dan tindakan. Budaya sebagai teks sering akan mengaburkan kenyataan, karena telah dipoles oleh kata. Begitu pula tindakan dan ujaran yang ditulis, seringkali juga menjauhi realitas. Padahal, makna budaya kadang-kadang boleh terpisah dari yang nampak dan referensi yang hadir. Maka, paham postmodernisme selalu berada pada posisi: plural makna dibanding otoritas kesatuan makna, lebih berupa kritikan dibanding kepatuhan, ke arah perbedaan dibanding persamaan, dan lebih bersikap skeptis terhadap sistem budaya.

Melalui postmodernisme, paham budaya sebagai teks akan dibongkar habis-habisan. Karena, teks sering diliputi “kekuasaan”. Ada hegemoni makna yang seringkali mengintervensi budaya. Dalam

hal ini, memang ada benarnya jika Foucault menolak adanya sejarah yang obyektif. Tulisan sejarah adalah fenomena budaya. Sayangnya, fenomena ini sering terkotori oleh trope (kiasan) dan sejumlah “ulangan” absurd. Di sini telah terjadi pemerkosaan wacana budaya. Karena itu, jika hal ini dimaknai menggunakan kacamata modern, seringkali gagal.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan ketika mengkaji post­modernisme menurut Derrida (Sugiharto, 2001:45) yaitu: Pertama, mengidentifikasi hirarkhi oposisi dalam teks di mana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi itu dibalik, misalnya dengan menunjukkan saling ketergantungan di antara yang berlawanan itu, atau dengan mengu­sulkan privilese secara terbalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.

C. KAJIAN POSTKOLONIALISME

Kajian postkolonial dalam bidang budaya memang tergolong baru. Bahkan, mungkin masih jarang yang berani menerapkan teori kajian ini ke dalam wilayah budaya. Karena, awal munculnya paham tersebut berasal dari kajian sastra (postcolonial literature) yang dipelopori oleh Bill Aschroft dkk (Gandi, 2001:vi). Paham ini, semula mencuatkan pemahaman model national dan black writing. Model national memusatkan perhatian pada hubungan antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing, menekankan aspek etnisitas.

Sebagaimana kehadiran postmodernisme dalam kajian budaya, yang juga dipicu oleh teori-teori sastra dan seni, postkolonialisme pun sebenarnya layak diangkat untuk mengkaji budaya. Konteks penjajah­terjajah, dalam fenomena budaya sebenarnya lebih kaya. Banyak hal yang unik dan menarik untuk diungkap melalui teori postkolonia­lisme. Hegemoni penjajah yang luar biasa, akan menjadi bahan kajian peneliti budaya. Begitu pula persinggungan pluralisme budaya, telah banyak menyuguhkan persoalan etnis, sehingga menarik bagi paham postkolonialisme.

Tradisi postkolonial mengenal dua kunci utama pemahaman budaya: Pertama, dominasi-subordinasi. Isu dominasi dan subordinasi muncal berkenaan dengan krontrol militer kolonial genocide dan keterbelakangan ekonomi. Keduanya tak hanya terjadi antara negara dan etnis, tetapi juga antar negara dengan negara, etnis dengan etnis. Bahkan, pada gilirannya dengan sistem kolonial yang aristokrat telah mengubah suborninasi dan dominasi individu kepada individu lain. Jika hal ini terjadi, maka hubungan atasan-bawah, patron-clien, maji­kan-buruh, akan selalu ada. Budaya semacam ini, telah melahirkan keunikan-keunikan yang patut dicermati oleh peneliti budaya. Bahkan, suborniasi dan dominasi laki-laki terhadap perempuan, sehingga di Jawa ada anggapan wanita minangka kanca wingking, artinya wanita hanyalah teman di belakang (baca: dapur) menjadi semakin rumit.

Kedua, hibriditas dan kreolisasi. Budaya lama di era kolonial, melalui proses hibriditas akan semakin pudar. Bahasa juga akan mengalami kreolisasi, yaitu ke arah penciptaan bentuk-bentuk ekspresi baru. Budaya kolonial akan diubah (transkultural) ke dalam wacana hidup baru. Identitas budaya yang konon selalu dianggap halus dan agung (adiluhung), kemungkinan besar segera bergeser maknanya. Era global-lokal dan otonomi daerah, sedikit banyak telah memoles budaya lama ke dalam budaya baru. Kekuatan paternal dan pusat, lama-kelamaan berubah ke pinggiran. Kekuatan sakral (njeron beteng) misalnya, akan berubah sembilan puluh derajat. Tembok keraton dari waktu ke waktu juga “runtuh”, bercampur dengan kelugasan di luar keraton. Dalam perubahan tersebut selalu terjadi negosiasi antar pelaku. Hibriditas tradisi yang konon dianggap hebat, lalu berkem­bang menj adi melemah.

Dengan adanya postkolonial ini, peneliti budaya Jawa misalkan, dapat melalukan studi mendalam tentang terjadinya sinkretisme Islam Jawa, Hindu Jawa, yang selalu mewarnai kehidupan masyarakat. Jika pada awalnya, rakyat terjajah enggan menerima paham lain, namun dengan ada sinkretik barangkali mereka sama-sama diuntungkan. Mereka sama-sama tak terasa telah mengalami akulturasi budaya. Mereka pula secara halus telah mau menerima dan memberi kepada pihak lain. Proses keberterimaan dan penolakan budaya inilah yang menarik perhatian peneliti.

Yang perlu dipertimbangkan dalam kajian poskolonialisme budaya adalah konsep kajian Gayatri Spivak tentang subaltern. Dia mengajukan pertanyaan kritis: “dapatkan subaltern berbicara?” Subal­tern adalah subjek yang tertekan (Gandhi, 2001:1).

Pertanyaan ini telah mengarahkan peneliti budaya, untuk mengkaji lebih jauh eksistensi budaya orang-orang terjajah. Biasanya posisi kaum terjajah adalah inferior, sedangkan penjajah superior. Pihak inferior sering “bisu” karena harus menurut kehendak superior. Karenanya, memang tepat apabila dipertanyakan “dapatkah subaltern berbicara. Ini sebuah ironis, yang ingin menyatakan bahwa budaya kaum penjajah sering memaksakan kehendak.

Atas dasar hal tersebut, lalu muncul dua tipe kolonialisme. Pertama, berhubungan dengan penaklukan fisik. Kedua penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya. Baik penaklukan pertama maupun kedua, sama-sama tak mengenakkan bagi kaum kolonialis. Kedua tipe ini, seringkali telah menumbuhkan produk-produk budaya baru, misalkan saja ada penciptaan seni dan budaya. Begitu pula penciptaan sastra yang memuat subkultur tertentu, yang diam-diam menolak tradisi penjajah.

Konsep kolonialisme di era manapun memang selalu bergerak pada dua hal. Pertama, menguntungkan si penjajah, terutama pada bidang-bidang tertentu. Kedua, menguntungkan kedua-duanya, karena si terjajah dapat belajar banyak tentang budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah menyisakan pengalaman kultural yang luar biasa.

Apalagi, jika penjajah telah sampai menanamkan imperalismenya, tentu kolonialisme semakin rumit. Pada tataran ideologis tentu akan lebih berbahaya dalam kehidupan terjajah. Akibatnya, kehidupan si terjajah secara tak sadar akan mengikuti kehendak penjajah.

Di era modern yang serta global ini, penjajahan telah semakin pelik. Penjajahan teknologi informasi, kultural, dan politik telah menyisakan pengalaman pahit. Bahkan, bangsa terjajah akan menga­lami stress berat, karena merasa diombang-ambingkan oleh penjajah. Misalkan saja, ketika isu teror ditiupkan Amerika, secara tak langsung bangsa-bangsa yang mayoritas Islam telah semakin gerah.

Dengan demikian, kekuatan memang akan selalu bermain dalam kancah kolonialisme. Karena itu, peneliti budaya dapat memusatkan perhatian ke arah ini. Termasuk di dalamnya juga penjajahan kultural, seperti budaya pelacur kelas kakap, teror bom, jual beli bayi, ABG, dan sebagainya patut disorot dalam postkolonialisme.

Yang penting dikemukakan, tradisi postkolonialisme tak berarti harus menarik waktu dalam rentang panjang. Peneliti tak harus mena­rik mundur kacamatanya ke aspek historis belaka. Peneliti budaya seharusnya tak terkecoh dengan lama tidaknya kolonialisme. Koloni­alisme dapat berlangsung singkat, datang pergi, dan tak pernah ber­henti sepanjang bangsa dan etnis satu berhubungan dengan yang lain.

Kajian postkoloniasme budaya paling tidak harus mengaitkan dengan aspek politik. Kekuasaan politik akan mewarnai kultur kaum kolonialis. Oleh karena, penjajah akan menanamkan apa saja dan lewat saja yang mungkin dan strategis sebagai media. Itulah sebabnya studi postkolonialisme yang berhasil akan menjadi dokumentasi kritik sejarah. Dokumentasi ini akan menjadi pelajaran berharga bagi pemilik budaya itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar