A. DASAR-DASAR POSTMODERNSISME
1. Menuju Kemapanan
Kehadiran postmodernisme di kalangan peneliti budaya memang masih
kontroversial. Di satu pihak menghendaki agar ada perubahan pemahaman,
dari modern ke yang lain, yang konon telah jenuh dan menemui jalan
buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan menerima istilah tersebut,
karena postmodernisme dianggap sekedar konter produktif, hura-hura, dan
cibiran terhadap paham modern. Paham kedua inilah kiranya yang
menciptakan postmodernisme masih goyah, bahkan ada yang belum mengakui
secara akademik.
Akan semakin rumit lagi, kalau posmodernisme sekedar diterima sebagai
pengolok-olok wawasan modern. Akibatnya, mereka menerima tak ke dasar
yang jelas, melainkan sekedar kulit-kulit saja. Penerimaan yang
setengah-setengah, jelas akan memojokkan postmodernisme, sehingga boleh
jadi menganggap paham tersebut sekedar buru-buru, reaksioner, dan lebih
bersifat sembrana. Apalagi, penambahan awalan “post” dan akhiran
“isme” tersebut, oleh beberapa pemikir budaya masih diragukan. Apakah
“post” menandai sebuah perubahan pemikiran yang pascastruktural atau
sekedar ingin bersikap dekonstruksi belaka.
Manakala “isme” tersebut kelak justru menjadi payung keilmuan (kajian)
budaya yang lebih jernih, artinya kajian dekonstruksi yang konstruktif,
tentu semua pihak akan mengangguk. Hal ini berarti posmodernisme menjadi
pijaran neo-modernisme atau pasca-modernisme. Pada tingkatan demikian,
postmodernisme telah melahirkan sebuah hirarkhi keilmuan yang handal.
Postmodernisme tak sekedar “gila” terhadap metafora-metafora (bahasa)
yang didengungkan Ricoeur, yang selalu berpijak “seperti ini” dan
“adalah bukan” (Sugiharto, 2001:18). Lebih dari itu, postmodernisme
seharusnya menjadi kampiun kajian budaya, yang mampu mengungkap makna
tertentu, yang referensinya tak sekedar “konvensional”. Karena,
“konvensional” adalah referensi yang tak murni, melainkan yang telah
“dikatakan” dan dipoles lewat cahaya bahasa.
Pendek kata, kehadiran postmodernisme semestinya tak sekedar gerakan
eforis di tengah hiruk pikuk pemahaman budaya. Apabila kemeriahan
postmodernisme hanya sampai di sini, berarti pemahaman budaya justru
semakin dangkal dan kosong. Kecemerlangan postmodernisme akhirnya akan
terletak pada kemampuan merefleksikan fenomena secara arif. Arif,
berarti memenuhi standar keilmiahan. Teror-teror mental yang selama ini
membebani postmodernisme, seperti pelarangan menggunakan kata “saya”
pada sebuah penelitian, pelarangan pemanfaatan kata-kata estetis dalam
studi budaya – sebaiknya dihapus. Karena, postmodernisme tak lagi ingin
berpikir kerdil yang meracuni peneliti sendiri. Keindahan bahasa dalam
sebuah laporan peneltian budaya, asalkan tak mengurangi realitas,
kiranya diizinkan dalam postmodernisme.
Yang lebih penting lagi, dalam postmodernisme memang sedang “menuju”
pada titik lebenswelt, sebagaimana digagas Husserl. Lebenswelt adalah
tatanan pengalaman hidup yang matang, yang ingin direfleksikan menjadi
sebuah gagasan ilmiah. Postmodernisme akan bergerak ke arah ini, untuk
menemukan kesejatian pemahaman budaya. Yakni, mulai dari taraf
prailmiah, invensi, refleksi, sampai tingkat kemapanan.
Postmodernisme ingin mendudukkan persoalan pemahaman kebudayaan yang
sering dikesampingkan kaum modernisme. Jika kaum modernisme cenderung
menepikan pemahaman budaya dari aspek historis, menaifkan budaya
terpencil, budaya terjajah, dan cenderung mendewakan oposisi-oposisi
biner, potmodernisme tak demikian.
Postmodernisme justru ingin mengangkat dunia kecil, yang “dibuang” oleh
modernisme. Jika kaum modernisme cenderung memahami budaya dengan
struktur yang pasti, postmodernisme justru membuka dialog baru pemahaman
budaya. Pemahaman budaya justru lebih ke arah demokratis dan terbuka.
2. Kebenaran: Gejala Radikal
Paham postmodernisme cenderung menyerang otoritas akal manusia. Mereka
tak semata-mata mengkritik rasionalitas dunia alamiah dan
kesulitan-kesulitan metodologis untuk menaklukkannya tetapi malah
mempertanyakan konsep self sebagai hal yang hidup. Percakapan mereka
berputar sekitar konsep becoming (menjadi) (Liliweri, 2001:76). Dari
pernyataan demikian, berarti penelitian postmodernisme terhadap budaya
lebih bebas dan radikal.
Hal demikian, juga diakui Lyotard (Sarup, 1993:131-134) bahwa
postmodernisme merupakan gerakan penelitian budaya “radikal”. Paham ini
merupakan tuntutan budaya kapitalis khususnya bidang seni. Paham ini tak
mengindahkan hukum-hukum, pola-pola budaya yang lazim, dan menolak
paham modern yang selalu memiliki hegemoni pemaknaan. Postmodernisme
justru ingin menjebol sistem status quo. Itulah sebabnya, pemahaman
budaya tak harus diatur rapi, tak harus berkotak-kotak, berteori-teori,
melainkan dapat dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin.
Postmodernisme sebenarnya lahir atas ketidakpuasan terhadap model
penelitian budaya sebelumnya. Penganut postmodernisme, menganggap bahwa
teori kajian budaya sebelumnya, seperti evolusionisme, fungsionalisme,
struktal fungsional, dan seterusnya yang mengeklaim dirinya modern —
dianggap kurang berdaya. Maksudnya, teori kajian budaya modern itu
kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin kompleks. Tuntutan zaman
dan selera budaya masa kini, tampaknya tak mampu terwadahi oleh
teori-teori modern yang agak sedikit kaku. Karena, pandangan modern
hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya “harus ini” dan “harus
itu”.
Keharusan semacam ini, seringkali tak mampu melacak kebenaran fenomena
budaya itu sendiri, melainkan sekedar kamuflase belaka. Postmodernisme
berpendapat bahwa kebenaran tidak pernah terbayangkan. Kebenaran tidak
selalu hadir dari unsur-unsur budaya yang besar. Jalan mencari kebenaran
perlu dicari secara kreatif memberi makna budaya. Maka budaya yang
telah ada perlu didekonstruksi, karena konstruksi yang ada diasumsikan
kurang mampu dan gagal menemukan kebenaran.
Kemungkinan besar, logika postmodernisme memang kontroversial dan
paradoks. Tegasnya, logika berpikir mereka sangat labil dan tak
menghendaki kemapanan dalam mencari kebenaran makna. Kendati logika
mereka sangat cerdas, tetapi sering dicap tidak konsisten, dan ini ciri
postmodernisme. Mereka akan memahami gejala budaya menurut sistem yang
dianutnya. Mungkin, sistem itu sangat subyektif, individualis, idealis,
dan sulit dipahami oleh orang awam. Yang jelas, sistem pemahaman itu
sendiri tak bisa dibakukan, dikukuhkan, dan disistematikakan.
Memang harus diakui, penelitian budaya yang menggunakan paham
postmodernisme seakan-akan belum diakui oleh akademisi tertentu. Para
peneliti masih budaya sering menganggap bahwa postmodernisme sebagai
gejala radikal akademik, yang sering memaksakan sebuah paradigma.
Padahal, bagi mereka sebenarnya “kaca pandang” mutakhir ini merupakan
rangkaian pelengkap kajian budaya sebelumnya. Paling tidak,
postmodernisme akan memberikan pencerahan penelitian budaya pasca-tafsir
kebudayaan yang dianggap kurang berhasil. Terutama, setelah Geertz
menafsirkan budaya Jawa di Pare dengan samaran Mojokuto. Periode tafsir
ini dianggap kurang mewakili abangan, santri, priyayi di Jawa secara
keseluruhan. Karena itu, muncul postmodernisme yang berupaya menjelaskan
sisi-sisi kecil dari unsur budaya yang sering terabaikan.
Sandaran dasar kaum postmodernisme, bukan berarti menolak rasionalitas
yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya, melainkan ingin
mencari makna baru lewat kebenaran aktif kreatif. Logika yang digunakan
adalah selalu menemukan kebaruan, tanpa standar yang pasti. Karena itu,
bagi kaum postmodernisme berkilah bahwa, kebenaran yang selalu
mengandalkan “grandtheory” sudah tidak relevan lagi. Namun, mereka lebih
menghargai perbedaan,
pertentangan, paradoks, dan misteri di balik fenomena budaya.
B. TEORI KAJIAN
1. Pluralitas Makna
Menurut Marvin Harris (1992:153-154) postmodernisme merupakan gerakan
intelektual yang (sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini
lebih menitikberatkan pemahaman budaya dalam konteks khusus.
Postmodernisme juga tidak memiliki paradigma penelitian yang lebih
istimewa. Bagi Foucault, postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu
dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir
dalam pandangan postmodernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran,
lebih mengandalkan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal,
plural, tak menentu, dan penafsiran.
Salah satu karakteristik postmodernisme adalah tak suka pada makna
tunggal sebuah fenomena budaya. Mereka cenderung memandang budaya itu
bermakna banyak (plural). Budaya menyuguhkan makna yang bersifat
poliinterpretable, sehingga boleh dimaknai sekehendak hati. Dari sini,
realitas budaya dipandang sangat problematis dan menampilkan makna
plural. Pendek kata, postmodernisme seirama dengan kajian
pascastrukturalisme. Dia menolak ide struktur sebagai penopang makna
yang mapan. Bahkan Strorey (2003:123) menyatakan pascastrukturalisme
“mengimani” bahwa makna selalu dalam proses, tak pernah final.
Paham postmodernisme atau dekonstruksi, menolak otoritas sentral dalam
pemaknaan budaya. Makna budaya tidak harus tunggal, melainkan bersifat
terbuka pada makna yang lain. Makna mungkin ada dalam apa saja, hal-hal
yang kecil, yang kurang diperhatikan, kurang disinggung, kemungkinan
justru memiliki makna yang besar. Jadi, postmodernisme lebih menolak
segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan. Hal ini tidak berarti
bahwa postmodernisme hanya ingin menang sendiri, hanya kecewa dengan
paradigma penelitian sebelumnya, dan atau hanya tergelincir pada eforia,
melainkan memiliki dasar-dasar yang kuat dan logis dalam pemaknaan.
Jika kaum modernis selalu mengandalkan “rahasia makna” budaya dalam
sebuah struktur atau teks, postmodernisme tidak demikian. Kaum
postmodernisme justru menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan
unconsciousness di balik fenomena budaya. Hubungan statis antara
prosisi dengan realitas tidak ada baginya, yang ada adalah penanda yang
mengambang terus-menerus dan sukar ditemukan hubungannya. Kodrat
pemaknaan tidak stabil secara esensial. Karena penanda mengambang
terus, postmodernisme berusaha mendefinisikan ulang teori yang selama
ini dianut, mendekonstruksi realitas, dan berusaha memaknai fenomena
budaya berdasarkan pluralitas makna.
Prinsip pengejaran makna menganut konsep relativisme budaya. Tentunya,
postmodemisme lalu menolak makna universalitas budaya. Makna budaya
tidak harus menjadi milik sekian banyak orang. Biasa saja fenomena
budaya hanya bermakna bagi segelintir orang dan individual. Hal ini
dapat dipahami melalui pemikiran Derrida. Meskipun dia lebih banyak
menyorot pada konteks budaya sebagai teks, khususnya bidang teks sastra,
namun tetap menyiratkan pandangan yang luar biasa bagi pengkaji
budaya. Menurutnya, teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda, melainkan
sebuah “rajutan”, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan
teks.
Bagi Derrida, pencarian makna teks budaya bukan secara logosentrisme,
seperti paham strukturalis. Paham logosentrisme sering terdampar pada
aspek fonosentrisme, yang mendewakan kata. Budaya, pada mulanya adalah
“kata“. Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, namun makna budaya
lebih dari sebuah kata. Makna budaya justru tertenun dalam seluruh teks
budaya dan tak berdiri sendiri. Makna teks akan berubah dan berkembang
terns. Jika demikian, tidak ada yang mampu menjamin kebenaran makna.
Kalau demikian, makna budaya bukan milik suatu zaman, melainkan terus
berjalan seiring perkembangan budaya itu sendiri. Makna budaya juga
bersifat longgar, bukan univocity absolut, melainkan multiplicity of
meaning. Dalam kaitan ini Derrida mengenalkan istilah equivocity
(berdalih) untuk mengontrol ambiguity. la lebih mendekonstruksi
pemikiran “objektif’ ke “subyektif’, yang umum ke individual.
Pemaknaan dalam pandangan pencetus dekonstruksi, Derrida, makna bukan
sekedar arti kata, bukan sekedar sign yang disepakati oleh banyak orang,
bukan pula arbriter, melainkan tergantung bagaimana orang
mengartikannya. Yang terpenting bagi Derrida, yang kemudian dilanjutkan
oleh Kristeva, Barthes, dan lain-lain – pengalaman empirik sensual
manusia difilter oleh ide-idenya yang dalam. Berarti bahasa (teks
budaya) itu berada pada dataran proyeksi dari pemfilterannya atas
pengalaman empirik tersebut. Makna akan terkait denga kreativitas
manusia dalam berbahasa.
Logika yang digunakan dalam analisis budaya secara postmodernisme
memang berlaku sempit. Logika tersebut lebih bersifat sensible/make
sense, yang penting dapat dimengerti, meskipun informasi yang digunakan
untuk menarik kesimpulan tidak konsisten. Dalarn kaitan ini, Marilyn
Strathen (1987) mengatakan, “The 1920s shift between Frazer and
postmodernismeist anthrophology helps interpret the alleged shift from
modernism to postmodernisme in the 1980s. The phenomenon lies in how
anthopologists represent what they do, what they say they are wrtiting,
and in the purpose of communication. Ideas cannot in the end be
divorced from relationships … ” (1987:169).
Pendapat tersebut sejajar dengan pernyataan Keesing bahwa ” ..
anthophology as an interpretive quest will havve to be situated more
wisely within a wider theory of society, cultural meanings will have to
be more clearly and carefully connected to the real humans who live out
their live through them” (1987:169).
Sengaja atau tidak, dari kutipan di atas, tampak bahwa antara Strathern
dan Keesing bisa dicari titik temunya. Tanpa mencari point puncak
keduanya, sulit untuk melihat implikasi penting dalam jagad peneliti
budaya di Indonesia. Kalau Strathern dengan mengomentari Frazer
menunjukkan adanya pergeseran peneliti budaya modern ke postmodernisme,
dari konteks ke luar konteks, dengan tujuan agar etnografi yang
dihasilkan terkomunikasikan – Keesing lebih menekankan persoalan
interpretasi. Maksudnya, tafsir kebudayaan hendaknya diletakkan dalam
teori masyarakat luas secara tepat, dan makna budayanya harus lebih
cermat dikaitkan dengan manusia yang hidup melalui budaya itu.
Pertemuan kedua pendapat ini, adalah pada maksud etnografi itu ditulis.
Etnografi, perlu “bargaining” antara peneliti-yang diteliti,
penulis-pembaca, agar ada pemahaman yang tepat di antara mereka. Di satu
pihak, Strathern telah memikirkan demokratisasi beretnografi, ada
tawar-menawar, ada asah-asih-asuh, agar kajian budaya lebih komunikatif,
tetapi tetap menjaga orisinalitas. Dalam beretnografi, tidak salah jika
memperhatikan pluralisme, multivokality, refleksivitas, relativisme,
dan metaforis. Jika demikian halnya, kita salut dengan Keesing (1989:5)
yang semula mengorek habis-habisan peneliti budaya tafsir, lalu pada
bagian lain ia juga mengakui (agak lunak) bahwa para pakar peneliti
budaya tidak begitu dibayangbayangi oleh keilmiahan dibanding dengan
kebanyakan rekan mereka di bidang psikologi, sosiologi, dll.
Akhirnya, Keesing harus mengakui bahwa peneliti budaya harus berjuang
menghadapi masalah komunikasi pada saat bekerja melintasi jurang pemisah
perbedaan budaya. Oleh kakrena konsep
“objektivitas” barat tidak selalu tepat diterapkan di dunia peneliti
budaya kita, ahli peneliti budaya cenderung memanfaatkan kembali
kemampuan kemanusiaan dalam belajar memahami dan berkomunikasi. Upaya
memahami simbol budaya, tidak selalu tepat untuk mengobjektivitaskan
kontak-kontak kemanusiaan. Begitu pula pemahaman makna terhadap simbol
mitos atau ritual tidaklah bisa diramalkan seperti halnya siapa yang
akan memenangkan Pemilu. Tugas peneliti budaya, mirip seperti upaya
menafsirkan Hamlet. Kita tidak dapat menggali, mengukur, dan menguji
Shakespeare untuk mengetahui apakah tafsiran kita itu “benar” dan
tafsiran orang lain keliru.
2. Out of Context
Dengan masuknya wacana sastra dan seni, dalam penelitian budaya langsung
atau tidak — etnografi akan menjadi lebih `berbunga’, tidak kering.
`Bunga’ yang dimaksud, tidak sekedar asesori,
melainkan juga menawarkan komunikasi khusus dalam etnografi, sehingga
dalam konteks pluralisme budaya pun, akan tetap terpahami. Kehadiran
postmodernisme merupakan upaya penafsiran yang bergabung dengan
semiotik yang menyangkut `bagaimana’ makna teks, dan tidak lagi hanya
seperti hermeneutika yang lebih menyangkut `apa’ makna teks.
Hal semacam itu sejalan dengan pemikiran Eagleton (1988:397) bahwa
postmodernisme memang mengambil ide dari modernisme dan avant-garde, dan
kemudian diramu yang lebih masak dengan disiplin lain. Dari modernisme,
postmodernisme mencoba mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak,
sedangkan dari avant-garde, postmodernisme ingin mencoba memecahkan
masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi
“high” culture. Dalam istilah yang sederhana, Habermas (Hardiman,
1993:179) postmodernismeime itu sebagai langkah “counter culture”,
artinya kebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme
justru dihancurkan.
Strathern, yang banyak menyoroti gagasan Frazer dengan cukup tajam,
tampak memuji dan sekaligus mengujinya. Frazer adalah peneliti budaya
yang semula berinspirasi dari pendapat Malinowski, khususnya bahwa
penelitian lapangan adalah upaya untuk: “to grasp the native’s of view”
(hal. 252). Di pihak lain, dengan sengaja atau tidak sebenarnya
Malinowski sendiri juga mencoba menggulingkan ide-ide Frazer yang
cemerlang itu.
Setidaknya, dia ingin mengganti peneliti budaya teoritis dengan peneliti
budaya lapangan. Kendati demikian, Frazer tidak goyah dan tetap teguh
pendiriannya pada karya yang bernuansa (terlalu) sastra, sehingga
mengundang `kecaman akademik’ dari berbagai pihak. Bahkan karyanya telah
memperlakukan peristiwa, tingkah laku, dan ritus di luar konteks.
Karya Frazer yang bersumber pada folklor Perjanjian Lama, jelas
menghadirkan aroma baru dalam hal persuasi dan khayalan peneliti budaya.
Dengan kegigihannya ia telah membahas pluralitas dan keragaman folklor,
sehingga mampu melukiskan hubungan sastra dengan masa lampau. Dengan
cara ini, ia merasa lebih dekat pembaca. Dengan model Frazer itu, paling
tidak telah terbuka jalan munculnya peneliti budaya komunikatif
(istilah saya sendiri), sehingga ada kaitan jelas antara penulis
etnografi, pemilik budaya, dan pembaca etnografi. Karena itu, memang
tidak keliru jika Strathern juga memuji Leenhard bahwa karyanya
pascastrukturalis memang mampu mengungkapkan teori budaya yang lebih
terbuka dan inovatif. Pendek kata, apa yang dihasilkan Frazer telah
mampu menggeser tesis Geertz bahwa menulis etnografi merupakan pekerja
lapangan sebagai sumber kekuasaan terpadu.
Frazer secara diam-diam, telah membersitkan peneliti budaya reflektif,
yakni karya etnografi merupakan hasil dialog antara peneliti budaya
dengan informan. Hubungan antara pengamat dengan yang diamati, tidak
lagi seperti hubungan subjek-objek. Dalam dialog tersebut subjektivitas
dan objektivitas selalu bisa diciptakan. Dari akar semacam ini, Frazer
lalu mengangkat istilah “sense of history” untuk mengupas lebih jauh
relasi antara pembaca dan penulis. Pendapat inilah yang juga terilhami
oleh tafsir kebudayaan yang memandang budaya sebagai teks, budaya yang
harus dibaca sebagai teks.
Kelebihan Frazer dalam hal ini adalah bahwa penulis dan pembaca
(etnografi), keduanya memiliki `sejarah ide’ yang menimbulkan imajinasi
yang seringkali berbeda dalam menghadapi persoalan (baca:budaya) yang
sama. Asumsi inilah yang membuat Frazer mulai `pindah’ dari frame
modernis yang sering ke arah positivistik, menuju pada suatu shift
(pergeseran) pola pikir peneliti budaya.
Pergeseran konteks, yang semula `in of context’ ke arah `out of context”
akan membuahkan pola pemikiran baru, yang implikasinya menghadirkan
arus postmodernisme.
Dengan mempertimbangkan isyarat Frazer, Strathern berdalih bahwa
pemahaman budaya dengan menempatkan suatu konteks yang dibangun oleh
peneliti (penulis etnografi) sesuai dengan kaidah teoritis dan
pengorganisasian frame work – akan meluncurkan `asap’ karya-karya yang
etnosentris. Etnosentrisme menurut Swartz dan Jordan (1976:67) adalah
cara memahami dan mengevaluasi budaya menurut si peneliti itu sendiri.
Oleh karena, di sini otoritas penuh berada pada diri peneliti dan atau
penulis etnografi terhadap teks, kehadiran penulis menjadi dominan.
Akibatnya menggembosi objektivitas itu sendiri. Dalam kaitan ini,
penulis-peneliti etnografi tidak memberi `ruang bicara’ kepada pembaca,
mematikan pembaca, dan membodohkan atau mendungukan. Karena itu, dalam
`out of context’ tidak menjadikan konteks sebagai hal utama yang harus
didewakan. Penulisan dan penelitian yang akan membuahkan pelukisan
budaya selalu sharing of culture.
Dari alasan-alasan itu, Strathern boleh dinilai telah berani `merobek’
konteks. Artinya, dia telah mengarahkan agar penulispeneliti dan
pembaca generasi masa kini, harus berbagi teks. Trias hermeneutik, yaitu
realitas-penulis/peneliti, pembaca, teks, dan pembaca/penafsir), tidak
harus diberi sekat yang tebal. Maksudnya, kalau dalam pandangan
peneliti budaya modern masih berpusar pada prinsip “putting thing in
context”, melalui pandangan Frazer, peneliti budaya bisa keluar dari
frame ini.
Sebab, sadar atau tidak di dalam kontak budaya, antara kutub
penulis-pembaca, keduanya akan terdapat `the persuasive fiction’. Dengan
khayalan yang meyakinkan ini, khayalan tingkat tinggi (meminjam istilah
dalam wacana kreativitas sastra), mungkin sampai ke tingkat fantasi,
penulis akan menciptakan sesuatu yang `baru’, yang familier bagi
pembaca. Hal ini berarti bahwa pembahasan kebudayaan menjadi lebih
demokratis, tidak ada `penguasa tunggal’, orang nomer satu (merujuk
kata-kata KH. Zainudin MZ). Baik penulis maupun pembaca memiliki ruang
yang sama dalam memahami kebudayaan.
Konteks, boleh berpindah-pindah dan hanya ada dalam komunikasi dimana
suatu konstruksi pemikiran tersusun melalui dialektika. Dengan
pergeseran itu, timbul kebebasan atau kemerdekaan dalam mengetengahkan
dimensi-dimensi kemanusiaan, dibanding tuntutan kepastian yang mereduksi
realitas kemanusiaan. Dengan kata lain, out of context bukan mengejar
budaya sebagai where, budaya tidaklah mono, melainkan plural dan menurut
siapa.
Strathern juga memberikan sugesti bahwa gerakan feminisme pun memiliki
andil penting dalam postmodernisme, karena tidak sedikit karya feminis
yang dibentuk dengan wacana plural. Keduanya, memang memiliki visi yang
berbeda, namun juga ada hal-hal esensial yang saling melengkapi. Seperti
halnya ditegaskan oleh Fraser dan Nicholson (1990:20), jika
postmodernisme ke arah prinsip dan esensi kritik budaya yang canggih dan
persuasif serta cenderung mencari kekurangan-kekurangan, feminisme
berusaha secara tegas cenderung mencari pergeseran prinsip dan esensi.
Dengan kehadiran postmodernisme itu, penulis dan peneliti peneliti
budaya menjadi lebih longgar. Sekarang, bukan lagi soal objektivitas
yang harus diperhatikan, melainkan pada pemahaman budaya yang tidak
tercerabut dari akar pluralisme budaya. Tidakkah Benjamin dan Adorno
(Sullivan, 1990:269) juga mensugestikan bahwa postmodernisme mampu
menjembatani gap antara subjek dan obyek, praktis dan teori dalam
peneliti budaya. la mengatakan: “The merger of theory and textual form
in postmodernismeist ethnography may, upon closer historical
examinantion, prove to be a similarly illusory fiat”. Bahkan Bruner
(1993:23) mengungkapkan bahwa lukisan karya postmodernisme adalah: “a
world that is multivocal, fragmented, desentered, with no master
narrativees or central texs, a world in wich meaning is radically
plural”.
Hanya saja, apakah konteks serupa telah mendapat sambutan hangat dari
peneliti budaya kita? Apakah skripsi-skripsi dan juga desertasi peneliti
budaya di Indonesia telah mau menjelajah apa yang dikehendaki Frazer?
Jika belum, atau tidak, lalu kapan postmodernisme akan berkembang?
Pertanyaan ini, tidak harus dijawab serta merta, melainkan waktulah yang
menjawab dengan pasti.
Kendatipun begitu, kehadiran ide Frazer dan Keesing telah membuka mata
kita. Setidaknya, implikasi penting dari semua itu bagi calon peneliti
budaya akan terbuka wawasan baru ke arah dunia baru yang rumit. Lalu,
kita akan lebih berhati-hati dalam menjelaskan dan memahami budaya masa
kini. Terlebih lagi jika bertumpu pada pernyataan Keesing (1981:207-270)
dengan adanya persoalan mendasar pada dunia ketiga dan dunia keempat.
Pandangan ini menginginkan seorang peneliti budaya yang futurolog,
mampu melihat ke depan dengan kacamata postmodemisme. Oleh karena,
mengalirnya pengaruh postmo di pasar global dan abad mellenium nanti
penuh tantangan. Hal serupa juga telah ditunjukkan Strinati
(1995:228-235) bahwa masa budaya massa dan budaya populer jelas akan
hadir di depan mata kita. Pengaruh globalisasi, seperti film,
arsitektur, televisi,
Man, musik pop dan sebagainya akan membuat pergeseran konteks budaya kita juga.
Lebih khusus lagi, kita akan tercuci batinnya bahwa dalam beretnografi
dan meneliti: (1) kita jangan memaksakan pandangan, (2) kita mesti harus
berhati-hati dalam meletakkan budaya dalam posisinya, (3) dalam
memahami budaya tidak harus etnosentris, artinya menurut `kaca mata’ si
peneliti saja, (4) pemahaman budaya perlu share, berbagi pengalaman
antara penulis dan pembaca, (5) penulis dan pembaca harus akrab,
familier, kendati kita boleh bermain-main dengan bahasa, (6) harus
jujur’ akan karya kita dan keterbatasan jangkauan kita.
Persoalan yang harus dihadapi lebih jauh lagi, dengan adanya pemahaman
bahwa konteks bisa bergeser, berubah, meloncat, dan bahkan berputar
sampai 360 derajat – memang pada gilirannya akan menyulitkan penulisan
sejarah peneliti budaya (baca: kebudayaan) itu sendiri. Kebudayaan
menjadi sangat bebas dan hanya akan terpahami secara mendalam oleh
kritikus kebudayaan.
Akhirnya, karya kritik ini akan menyulitkan pula dalam menyusun teori
kebudayaan. Atau mungkin, analog dengan wacana sastra, pada tataran
tertentu memang tidak dibutuhkan sejarah dan teori peneliti budaya,
etnografi, dan kebudayaan. Lalu, dengan munculnya sejumlah buku, seperti
tulisan Van Ball dan Kcentjaraningrat, yang masih beria-ria dengan
sejarahteori itu menjadi kurang penting? Pasalnya, kenapa harus ditulis
sejarah dan teori, jika budaya itu sendiri `tidak jelas’ ada dimana,
seperti apa?
Postmodernisme biasanya mengembangkan paradoks-paradoks penafsiran
makna. Artinya, yang semula oleh kaum modern ada unsur budaya yang
disisihkan, dianggap kecil, dianggap pinggiran, dan kurang mendukung
makna – oleh kaum postmo justru dikejar. Kemungkinan hal-hal yang
sepele yang kurang “bernyawa” itu menjadi bermakna istimewa. Itulah
sebabnya Esneva dan Prakash (1998:3) menyatakan bahwa grass roots dari
postmodernisme adalah kontradiksi. Melalui asumsi ke hal-hal yang
kontradiktif dengan yang telah lazim, justru mereka mampu menemukan
malma hakiki sebuah fenomena budaya.
3. Langkah Kajian
Menurut kaum postmodernisme, telah ada pelenyapan batasbatas antara
seni dan kehidupan masa kini, antara budaya strukti.u’al (legitimated,
birokrasi) dengan budaya populer, semua itu akan ditandai dengan
penghilangan kode stilistik masing-masing. Bahkan, menurut mereka pada
suatu saat budaya akan menjadi sebuah ironi, parodi, dan penuh
permainan. Jadi, fenomena budaya boleh SO bersifat imajiner, bebas,
liar, dan bermakna. Budaya tak lagi berupa “monumen” dan “bangunan”
kokoh, melainkan sebuah fenomena lentur, mesra, dan artistik.
Dengan demikian, postmodernisme memang menolak sebuah hirarkhi,
genealogik, kontiuitas, keseragaman, dan perkembanganDalam tataran ini,
tidak berarti kaum postmodernisme sekedar membuat dobrakan (destruksi)
pada kaum modem, melainkan ingin merepresentasikan segala sesuatu yang
buntu pada masa modern. Oleh karena kaum modern sering taat pada standar
logis, posmodernisme lebih dari itu, yaitu tidak menggunakan standar
baku, melainkan bersifat kreatif.
Itulah sebabnya, Demda selalu menyarankan agar pengkaji postmodernisme
tak ragu-ragu melakukan dekonstruksi. Pembalikan struktur sah-sah saja,
asalkan bertujuan untuk memahami rnaknaDalam kaitan ini, Derrida
mengusulkan adanya istilah “supplement’”, yang berasal dari bahasa
Perancis “suppleer” artinya mengganti, Misalkan saja, kita harus
menafsirkan budaya baik dan buruk. Ada yang berpendapat kebaikan ada
karena ada standar keburukatlBahkan, dalam tema tertentu sering muncul
keburukan akan terhapus dengan kebaikan. Paham semacam ini, semestinya
didekonstruksi• dengan cara berpikir “mengganti”. Kita perlu menyajikan
tesis bahWa “buruk” hanyalah pengganti saja perannya.
Atas dasar itu, Derrida memberikan saran agar berhati-hati jika peneliti
budaya berhadapan dengan budaya sebagai teks maupun ujaran dan
tindakan. Budaya sebagai teks sering akan mengaburkan kenyataan, karena
telah dipoles oleh kata. Begitu pula tindakan dan ujaran yang ditulis,
seringkali juga menjauhi realitas. Padahal, makna budaya kadang-kadang
boleh terpisah dari yang nampak dan referensi yang hadir. Maka, paham
postmodernisme selalu berada pada posisi: plural makna dibanding
otoritas kesatuan makna, lebih berupa kritikan dibanding kepatuhan, ke
arah perbedaan dibanding persamaan, dan lebih bersikap skeptis terhadap
sistem budaya.
Melalui postmodernisme, paham budaya sebagai teks akan dibongkar
habis-habisan. Karena, teks sering diliputi “kekuasaan”. Ada hegemoni
makna yang seringkali mengintervensi budaya. Dalam
hal ini, memang ada benarnya jika Foucault menolak adanya sejarah yang
obyektif. Tulisan sejarah adalah fenomena budaya. Sayangnya, fenomena
ini sering terkotori oleh trope (kiasan) dan sejumlah “ulangan” absurd.
Di sini telah terjadi pemerkosaan wacana budaya. Karena itu, jika hal
ini dimaknai menggunakan kacamata modern, seringkali gagal.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan ketika mengkaji postmodernisme
menurut Derrida (Sugiharto, 2001:45) yaitu: Pertama, mengidentifikasi
hirarkhi oposisi dalam teks di mana biasanya lantas terlihat
peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi
itu dibalik, misalnya dengan menunjukkan saling ketergantungan di antara
yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan privilese secara
terbalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang
ternyata tak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.
C. KAJIAN POSTKOLONIALISME
Kajian postkolonial dalam bidang budaya memang tergolong baru. Bahkan,
mungkin masih jarang yang berani menerapkan teori kajian ini ke dalam
wilayah budaya. Karena, awal munculnya paham tersebut berasal dari
kajian sastra (postcolonial literature) yang dipelopori oleh Bill
Aschroft dkk (Gandi, 2001:vi). Paham ini, semula mencuatkan pemahaman
model national dan black writing. Model national memusatkan perhatian
pada hubungan antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black
writing, menekankan aspek etnisitas.
Sebagaimana kehadiran postmodernisme dalam kajian budaya, yang juga
dipicu oleh teori-teori sastra dan seni, postkolonialisme pun sebenarnya
layak diangkat untuk mengkaji budaya. Konteks penjajahterjajah, dalam
fenomena budaya sebenarnya lebih kaya. Banyak hal yang unik dan menarik
untuk diungkap melalui teori postkolonialisme. Hegemoni penjajah yang
luar biasa, akan menjadi bahan kajian peneliti budaya. Begitu pula
persinggungan pluralisme budaya, telah banyak menyuguhkan persoalan
etnis, sehingga menarik bagi paham postkolonialisme.
Tradisi postkolonial mengenal dua kunci utama pemahaman budaya: Pertama,
dominasi-subordinasi. Isu dominasi dan subordinasi muncal berkenaan
dengan krontrol militer kolonial genocide dan keterbelakangan ekonomi.
Keduanya tak hanya terjadi antara negara dan etnis, tetapi juga antar
negara dengan negara, etnis dengan etnis. Bahkan, pada gilirannya dengan
sistem kolonial yang aristokrat telah mengubah suborninasi dan dominasi
individu kepada individu lain. Jika hal ini terjadi, maka hubungan
atasan-bawah, patron-clien, majikan-buruh, akan selalu ada. Budaya
semacam ini, telah melahirkan keunikan-keunikan yang patut dicermati
oleh peneliti budaya. Bahkan, suborniasi dan dominasi laki-laki terhadap
perempuan, sehingga di Jawa ada anggapan wanita minangka kanca
wingking, artinya wanita hanyalah teman di belakang (baca: dapur)
menjadi semakin rumit.
Kedua, hibriditas dan kreolisasi. Budaya lama di era kolonial, melalui
proses hibriditas akan semakin pudar. Bahasa juga akan mengalami
kreolisasi, yaitu ke arah penciptaan bentuk-bentuk ekspresi baru. Budaya
kolonial akan diubah (transkultural) ke dalam wacana hidup baru.
Identitas budaya yang konon selalu dianggap halus dan agung (adiluhung),
kemungkinan besar segera bergeser maknanya. Era global-lokal dan
otonomi daerah, sedikit banyak telah memoles budaya lama ke dalam budaya
baru. Kekuatan paternal dan pusat, lama-kelamaan berubah ke pinggiran.
Kekuatan sakral (njeron beteng) misalnya, akan berubah sembilan puluh
derajat. Tembok keraton dari waktu ke waktu juga “runtuh”, bercampur
dengan kelugasan di luar keraton. Dalam perubahan tersebut selalu
terjadi negosiasi antar pelaku. Hibriditas tradisi yang konon dianggap
hebat, lalu berkembang menj adi melemah.
Dengan adanya postkolonial ini, peneliti budaya Jawa misalkan, dapat
melalukan studi mendalam tentang terjadinya sinkretisme Islam Jawa,
Hindu Jawa, yang selalu mewarnai kehidupan masyarakat. Jika pada
awalnya, rakyat terjajah enggan menerima paham lain, namun dengan ada
sinkretik barangkali mereka sama-sama diuntungkan. Mereka sama-sama tak
terasa telah mengalami akulturasi budaya. Mereka pula secara halus telah
mau menerima dan memberi kepada pihak lain. Proses keberterimaan dan
penolakan budaya inilah yang menarik perhatian peneliti.
Yang perlu dipertimbangkan dalam kajian poskolonialisme budaya adalah
konsep kajian Gayatri Spivak tentang subaltern. Dia mengajukan
pertanyaan kritis: “dapatkan subaltern berbicara?” Subaltern adalah
subjek yang tertekan (Gandhi, 2001:1).
Pertanyaan ini telah mengarahkan peneliti budaya, untuk mengkaji lebih
jauh eksistensi budaya orang-orang terjajah. Biasanya posisi kaum
terjajah adalah inferior, sedangkan penjajah superior. Pihak inferior
sering “bisu” karena harus menurut kehendak superior. Karenanya, memang
tepat apabila dipertanyakan “dapatkah subaltern berbicara. Ini sebuah
ironis, yang ingin menyatakan bahwa budaya kaum penjajah sering
memaksakan kehendak.
Atas dasar hal tersebut, lalu muncul dua tipe kolonialisme. Pertama,
berhubungan dengan penaklukan fisik. Kedua penaklukan pikiran, jiwa, dan
budaya. Baik penaklukan pertama maupun kedua, sama-sama tak mengenakkan
bagi kaum kolonialis. Kedua tipe ini, seringkali telah menumbuhkan
produk-produk budaya baru, misalkan saja ada penciptaan seni dan budaya.
Begitu pula penciptaan sastra yang memuat subkultur tertentu, yang
diam-diam menolak tradisi penjajah.
Konsep kolonialisme di era manapun memang selalu bergerak pada dua hal.
Pertama, menguntungkan si penjajah, terutama pada bidang-bidang
tertentu. Kedua, menguntungkan kedua-duanya, karena si terjajah dapat
belajar banyak tentang budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah
menyisakan pengalaman kultural yang luar biasa.
Apalagi, jika penjajah telah sampai menanamkan imperalismenya, tentu
kolonialisme semakin rumit. Pada tataran ideologis tentu akan lebih
berbahaya dalam kehidupan terjajah. Akibatnya, kehidupan si terjajah
secara tak sadar akan mengikuti kehendak penjajah.
Di era modern yang serta global ini, penjajahan telah semakin pelik.
Penjajahan teknologi informasi, kultural, dan politik telah menyisakan
pengalaman pahit. Bahkan, bangsa terjajah akan mengalami stress berat,
karena merasa diombang-ambingkan oleh penjajah. Misalkan saja, ketika
isu teror ditiupkan Amerika, secara tak langsung bangsa-bangsa yang
mayoritas Islam telah semakin gerah.
Dengan demikian, kekuatan memang akan selalu bermain dalam kancah
kolonialisme. Karena itu, peneliti budaya dapat memusatkan perhatian ke
arah ini. Termasuk di dalamnya juga penjajahan kultural, seperti budaya
pelacur kelas kakap, teror bom, jual beli bayi, ABG, dan sebagainya
patut disorot dalam postkolonialisme.
Yang penting dikemukakan, tradisi postkolonialisme tak berarti harus
menarik waktu dalam rentang panjang. Peneliti tak harus menarik mundur
kacamatanya ke aspek historis belaka. Peneliti budaya seharusnya tak
terkecoh dengan lama tidaknya kolonialisme. Kolonialisme dapat
berlangsung singkat, datang pergi, dan tak pernah berhenti sepanjang
bangsa dan etnis satu berhubungan dengan yang lain.
Kajian postkoloniasme budaya paling tidak harus mengaitkan dengan aspek
politik. Kekuasaan politik akan mewarnai kultur kaum kolonialis. Oleh
karena, penjajah akan menanamkan apa saja dan lewat saja yang mungkin
dan strategis sebagai media. Itulah sebabnya studi postkolonialisme yang
berhasil akan menjadi dokumentasi kritik sejarah. Dokumentasi ini akan
menjadi pelajaran berharga bagi pemilik budaya itu sendiri.
Pengembangan program KRR melalui jalur Pramuka sangatlah strategi, hal ini mengingat Gerakan Pramuka adalah suatu Gerakan Pendidikan untuk kaum muda (peserta didik 7 s.d 25 tahun) yang bersifat sukarela, non politik, terbuka untuk semua, tanpa membedakan asal usul, ras, suku dan agama yang menyelenggarakan kepramukaan melalui sistem nilai yang didasarkan pada Satya dan Darma Pramuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar