Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang
didunia. Umurnya dapat mencapai 70 tahun. Tetapi untuk mencapai umur
sepanjang itu seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat
berat pada umurnya yang ke 40.
Ketika elang berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi
panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya
menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan
tebal,sehingga sangat menyulitkan waktu terbang.
Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: Menunggu kematian,
atau Mengalami suatu proses transformasi yang sangat menyakitkan -
suatuproses transformasi yang panjang selama 150 hari.
Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang
keatas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang ditepi jurang ,
berhenti dan tinggal disana selama proses transformasi berlangsung.
Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai
paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama
menunggu tumbuhnya paruh baru.
Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu
cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan
mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan
menyakitkan. Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang barusudah
tumbuh. Elang mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru,
elang tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh
energi!
...
Sahabat, Dalam kehidupan kita ini, kadang kita juga harus melakukan
suatu keputusan yang sangat berat untuk memulai sesuatu proses
pembaharuan. Kita harus berani dan mau membuang semua kebiasaan lama
yang mengikat, meskipun kebiasaan lama itu adalah sesuatu yang
menyenangkan dan melenakan.
Kita harus rela untuk meninggalkan perilaku lama kita agar kita dapat
mulai terbang lagi menggapai tujuan yang lebih baik di masa depan.
Hanya bila kita bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk
belajar hal-hal yang baru, kita baru mempunyai kesempatanuntuk
mengembangkan kemampuan kita yang terpendam, mengasah keahlian baru dan
menatap masa depan dengan penuh keyakinan.
Halangan terbesar untuk berubah terletak di dalam diri sendiri dan
andalah sang penguasa atas diri anda. Jangan biarkan masa lalu
menumpulkan asa dan melayukan semangat kita.Karena Anda adalah
elang-elang itu.
Perubahan pasti terjadi. Maka itu, kita harus berubah! Salam Motivasi...!
Pengembangan program KRR melalui jalur Pramuka sangatlah strategi, hal ini mengingat Gerakan Pramuka adalah suatu Gerakan Pendidikan untuk kaum muda (peserta didik 7 s.d 25 tahun) yang bersifat sukarela, non politik, terbuka untuk semua, tanpa membedakan asal usul, ras, suku dan agama yang menyelenggarakan kepramukaan melalui sistem nilai yang didasarkan pada Satya dan Darma Pramuka.
Rabu, 27 November 2013
Cerita Kapak, Gergaji, Palu, dan Api
Alkisah suatau ketika kapak, gergaji, palu dan nyala api sedang
melakukan perjalanan bersama2. Disuatu tempat perjalanan mereka terhenti
karena terdapat sepotong besi baja yang tergeletak menghalangi jalan.
Mereka berusaha menyingkirkan baja tersebut dengan kekuatan mereka
masing2.
"Itu bisa aku singkirkan" kata kapak. Pukulan2nya keras sekali menghantam baja yang kuat & keras juga itu. Tapi tiap bacokan hanya membuat kapak itu semakin tumpul sendiri sehingga sampai ia berhenti.
"Sini biar aku yg urus" kata gergaji. Dengan gigi2 yang tajam tanpa perasaan, iapun mulai menggergaji. Tapi alangkah kaget & kecewa ia, semua giginya jadi tumpul dan rontok.
"Apa kubilang" kata palu. Kan aku dah ngomong, kalian takan bisa. Sini, sini kutunjukan caranya" Tapi baru sekali ia memukul, kepalanya terpental sendiri, dan baja tetap tak berubah."Boleh aku coba?" tanya nyala api. Dan iapun melingkarkan diri, dengan lembut menggeluti, memeluk dan mendekapnya erat2 tanpa mau melepaskannya. Baja yang keras itupun meleleh dan cair.
...
Sahabat,Ada banyak hati cukup keras untuk melawan kemurkaan dan amukan kemarahan demi harga diri. Tapi jarang ada hati yang tahan melawan api cinta kasih yang hangat.
Betapa arif dan bijak ada dalam sebuah kelembutan dan kehangatan, seperti api mencairkan hati yang dingin. Ah.... tak ada yang tahan menampik cinta dan kasih sayang...
Mengutip kata-kata Pak Mario Teguh :
Hatimu yang mudah merasa kasihan itutidak lemah,
tetapi justru tandabahwa engkau adalah jiwa yang disiapkanbagi peran pelayanan yang besar.
Hati yang kasar dan kejamtidak akan mampu mengemban tugas untuk membahagiakan sesama.
Hatimu yang mudah pedih melihat penderitaan sesama itua dalah rahmat Tuhan.
Bersyukurlah,dan segeralah gunakan rahmat itudalam pekerjaan yang membaikkanhidup banyak orang.
Salam Super dan Motivasi...! ^_^
"Itu bisa aku singkirkan" kata kapak. Pukulan2nya keras sekali menghantam baja yang kuat & keras juga itu. Tapi tiap bacokan hanya membuat kapak itu semakin tumpul sendiri sehingga sampai ia berhenti.
"Sini biar aku yg urus" kata gergaji. Dengan gigi2 yang tajam tanpa perasaan, iapun mulai menggergaji. Tapi alangkah kaget & kecewa ia, semua giginya jadi tumpul dan rontok.
"Apa kubilang" kata palu. Kan aku dah ngomong, kalian takan bisa. Sini, sini kutunjukan caranya" Tapi baru sekali ia memukul, kepalanya terpental sendiri, dan baja tetap tak berubah."Boleh aku coba?" tanya nyala api. Dan iapun melingkarkan diri, dengan lembut menggeluti, memeluk dan mendekapnya erat2 tanpa mau melepaskannya. Baja yang keras itupun meleleh dan cair.
...
Sahabat,Ada banyak hati cukup keras untuk melawan kemurkaan dan amukan kemarahan demi harga diri. Tapi jarang ada hati yang tahan melawan api cinta kasih yang hangat.
Betapa arif dan bijak ada dalam sebuah kelembutan dan kehangatan, seperti api mencairkan hati yang dingin. Ah.... tak ada yang tahan menampik cinta dan kasih sayang...
Mengutip kata-kata Pak Mario Teguh :
Hatimu yang mudah merasa kasihan itutidak lemah,
tetapi justru tandabahwa engkau adalah jiwa yang disiapkanbagi peran pelayanan yang besar.
Hati yang kasar dan kejamtidak akan mampu mengemban tugas untuk membahagiakan sesama.
Hatimu yang mudah pedih melihat penderitaan sesama itua dalah rahmat Tuhan.
Bersyukurlah,dan segeralah gunakan rahmat itudalam pekerjaan yang membaikkanhidup banyak orang.
Salam Super dan Motivasi...! ^_^
Papan dan Rayap
Dikisahkan dua orang laki-laki bekerja keras membuat sebuah perahu.
Ketika sedang sibuk bekerja mereka berdua menemukan rayap disebuah
papan. Salah seorang dari mereka kemudian ingin membuang papan itu tapi
temannya melarang. Dia berkata, ”kenapa papan ini dibuang? Kan sayang.
Lagipula tidak ada masalah. Cuma kena rayap sedikit saja.”
Karena tidak ingin mengecewakan temannya, papan yang ada rayapnya pun digunakan untuk membuat perahu. Selang beberapa hari, perahu pun selesai dan sudah bisa digunakan untuk melayari lautan.
Tapi beberapa tahun kemudian, rayap-rayap itu ternyata bertelur dan menetas. Rayap-rayap itu kemudian menggerogoti kayu kapal. Bahkan rayap-rayap itu menyebar kemana-mana hingga memakan kayu yang ada di lambung kapal.
Kapal terus digunakan dan tak seorang pun sadar hingga akhirnya, kayu-kayu perahu itu pun mulai keropos. Dan, ketika dihantam oleh ombak besar, air berhasil menembus masuk dari celah-celah dan lubang-lubang kayu.
Karena hujan juga sering turun dengan deras, para awak perahu tidak mampu lagi menguras air yang masuk ke dalam perahu sehingga akhirnya perahu itu karam. Di dalamnya terdapat barang-barang berharga dan nyawa manusia.
....
Sahabatku, Kalau saja kita sadar bahwa malapetaka besar ini sebenarnya berasal dari hal yang remeh dan tidak berharga seperti papan yang sudah kena rayap. Kalau saja ketika membuat perahu dahulu papan itu dibuang, tentu saja malapetaka ini bisa dicegah.
Dan, begitulah kalau pada kenyataannya kita sering tidak sadar kalau perbuatan-perbuatan kesalahan kecil dan remeh yang kita lakukan kadang-kadang justru malah menimbulkan malapetaka besar.
orang arif bijak pernah berkata :"Berhati-hatilah dan berhematlah atas pengeluaran-pengeluaran kecil. kebocoran kecil bisa mengaramkan kapal."
Semoga bermanfaat... Salam Motivasi...!
Karena tidak ingin mengecewakan temannya, papan yang ada rayapnya pun digunakan untuk membuat perahu. Selang beberapa hari, perahu pun selesai dan sudah bisa digunakan untuk melayari lautan.
Tapi beberapa tahun kemudian, rayap-rayap itu ternyata bertelur dan menetas. Rayap-rayap itu kemudian menggerogoti kayu kapal. Bahkan rayap-rayap itu menyebar kemana-mana hingga memakan kayu yang ada di lambung kapal.
Kapal terus digunakan dan tak seorang pun sadar hingga akhirnya, kayu-kayu perahu itu pun mulai keropos. Dan, ketika dihantam oleh ombak besar, air berhasil menembus masuk dari celah-celah dan lubang-lubang kayu.
Karena hujan juga sering turun dengan deras, para awak perahu tidak mampu lagi menguras air yang masuk ke dalam perahu sehingga akhirnya perahu itu karam. Di dalamnya terdapat barang-barang berharga dan nyawa manusia.
....
Sahabatku, Kalau saja kita sadar bahwa malapetaka besar ini sebenarnya berasal dari hal yang remeh dan tidak berharga seperti papan yang sudah kena rayap. Kalau saja ketika membuat perahu dahulu papan itu dibuang, tentu saja malapetaka ini bisa dicegah.
Dan, begitulah kalau pada kenyataannya kita sering tidak sadar kalau perbuatan-perbuatan kesalahan kecil dan remeh yang kita lakukan kadang-kadang justru malah menimbulkan malapetaka besar.
orang arif bijak pernah berkata :"Berhati-hatilah dan berhematlah atas pengeluaran-pengeluaran kecil. kebocoran kecil bisa mengaramkan kapal."
Semoga bermanfaat... Salam Motivasi...!
Falsafah Lima Jari
Sahabat, ada falsafah tentang lima jari kita...
1.. Ada si gendut jempol yang selalu berkata baik dan menyanjung.
2.. Ada telunjuk yang suka menunjuk dan memerintah.
3.. Ada si jangkung jari tengah yang sombong dan suka menghasut jari telunjuk.
4.. Ada jari manis yang selalu menjadi teladan, baik, dan sabar sehingga diberi hadiah cincin.
5.. Dan ada kelingking yang lemah dan penurut serta pemaaf (ingatkah anda waktu kecil kalau kita berbaikan dengan musuh kita pasti saling sentuh jari kelingking?).
Dengan perbedaan positif dan negatif yang dimiliki masing-masing jari, mereka bersatu untuk mencapai tujuan (menulis, memegang, menolong anggota tubuh yg lain, melakukan pekerjaan, dll).
Sahabat, Pernahkah kita bayangkan bila tangan kita hanya terdiri dari jempol semua?
Falsafah ini sederhana namun sangat berarti. Kita diciptakan dengan segala perbedaan yang kita miliki dengan tujuan untuk bersatu, saling menyayangi,saling menolong, saling membantu, saling mengisi, bukan untuk saling menuduh, menunjuk, merusak, dan bahkan membunuh. Sudahkah kasih sayang anda hari ini bertambah? Semoga bermanfaat.
Terima kasih telah membaca... Salam MOTIVASI...!
1.. Ada si gendut jempol yang selalu berkata baik dan menyanjung.
2.. Ada telunjuk yang suka menunjuk dan memerintah.
3.. Ada si jangkung jari tengah yang sombong dan suka menghasut jari telunjuk.
4.. Ada jari manis yang selalu menjadi teladan, baik, dan sabar sehingga diberi hadiah cincin.
5.. Dan ada kelingking yang lemah dan penurut serta pemaaf (ingatkah anda waktu kecil kalau kita berbaikan dengan musuh kita pasti saling sentuh jari kelingking?).
Dengan perbedaan positif dan negatif yang dimiliki masing-masing jari, mereka bersatu untuk mencapai tujuan (menulis, memegang, menolong anggota tubuh yg lain, melakukan pekerjaan, dll).
Sahabat, Pernahkah kita bayangkan bila tangan kita hanya terdiri dari jempol semua?
Falsafah ini sederhana namun sangat berarti. Kita diciptakan dengan segala perbedaan yang kita miliki dengan tujuan untuk bersatu, saling menyayangi,saling menolong, saling membantu, saling mengisi, bukan untuk saling menuduh, menunjuk, merusak, dan bahkan membunuh. Sudahkah kasih sayang anda hari ini bertambah? Semoga bermanfaat.
Terima kasih telah membaca... Salam MOTIVASI...!
Cerita Anak Kerang
Pada suatu hari ....seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan
mengaduh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang
merah dan lembek.
Anakku, kata sang Ibu sambil bercucuran air mata, Tuhan tidak memberikan kita bangsa kerang sebuah tangan pun sehingga Ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa pedih dan sakit yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat, kata Ibunya dengan sendu namun lembut.
Maka si anak kerang pun melakukan nasihat ibundanya.Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan bertahun-tahun. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara
mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Makin lama mutiaranya makin besar. Rasa sakit menjadi terasa wajar. Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada seribu ekor kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.
(Resonansi)
~~~
Sahabat, Kekecewaan dan penderitaan akan selalu ada dalam hidup kita. Seakan-akan Tuhan selalu mengambil kebahagiaan yang ada pada kita. Tidak...tidak seperti itu. Kita hanya harus bersabar terhadap segala sesuatu yang menimpa kita dan menanti ketetapan Tuhan. Dan semuanya akan berakhir dengan indah.Karena segala sesuatu yang baik akan selalu mengarah pada kebaikan.Kekecewaan dan penderitaan telah membuat seekor kerang biasa menjadi kerang luar biasa.Kekecewaan dan penderitaan pun akan dapat mengubah orang biasa menjadi orang luar biasa.
Terimakasih telah membaca cerita ini.. semoga bermanfaat...
Salam Motivasi...!
Anakku, kata sang Ibu sambil bercucuran air mata, Tuhan tidak memberikan kita bangsa kerang sebuah tangan pun sehingga Ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa pedih dan sakit yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat, kata Ibunya dengan sendu namun lembut.
Maka si anak kerang pun melakukan nasihat ibundanya.Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan bertahun-tahun. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara
mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Makin lama mutiaranya makin besar. Rasa sakit menjadi terasa wajar. Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada seribu ekor kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.
(Resonansi)
~~~
Sahabat, Kekecewaan dan penderitaan akan selalu ada dalam hidup kita. Seakan-akan Tuhan selalu mengambil kebahagiaan yang ada pada kita. Tidak...tidak seperti itu. Kita hanya harus bersabar terhadap segala sesuatu yang menimpa kita dan menanti ketetapan Tuhan. Dan semuanya akan berakhir dengan indah.Karena segala sesuatu yang baik akan selalu mengarah pada kebaikan.Kekecewaan dan penderitaan telah membuat seekor kerang biasa menjadi kerang luar biasa.Kekecewaan dan penderitaan pun akan dapat mengubah orang biasa menjadi orang luar biasa.
Terimakasih telah membaca cerita ini.. semoga bermanfaat...
Salam Motivasi...!
Sifat Kepiting
Mungkin banyak yang tahu wujud kepiting, tapi tidak banyak yang tahu sifat
kepiting. Semoga Anda tidak memiliki sifat kepiting yang dengki.
kepiting. Semoga Anda tidak memiliki sifat kepiting yang dengki.
Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakan
kepiting sawah.
kepiting sawah.
Kepiting
itu ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat. Kepiting-kepiting itu
dengan mudah ditangkap di malam hari, lalu dimasukkan ke dalam
baskom/wadah, tanpa diikat.
Keesokkan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus dan lalu disantap
untuk lauk selama beberapa hari. Yang paling menarik dari kebiasaan
ini, kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom,
sekuat tenaga mereka, dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat.
untuk lauk selama beberapa hari. Yang paling menarik dari kebiasaan
ini, kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom,
sekuat tenaga mereka, dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat.
Namun seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun hasil
buruannya selalu berusaha meloloskan diri.
buruannya selalu berusaha meloloskan diri.
Resepnya hanya satu, yaitu si pemburu tahu betul sifat si kepiting.
Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari baskom,
teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar.
teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar.
Jika ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut baskom, lagi-lagi temannya
akan menariknya turun… dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar.
akan menariknya turun… dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar.
Keesokan harinya sang pemburu tinggal merebus mereka semua dan matilah
sekawanan kepiting yang dengki itu.
sekawanan kepiting yang dengki itu.
Begitu pula dalam kehidupan ini…
tanpa sadar kita juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu.
tanpa sadar kita juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu.
Yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita mengalami
kesuksesan kita malahan mencurigai, jangan-jangan kesuksesan itu diraih
dengan jalan yang nggak bener.
kesuksesan kita malahan mencurigai, jangan-jangan kesuksesan itu diraih
dengan jalan yang nggak bener.
Apalagi di dalam bisnis atau hal lain yang mengandung unsur kompetisi,
sifat iri, dengki, atau munafik akan semakin nyata dan kalau tidak segera
kita sadari tanpa sadar kita sudah membunuh diri kita sendiri.
sifat iri, dengki, atau munafik akan semakin nyata dan kalau tidak segera
kita sadari tanpa sadar kita sudah membunuh diri kita sendiri.
Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnis atau
persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting
dari itu seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya.
persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting
dari itu seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya.
Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bisa juga kalah dalam
suatu persaingan, namun yang pasti kita menang dalam kehidupan ini.
suatu persaingan, namun yang pasti kita menang dalam kehidupan ini.
Pertanda seseorang adalah ‘kepiting’:
1. Selalu mengingat kesalahan pihak luar (bisa orang lain atau situasi)
yang sudah lampau dan menjadikannya suatu prinsip/pedoman dalam
bertindak
yang sudah lampau dan menjadikannya suatu prinsip/pedoman dalam
bertindak
2. Banyak mengkritik tapi tidak ada perubahan
3. Hobi membicarakan kelemahan orang lain tapi tidak mengetahui kelemahan
dirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk menarik kepiting-kepiting yang
akan keluar dari baskom dan melupakan usaha pelolosan dirinya sendiri.
dirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk menarik kepiting-kepiting yang
akan keluar dari baskom dan melupakan usaha pelolosan dirinya sendiri.
..Seharusnya kepiting-kepiting itu tolong-menolong keluar dari baskom,
namun yah… dibutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya…
namun yah… dibutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya…
Coba renungkan berapa waktu yang Anda pakai untuk memikirkan cara-cara
menjadi pemenang. Dalam kehidupan sosial, bisnis, sekolah, atau agama.
Dan gantilah waktu itu untuk memikirkan cara-cara pengembangan diri Anda
menjadi pribadi yang sehat dan sukses.
menjadi pemenang. Dalam kehidupan sosial, bisnis, sekolah, atau agama.
Dan gantilah waktu itu untuk memikirkan cara-cara pengembangan diri Anda
menjadi pribadi yang sehat dan sukses.
Sumber : motivation-live.blogspot.com
Hidup Adalah Sebuah Pilihan
Jerry adalah seorang manager restoran
di Amerika. Dia selalu dalam semangat yang baik dan selalu punya hal
positif untuk dikatakan. Jika seseorang bertanya kepadanya tentang apa
yang sedang dia kerjakan, dia akan selalu menjawab, " Jika aku dapat
yang lebih baik, aku lebih suka menjadi orang kembar!"
Banyak
pelayan di restorannya keluar jika Jerry pindah kerja, sehingga mereka
dapat tetap mengikutinya dari satu restoran ke restoran yang lain.
Alasan mengapa para pelayan restoran tersebut keluar mengikuti Jerry
adalah karena sikapnya.
Jerry adalah seorang motivator alami. jika karyawannya sedang mengalami hari yang buruk, dia selalu ada di sana, memberitahu karyawan tersebut bagaimana melihat sisi positif dari situasi yang tengah dialami.
Melihat
gaya tersebut benar-benar membuat aku penasaran, jadi suatu hari aku
temui Jerry dan bertanya padanya, "Aku tidak mengerti! Tidak mungkin
seseorang menjadi orang yang berpikiran positif sepanjang waktu.
Bagaimana
kamu dapat melakukannya?" Jerry menjawab, "Tiap pagi aku bangun dan
berkata pada diriku, aku punya dua pilihan hari ini. Aku dapat memilih
untuk ada di dalam suasana yang baik atau memilih dalam suasana yang
jelek. Aku selalu memilih dalam suasana yang baik. Tiap kali sesuatu
terjadi, aku dapat memilih untuk menjadi korban atau aku belajar dari
kejadian itu. Aku selalu memilih belajar dari hal itu. Setiap ada
sesorang menyampaikan keluhan, aku dapat memilih untuk menerima keluhan
mereka atau aku dapat mengambil sisi positifnya.. Aku selalu memilih
sisi positifnya."
"Tetapi
tidak selalu semudah itu," protesku. "Ya, memang begitu," kata Jerry,
"Hidup adalah sebuah pilihan. Saat kamu membuang seluruh masalah, setiap
keadaan adalah sebuah pilihan. Kamu memilih bagaimana bereaksi terhadap
semua keadaan. Kamu memilih bagaimana orang-orang disekelilingmu
terpengaruh oleh keadaanmu. Kamu memilih untuk ada dalam keadaan yang
baik atau buruk. Itu adalah pilihanmu, bagaimana kamu hidup."
Beberapa
tahun kemudian, aku dengar Jerry mengalami musibah yang tak pernah
terpikirkan terjadi dalam bisnis restoran: membiarkan pintu belakang
tidak terkunci pada suatu pagi dan dirampok oleh tiga orang bersenjata.
Saat mencoba membuka brankas, tangannya gemetaran karena gugup dan salah
memutar nomor kombinasi. Para perampok panik dan menembaknya.
Untungnya, Jerry cepat ditemukan dan segera dibawa ke rumah sakit.
Setelah
menjalani operasi selama 18 jam dan seminggu perawatan intensif, Jerry
dapat meninggalkan rumah sakit dengan beberapa bagian peluru masih
berada di dalam tubuhnya. Aku melihat Jerry enam bulan setelah musibah
tersebut.
Saat aku tanya Jerry bagaimana keadaannya, dia menjawab, "Jika aku dapat yang lebih baik, aku lebih suka menjadi orang kembar. Mau melihat bekas luka-lukaku?" Aku menunduk untuk melihat luka-lukanya, tetapi aku masih juga bertanya apa yang dia pikirkan saat terjadinya perampokan.
"Hal pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah bahwa aku harus mengunci pintu belakang," jawab Jerry. "Kemudian setelah mereka menembak dan aku tergeletak di lantai, aku ingat bahwa aku punya dua pilihan: aku dapat memilih untuk hidup atau mati. Aku memilih untuk hidup."
"Apakah kamu tidak takut?" tanyaku. Jerry melanjutkan, " Para ahli medisnya hebat. Mereka terus berkata bahwa aku akan sembuh. Tapi saat mereka mendorongku ke ruang gawat darurat dan melihat ekspresi wajah para dokter dan suster aku jadi takut. Mata mereka berkata 'Orang ini akan mati'. Aku tahu aku harus mengambil tindakan."
"Apa yang kamu lakukan?" tanya saya. "Disana ada suster gemuk yang bertanya padaku," kata Jerry. "Dia bertanya apakah aku punya alergi. 'Ya' jawabku..
Para dokter dan suster berhenti bekerja dan mereka menunggu jawabanku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, 'Peluru!' Ditengah tertawa mereka aku katakan, ' Aku memilih untuk hidup. Tolong aku dioperasi sebagai orang hidup, bukan orang mati'."
Jerry dapat hidup karena keahlian para dokter, tetapi juga karena sikapnya hidupnya yang mengagumkan. Aku belajar dari dia bahwa tiap hari kamu dapat memilih apakah kamu akan menikmati hidupmu atau membencinya.
Satu hal yang
benar-benar milikmu yang tidak bisa dikontrol oleh orang lain adalah
sikap hidupmu, sehingga jika kamu bisa mengendalikannya dan segala hal
dalam hidup akan jadi lebih mudah.Saat aku tanya Jerry bagaimana keadaannya, dia menjawab, "Jika aku dapat yang lebih baik, aku lebih suka menjadi orang kembar. Mau melihat bekas luka-lukaku?" Aku menunduk untuk melihat luka-lukanya, tetapi aku masih juga bertanya apa yang dia pikirkan saat terjadinya perampokan.
"Hal pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah bahwa aku harus mengunci pintu belakang," jawab Jerry. "Kemudian setelah mereka menembak dan aku tergeletak di lantai, aku ingat bahwa aku punya dua pilihan: aku dapat memilih untuk hidup atau mati. Aku memilih untuk hidup."
"Apakah kamu tidak takut?" tanyaku. Jerry melanjutkan, " Para ahli medisnya hebat. Mereka terus berkata bahwa aku akan sembuh. Tapi saat mereka mendorongku ke ruang gawat darurat dan melihat ekspresi wajah para dokter dan suster aku jadi takut. Mata mereka berkata 'Orang ini akan mati'. Aku tahu aku harus mengambil tindakan."
"Apa yang kamu lakukan?" tanya saya. "Disana ada suster gemuk yang bertanya padaku," kata Jerry. "Dia bertanya apakah aku punya alergi. 'Ya' jawabku..
Para dokter dan suster berhenti bekerja dan mereka menunggu jawabanku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, 'Peluru!' Ditengah tertawa mereka aku katakan, ' Aku memilih untuk hidup. Tolong aku dioperasi sebagai orang hidup, bukan orang mati'."
Jerry dapat hidup karena keahlian para dokter, tetapi juga karena sikapnya hidupnya yang mengagumkan. Aku belajar dari dia bahwa tiap hari kamu dapat memilih apakah kamu akan menikmati hidupmu atau membencinya.
Sumber : motivasi.net
Percaya Kemampuan Diri Sendiri
WAKTU masih kecil, Anda mungkin pernah
mendengar kisah adaptasi ‘The Little Engine That Could’? Buku itu
bercerita tentang kereta api yang bergerak ke bukit dengan perlahan dan
tersendat. Lokomotifnya berkata pada diri sendiri, “Aku bisa, aku bisa,
aku bisa.” Kereta pun terus bergerak perlahan naik hingga tiba di bukit
dengan selamat.
Pelajaran
sederhana yang dapat diberikan ialah: percayalah pada kemampuan diri
sendiri. Seandainya lokomotif itu tidak percaya akan kemampuannya tiba
di atas bukit, bisa jadi kisah dalam buku itu berakhir menyedihkan.
Bukan
hanya lokomotif itu saja yang dapat mengatakan, “Aku bisa, aku bisa,
aku bisa”, tetapi Anda pun dapat melakukan yang sama. William Arthur
Ward, penulis kondang asal Amerika mengatakan, ”Saya adalah pemenang
karena saya berpikir seperti pemenang, bersiap jadi pemenang, dan
bekerja serupa pemenang.” Ward betul, jika Anda berpikir menjadi seorang
pemenang, maka memang benar Anda seorang pemenang.
Kisah
heroik lokomotif itu dalam dunia nyata dibuktikan sendiri oleh
Hendrawan, atlet bulutangkis Indonesia. Tahun 1997, Hendrawan dinyatakan
sudah habis oleh PBSI. Karena faktor usia dan prestasinya yang menurun,
PBSI bermaksud mengeluarkan Hendrawan dari Tim Pelatnas. Tapi Hendrawan
punya keyakinan sendiri, bahwa ia percaya kemampuannya dan belumlah
habis. Hendrawan masih percaya bahwa ia dapat meraih prestasi yang lebih
baik lagi. Dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi, dan
diiringi kerja keras yang tidak lelah, Hendrawan menunjukkan kepada
dunia bahwa ia memang mampu meraih prestasi luar biasa.
Hendrawan
membuktikan kemampuannya telah sempat dinyatakan sudah habis. Tahun
1998, Hendrawan menjadi penentu kemenangan Tim Thomas Indonesia. Juga ia
menjuarai Singapura Terbuka. Kemudian di tahun 2000, Hendrawan kembali
menjadi penentu kemenangan Tim Thomas Indonesia. Di tahun itu pula ia
mengukir namanya dengan meraih medali perak dalam Olimpiade Sydney.
Masih di tahun yang sama, ia menjadi runner up Jepang Terbuka. Dan pada
tahun 2001, ia menjadi Juara Dunia Tunggal Putra, sebuah gelar yang
menjadi idaman pebulutangkis manapun di dunia. Tahun 2002, ia kembali
membawa Indonesia mempertahankan Piala Thomas ke Tanah Air.
Percaya
kemampuan diri sendiri tak harus ditunjukkan oleh mereka yang
berprofesi sebagai atlet, yang bekerja di kantoran, yang mempunyai
stamina fisik yang prima, atau mereka yang masih muda dan memiliki
semangat menggebu-gebu. Percaya pada diri sendiri, percaya akan
kemampuannya, dapat ditunjukkan oleh siapa pun. Tanpa mengenal
pekerjaan, status, umur, dan jenis kelamin.
Tahun
1988, nama Mak Eroh sempat menyedot publik nasional. Saat itu, semua
orang ramai memperbincangkannya . Mak Eroh, waktu itu berumur 50 tahun,
perempuan dari Kampung Pasirkadu, Desa Santana Mekar, Kecamatan
Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat memang telah mengukir
prestasi besar.
Apa
yang membuat nama Mak Eroh melambung? Mak Eroh, bergelantungan seorang
diri di lereng yang tegak di tebing cadas, di lereng timur laut Gunung
Galunggung. Mak Eroh berhasil berjuang sendirian membuat saluran air
sepanjang 47 hari. Ketika pertama kali Mak Eroh melakukannya, banyak
masyarakat sekitar yang mencibir tindakannya. Tapi hal itu tidak
menyurutkan langkahnya untuk terus bekerja. Mak Eroh percaya akan
kemampuan nya, walau saat itu usianya boleh dibilang tidak muda. Seorang
wanita yang mustinya menikmati hari tuanya dengan menimang atau bermain
dengan cucu.
Mak
Eroh yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas III SD dan memiliki
tiga orang anak, dalam aksinya menggunakan tali areuy, tali sejenis
rotan sebagai penahan ketika bergelantungan. Sedangkan alat yang dipakai
untuk ‘mengebor’ tebing cadas hanyalah cangkul dan balincong, serupa
linggis pendek.
Saluran
untuk mengalirkan air dari Sungai Cilutung akhirnya berhasil
diselesaikan. Berhentikah tindakan Mak Eroh mengebor tebing cadas?
Belum. Dengan semangat yang tak kenal menyerah, Mak Eroh melanjutkan
membuat saluran air berikutnya sepanjang 4,5 kilometer mengitari 8 bukit
dengan kemiringan 60-90 derajat. Bukan main! Pengerjaannya kali ini
dibantu oleh warga desa yang mau membantunya, setelah melihat dengan
mata kepala sendiri hasil yang telah dilakukan Mak Eroh. Dalam waktu 2,5
tahun, pekerjaan lanjutan itu terselesaikan dengan baik. Hasilnya?
Bukan hanya lahan pertanian sawah Desa Santana Mekar yang terairi
sepanjang tahun. Tapi juga dua desa tetangga yang ikut menikmati kucuran
air hasil kerja keras Mak Eroh setelah warganya membuat saluran
penerus, yaitu Desa Indrajaya dan Sukaratu.
Aksi
Mak Eroh akhirnya sampai juga ketelinga Presiden Suharto. Atas aksinya
yang tergolong berani dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat
sekitar, Mak Eroh mendapat penghargaan Upakarti Lingkungan Hidup pada
tahun 1988. Setahun kemudian, dia juga meraih penghargaan lingkungan
dari PBB.
Dua
kisah di atas memberi hikmah bahwa sebenarnya kita memiliki kepercayaan
diri yang tinggi atas kemampuan yang dimiliki. Seperti yang dikatakan
oleh Mary Kay Ash, pengusaha kosmetik sukses asal Amerika, ”Anda bisa
melakukannya jika Anda berpikir demikian, dan jika Anda kira tidak dapat
melakukannya, Anda benar.” Percaya akan kemampuan diri sendiri. Jadilah
lokomotif, dan teruslah bergerak untuk maju.
“Jika ada keyakinan yang dapat menggerakkan gunung, itu adalah keyakinan dalam diri Anda.”
– Marie von Ebner-Eschenbach, penulis, 1830-1916
Sumber : resensi.net
– Marie von Ebner-Eschenbach, penulis, 1830-1916
Pesan Ibu
Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah
restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan
makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue Om,
masih hangat dan enak rasanya!"
"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"
"Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
===================================================
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.
Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.
Sumber : andriewongso.com
"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"
"Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
===================================================
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.
Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.
Sumber : andriewongso.com
Sekantong Bibit Kacang Tanah
Dikisahkan, ada seorang gadis muda yang bertekad membantu desa
asalnya yang miskin dan terbelakang. Dia rajin mengusahakan segala daya
upaya untuk bisa menghasilkan uang guna membeli buku dan perlengkapan
sekolah anak-anak di sana. Tetapi, sehebat apapun usahanya, terasa masih
saja serba kekurangan.
Hingga suatu hari, dia mendapatkan janji bertemu dengan seorang kaya di kota, dengan harapan si tuan kaya mau memberi sumbangan uang. Setelah bertemu, si gadis muda menceritakan keadaan desanya dan sarana pendidikan yang jauh dari memadai serta memohonkan bantuan untuk mereka.
Dengan nada bosan dan tidak bersahabat, tuan kaya berkomentar santai, "Gadis muda. Kamu salah alamat. Di sini bukan badan amal yang memberi sumbangan cuma-cuma. Kalau memang anak-anak desamu tidak bisa sekolah, ya itu nasib mereka. Kenapa aku yang harus membantu?"
Tampak dia tidak mempercayai sedikitpun ketulusan gadis muda di hadapannya. Dengan pandangan tidak berdaya dan putus asa, si gadis tahu, usahanya telah gagal.
Tetapi sebelum pergi, dia mencoba berusaha yang terakhir, "Tuan, kalau boleh, apakah saya bisa meminjam sekantong bibit unggul biji kacang yang tuan hasilkan selama ini? Anggaplah hari ini tuan telah membantu kami dan saya berjanji tidak akan mengganggu tuan lagi."
Dengan heran dan karena ingin segera mengusir si gadis, tanpa banyak cakap, segera diberinya sekantong bibit kacang tanah yang diminta. Sepulang dari sana, si gadis memulai gerakan menanam biji kacang tanah di atas tanah penduduk miskin, dengan tekad sebanyak satu kantong biji kacang tanah, akan menghasilkan kacang sebanyak yang bisa tumbuh di sana.
Usahanya berhasil. Dan beberapa saat setelah panen, si gadis kembali mendatangi si hartawan, "Tuan, saya datang kemari dengan tujuan untuk mengembalikan sekantong biji kacang tanah yang saya pinjam waktu itu."
Lalu si gadis menceritakan keberhasilan mereka menanam hingga memanen, dari sekantong biji kacang menjadi sebanyak itu. Si tuan kaya terkesan dengan hasil usaha dan ketulusan si gadis muda dan berkenan datang ke desa meninjau.
Dia sangat terkesan dan kemudian malahan menyumbangkan alat-alat pertanian, mengajarkan cara bertani yang baik, dan membeli semua hasil panen yang dihasilkan desa tersebut. Tiba-tiba kehidupan di desa itu berubah total. Mereka mampu menghasilkan uang, hidup lebih sejahtera, dan mampu membangun sekolah untuk pendidikan anak-anaknya. Sungguh perjuangan seorang gadis muda yang membanggakan dan nyata! Tidak ada usaha yang sia-sia! Seluruh penduduk desa selalu bersyukur dan berterima kasih atas jasa si gadis muda.
Para pembaca yang luar biasa,
Kehidupan di dunia ini sangat realistis. Saat kita dalam keadaan lemah, mundur, gagal, banyak orang mencemooh kita. Saat kita ingin memulai usaha atau ada ide-ide baru yang mau kita kerjakan, ada saja orang yang tidak mau membantu tetapi meremehkan, menghina dan memandang sebelah mata. Ya, tidak usah marah, dendam ataupun membenci. Lebih baik siapkan segalanya secara maksimal dan perjuangkan sampai berhasil. Setelah ada bukti sukses baru orang akan percaya dan lambat atau cepat akan memberi pengakuan pada kita.
Tapi jangan heran, saat kita sukses ada pula orang yg menunggu kapan kita jatuh. Maka yang paling utama adalah sikap kita. Sewaktu kita gagal dan diremehkan tidak marah. Sewaktu kita sukses, tidak lupa diri. Walaupun sukses tetap rendah hati dan bersahaja. Dan, tetap optimis menciptakan kesuksesan yang lebih besar.
Sumber : andriewongso.com
Hingga suatu hari, dia mendapatkan janji bertemu dengan seorang kaya di kota, dengan harapan si tuan kaya mau memberi sumbangan uang. Setelah bertemu, si gadis muda menceritakan keadaan desanya dan sarana pendidikan yang jauh dari memadai serta memohonkan bantuan untuk mereka.
Dengan nada bosan dan tidak bersahabat, tuan kaya berkomentar santai, "Gadis muda. Kamu salah alamat. Di sini bukan badan amal yang memberi sumbangan cuma-cuma. Kalau memang anak-anak desamu tidak bisa sekolah, ya itu nasib mereka. Kenapa aku yang harus membantu?"
Tampak dia tidak mempercayai sedikitpun ketulusan gadis muda di hadapannya. Dengan pandangan tidak berdaya dan putus asa, si gadis tahu, usahanya telah gagal.
Tetapi sebelum pergi, dia mencoba berusaha yang terakhir, "Tuan, kalau boleh, apakah saya bisa meminjam sekantong bibit unggul biji kacang yang tuan hasilkan selama ini? Anggaplah hari ini tuan telah membantu kami dan saya berjanji tidak akan mengganggu tuan lagi."
Dengan heran dan karena ingin segera mengusir si gadis, tanpa banyak cakap, segera diberinya sekantong bibit kacang tanah yang diminta. Sepulang dari sana, si gadis memulai gerakan menanam biji kacang tanah di atas tanah penduduk miskin, dengan tekad sebanyak satu kantong biji kacang tanah, akan menghasilkan kacang sebanyak yang bisa tumbuh di sana.
Usahanya berhasil. Dan beberapa saat setelah panen, si gadis kembali mendatangi si hartawan, "Tuan, saya datang kemari dengan tujuan untuk mengembalikan sekantong biji kacang tanah yang saya pinjam waktu itu."
Lalu si gadis menceritakan keberhasilan mereka menanam hingga memanen, dari sekantong biji kacang menjadi sebanyak itu. Si tuan kaya terkesan dengan hasil usaha dan ketulusan si gadis muda dan berkenan datang ke desa meninjau.
Dia sangat terkesan dan kemudian malahan menyumbangkan alat-alat pertanian, mengajarkan cara bertani yang baik, dan membeli semua hasil panen yang dihasilkan desa tersebut. Tiba-tiba kehidupan di desa itu berubah total. Mereka mampu menghasilkan uang, hidup lebih sejahtera, dan mampu membangun sekolah untuk pendidikan anak-anaknya. Sungguh perjuangan seorang gadis muda yang membanggakan dan nyata! Tidak ada usaha yang sia-sia! Seluruh penduduk desa selalu bersyukur dan berterima kasih atas jasa si gadis muda.
Para pembaca yang luar biasa,
Kehidupan di dunia ini sangat realistis. Saat kita dalam keadaan lemah, mundur, gagal, banyak orang mencemooh kita. Saat kita ingin memulai usaha atau ada ide-ide baru yang mau kita kerjakan, ada saja orang yang tidak mau membantu tetapi meremehkan, menghina dan memandang sebelah mata. Ya, tidak usah marah, dendam ataupun membenci. Lebih baik siapkan segalanya secara maksimal dan perjuangkan sampai berhasil. Setelah ada bukti sukses baru orang akan percaya dan lambat atau cepat akan memberi pengakuan pada kita.
Tapi jangan heran, saat kita sukses ada pula orang yg menunggu kapan kita jatuh. Maka yang paling utama adalah sikap kita. Sewaktu kita gagal dan diremehkan tidak marah. Sewaktu kita sukses, tidak lupa diri. Walaupun sukses tetap rendah hati dan bersahaja. Dan, tetap optimis menciptakan kesuksesan yang lebih besar.
Sumber : andriewongso.com
Sukses Berkat Kekuatan Imajinasi
Pembaca, jangan meremehkan imajinasi.
Imajinasi bukanlah gambaran kosong atau angan-angan tanpa isi. Sejarah
telah membuktikan banyak tokoh terkenal menjadi besar berkat
imajinasinya yang luar biasa. Imajinasi ternyata mempunyai kekuatan.
Albert Einstein pernah mengatakan, “Energi mengikuti imajinasi”. Tentu
saja, Einstein serius dengan ucapannya. Apalagi Einstein mengamini hukum
kekekalan energi. Dia sendiri mengaku telah membuktikannya saat dia
ditanya bagaimana dia mampu menghasilkan begitu banyak teori
spektakuler, dia menjawab imajinasinyalah yang menjadi salah satu bahan
bakar dari idenya itu.
Lantas,
bagaimanakah imajinasi yang dihasilkan pikiran kita bekerja?Pada
prinsipnya, perlu Anda sadari, pikiran kita adalah sebuah
magnet yang luar biasa. Pikiran kita mampu menjadi otopilot atas apa yang ingin kita wujudkan, yang kita cita-citakan bahkan yang sekadar kita imajinasikan.
magnet yang luar biasa. Pikiran kita mampu menjadi otopilot atas apa yang ingin kita wujudkan, yang kita cita-citakan bahkan yang sekadar kita imajinasikan.
Setiap
orang boleh mempunyai mimpi akan masa depan. Mimpi menjadi seorang
penulis hebat, misalnya, atau menjadi sastrawan, insinyur, dokter, dan
sebagainya. Dalam perwujudan mimpi inilah kekuatan imajinasi berperan.
Sekali kita merencanakan dan mematrikan imajinasi dalam pikiran kita,
fisik kita pun mulai mencari jalan bagaimana merealisasikan apa yang
sudah kita pikirkan.
Untuk mudahnya, pembaca, ada dua kisah tentang kekuatan imajinasi yang ingin saya ceritakan di sini. Pertama, kisah hidup Mayor James Nesmeth, seorang tentara yang doyan main golf. Dia begitu tergila-gila dengan golf. Tapi sayang sekali, sebelum menikmati kesempatan itu, dia ditugaskan ke Vietnam Utara.
Untuk mudahnya, pembaca, ada dua kisah tentang kekuatan imajinasi yang ingin saya ceritakan di sini. Pertama, kisah hidup Mayor James Nesmeth, seorang tentara yang doyan main golf. Dia begitu tergila-gila dengan golf. Tapi sayang sekali, sebelum menikmati kesempatan itu, dia ditugaskan ke Vietnam Utara.
Sungguh
sial, saat di Vietnam dia ditangkap oleh tentara musuh dan dijebloskan
ke penjara yang pengap dan sempit. Dia tidak diberi kesempatan untuk
berinteraksi dengan siapa pun. Situasi pengap, kosong, dan beku itu
sungguh menjadi siksaan fisik dan mental yang meletihkan baginya.
Untungnya, Nesmeth sadar dirinya harus menjaga pikirannya agar tidak sinting. Dia mulai berlatih mental. Setiap hari, dengan
imajinasinya, dia membayangkan dirinya berada di padang golf yang indah dan memainkan golf 18 hole. Dia berimajinasi secara detail. Dia melakukannya rata-rata empat jam sehari selama tujuh tahun.
imajinasinya, dia membayangkan dirinya berada di padang golf yang indah dan memainkan golf 18 hole. Dia berimajinasi secara detail. Dia melakukannya rata-rata empat jam sehari selama tujuh tahun.
Lantas, tujuh tahun kemudian, dia pun dibebaskan dari penjara. Namun, ada yang menarik saat dia mulai bermain golf kembali untuk
pertama kalinya. Ternyata, Mayor James Nesmeth mampu mengurangi rata-rata 20 pukulan dari permainannya dulu. Orang-orang pun bertanya kepada siapa dia berlatih. Tentu saja, tidak dengan siapa pun. Yang jelas, dia hanya bermain dengan imajinasinya. Tetapi, ternyata itu berdampak pada hasil kemampuannya. Nah, inilah kekuatan imajinasi itu.
pertama kalinya. Ternyata, Mayor James Nesmeth mampu mengurangi rata-rata 20 pukulan dari permainannya dulu. Orang-orang pun bertanya kepada siapa dia berlatih. Tentu saja, tidak dengan siapa pun. Yang jelas, dia hanya bermain dengan imajinasinya. Tetapi, ternyata itu berdampak pada hasil kemampuannya. Nah, inilah kekuatan imajinasi itu.
Kisah
kedua adalah cerita tentang Tara Holland, seorang gadis yang bermimpi
menjadi Miss America sejak kecil. Pada 1994, dia berusaha menjajaki
menjadi Miss Florida. Sayangnya, dia hanya menyabet runner-up pertama.
Tahun berikutnya dia mencoba, tapi lagi-lagi hanya di posisi yang sama.
Hati kecilnya mulai membisikkan dirinya untuk berhenti.
Bulatkan tekad
Tapi, dia bangkit dan membulatkan tekadnya lagi. Dia pindah ke negara bagian lain, Kansas. Pada 1997, dia terpilih menjadi Miss
Kansas. Dan di tahun yang sama, dia berhasil menjadi Miss America! Yang menarik, adalah saat Tara diwawancarai setelah kemenangannya, Tara menceritakan bagaimana dia sudah ingin menyerah setelah dua kali kalah di Florida.
Kansas. Dan di tahun yang sama, dia berhasil menjadi Miss America! Yang menarik, adalah saat Tara diwawancarai setelah kemenangannya, Tara menceritakan bagaimana dia sudah ingin menyerah setelah dua kali kalah di Florida.
Tapi,
tekadnya sudah bulat. Selama beberapa tahun kemudian, dia membeli video
dan semua bahan yang bisa dipelajari tentang Miss Pagent, Miss
Universe, Miss America, dan sebagainya. Dia melihatnya berkali-kali.
Setiap kali melihat para diva meraih penghargaan tertinggi, Tara
membayangkan dirinyalah yang menjadi pemenangnya.
Satu
lagi yang menarik dari wawancaranya adalah saat dia ditanya apakah dia
merasa canggung saat berjalan di atas karpet merah. Dengan mantap, Tara
Holland menjawab, “Tidak sama sekali. Anda mesti tahu saya sudah ribuan
kali berjalan di atas panggung itu.”
Seorang
reporter menyela dan bertanya bagaimana mungkin dia sudah berjalan
ribuan kali di panggung, sementara dia baru pertama kalinya mengikuti
kontes. Tara menjawab, “Saya sudah berjalan ribuan kali di panggung
itu…dalam pikiran saya.”
Pembaca,
dua kisah nyata di atas menceritakan tentang kekuatan imajinasi. Kita
memujudkan apa yang kita lihat dalam pikiran kita.
Imajinasi adalah energi. Energi yang kalau diolah terus-menerus akan mewujud dalam apa yang kita imajinasikan itu.
Imajinasi adalah energi. Energi yang kalau diolah terus-menerus akan mewujud dalam apa yang kita imajinasikan itu.
Kekuasaan boleh memenjarakan fisik, membungkam mulut, tetapi sama sekali tidak bisa memasung imajinasi kita. Dengan kekuatan
imajinasi, masa depan akan menjadi milik kita sesuai yang kita cita-citakan.
imajinasi, masa depan akan menjadi milik kita sesuai yang kita cita-citakan.
Dengan
imajinasi, kita bisa menjadi tuan atas takdir kita, I am the master of
my fate. Stephen Covey dalam 7 Habits mengatakan kita membuat kreasi
mental lebih dulu sebelum kreasi fisiknya.
Semakin
kuat gambaran mental yang kita miliki, semakin besar energi yang kita
miliki untuk mewujudkannya. Sebaliknya, jika kita terlalu banyak
membayangkan yang buruk dan negatif, kita menarik energi negatif dan
kita semakin ter-demotivasi untuk meraihnya.
Pepatah
Latin mengatakan, Fortis imaginatio generat casum, artinya imajinasi
yang jelas menghasilkan kenyataan. Dengan demikian, jangan sia-siakan
kekuatan imajinasi dalam diri kita. Imajinasi mampu menjadi kendaraan
kita menuju apa saja yang kita mimpi dan cita-citakan.
Imajinasi
akan mengumpulkan seluruh energi kita untuk mewujudkannya. Dalam
aplikasi sehari-hari, dengan imajinasi, kita membayangkan hal-hal
positif yang akan kita lakukan dan membayangkan hal-hal positif yang
akan terjadi. Betapa kita akan melihat langkah dan tindakan kita mulai
mengarah pada apa yang kita bayangkan. Dan…the dreams will come true!
Sumber : motivation-live.blogspot.com
Nilai Kehidupan
Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah,
hidup dari bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya.
Walapun hidupnya sederhana tetapi sesungguhnya dia bisa melewati
kesehariannya dengan baik.
Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak memiliki arti.
"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. "Anak muda yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."
Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."
Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk lain".
Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain".
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.
=================================================
Kalau kita mengisi kehidupan ini dengan menggerutu, mengeluh, dan pesimis, tentu kita menjalani hidup ini (dengan) terasa terbeban dan saat tidak mampu lagi menahan akan memungkinkan kita mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri.
Sebaliknya, kalau kita mampu menyadari sebenarnya kehidupan ini begitu indah dan menggairahkan, tentu kita akan menghargai kehidupan ini. Kita akan mengisi kehidupan kita, setiap hari penuh dengan optimisme, penuh harapan dan cita-cita yang diperjuangkan, serta mampu bergaul dengan manusia-manusia lainnya.
Maka, jangan melayani perasaan negatif. Usir segera. Biasakan memelihara pikiran positif, sikap positif, dan tindakan positif. Dengan demikian kita akan menjalani kehidupan ini penuh dengan syukur, semangat, dan sukses luar biasa!
Sumber : andriewongso.com
Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak memiliki arti.
"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. "Anak muda yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."
Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."
Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk lain".
Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain".
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.
=================================================
Kalau kita mengisi kehidupan ini dengan menggerutu, mengeluh, dan pesimis, tentu kita menjalani hidup ini (dengan) terasa terbeban dan saat tidak mampu lagi menahan akan memungkinkan kita mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri.
Sebaliknya, kalau kita mampu menyadari sebenarnya kehidupan ini begitu indah dan menggairahkan, tentu kita akan menghargai kehidupan ini. Kita akan mengisi kehidupan kita, setiap hari penuh dengan optimisme, penuh harapan dan cita-cita yang diperjuangkan, serta mampu bergaul dengan manusia-manusia lainnya.
Maka, jangan melayani perasaan negatif. Usir segera. Biasakan memelihara pikiran positif, sikap positif, dan tindakan positif. Dengan demikian kita akan menjalani kehidupan ini penuh dengan syukur, semangat, dan sukses luar biasa!
Sumber : andriewongso.com
Semangkok Bakso
Dikisahkan, biasanya di hari ulang tahun Putri, ibu pasti sibuk di
dapur memasak dan menghidangkan makanan kesukaannya. Tepat saat yang
ditunggu, betapa kecewa hati si Putri, meja makan kosong, tidak tampak
sedikit pun bayangan makanan kesukaannya tersedia di sana. Putri kesal,
marah, dan jengkel.
"Huh, ibu sudah
tidak sayang lagi padaku. Sudah tidak ingat hari ulang tahun anaknya
sendiri, sungguh keterlaluan," gerutunya dalam hati. "Ini semua pasti
gara-gara adinda sakit semalam sehingga ibu lupa pada ulang tahun dan
makanan kesukaanku. Dasar anak manja!"
Ditunggu sampai siang, tampaknya orang serumah tidak peduli lagi
kepadanya. Tidak ada yang memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi
kado untuknya.
Dengan
perasaan marah dan sedih, Putri pergi meninggalkan rumah begitu saja.
Perut kosong dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuatnya berjalan
sembarangan. Saat melewati sebuah gerobak penjual bakso dan mencium
aroma nikmat, tiba-tiba Putri sadar, betapa lapar perutnya! Dia menatap
nanar kepulan asap di atas semangkuk bakso.
"Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam," sapa si tukang bakso.
"Mau, bang. Tapi saya tidak punya uang," jawabnya tersipu malu.
"Bagaimana kalau hari ini abang traktir kamu? Duduklah, abang siapin mi bakso yang super enak."
Putri pun segera duduk di dalam.
Tiba-tiba, dia tidak kuasa menahan air matanya, "Lho, kenapa menangis, neng?" tanya si abang.
"Saya jadi ingat ibu saya, nang. Sebenarnya... hari ini ulang tahun
saya. Malah abang, yang tidak saya kenal, yang memberi saya makan. Ibuku
sendiri tidak ingat hari ulang tahunku apalagi memberi makanan
kesukaanku. Saya sedih dan kecewa, bang."
"Neng cantik, abang yang baru sekali aja memberi makanan bisa bikin
neng terharu sampai nangis. Lha, padahal ibu dan bapak neng, yang ngasih
makan tiap hari, dari neng bayi sampai segede ini, apa neng pernah
terharu begini? Jangan ngeremehin orangtua sendiri neng, ntar nyesel
lho."
Putri seketika tersadar, "Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti itu?"
Setelah menghabiskan makanan dan berucap banyak terima kasih, Putri
bergegas pergi. Setiba di rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat,
wajah cemas sekaligus lega,
"Putri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu
ke mana. Putri, selamat ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan
kesukaan Putri. Putri pasti lapar kan? Ayo nikmati semua itu."
"Ibu,
maafkan Putri, Bu," Putri pun menangis dan menyesal di pelukan ibunya.
Dan yang membuat Putri semakin menyesal, ternyata di dalam rumah hadir
pula sahabat-sahabat baik dan paman serta bibinya. Ternyata ibu Putri
membuatkan pesta kejutan untuk putri kesayangannya.
=====================================================
Saat kita mendapat pertolongan atau menerima pemberian sekecil apapun
dari orang lain, sering kali kita begitu senang dan selalu berterima
kasih. Sayangnya, kadang kasih dan kepedulian tanpa syarat yang
diberikan oleh orangtua dan saudara tidak tampak di mata kita. Seolah
menjadi kewajiban orangtua untuk selalu berada di posisi siap membantu,
kapan pun.
Bahkan, jika hal itu tidak terpenuhi, segera kita memvonis, yang tidak
sayanglah, yang tidak mengerti anak sendirilah, atau dilanda perasaan
sedih, marah, dan kecewa yang hanya merugikan diri sendiri. Maka untuk
itu, kita butuh untuk belajar dan belajar mengendalikan diri,
agar kita mampu hidup secara harmonis dengan keluarga, orangtua,
saudara, dan dengan masyarakat lainnya.
Sumber : andriewongso.com
Keseimbangan Hidup
Dikisahkan, suatu hari ada seorang
anak muda yang tengah menanjak karirnya tapi merasa hidupnya tidak
bahagia. Istrinya sering mengomel karena merasa keluarga tidak lagi
mendapat waktu dan perhatian yang cukup dari si suami. Orang tua dan
keluarga besar, bahkan menganggapnya sombong dan tidak lagi peduli
kepada keluarga besar. Tuntutan pekerjaan membuatnya kehilangan waktu
untuk keluarga, teman-teman lama, bahkan saat merenung bagi dirinya
sendiri.
Hingga suatu hari, karena
ada masalah, si pemuda harus mendatangi salah seorang petinggi
perusahaan di rumahnya. Setibanya di sana, dia sempat terpukau saat
melewati taman yang tertata rapi dan begitu indah.
"Hai anak muda. Tunggulah di dalam. Masih ada beberapa hal yang harus
Bapak selesaikan," seru tuan rumah. Bukannya masuk, si pemuda
menghampiri dan bertanya, "Maaf, Pak. Bagaimana Bapak bisa merawat taman
yang begitu indah sambil tetap bekerja dan bisa membuat
keputusan-keputusan hebat di perusahaan kita?"
Tanpa
mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang sedang dikerjakan, si bapak
menjawab ramah, "Anak muda, mau lihat keindahan yang lain? Kamu boleh
kelilingi rumah ini. Tetapi, sambil berkeliling, bawalah mangkok susu
ini. Jangan tumpah ya. Setelah itu kembalilah kemari".
Dengan sedikit heran, namun senang hati, diikutinya perintah itu. Tak
lama kemudian, dia kembali dengan lega karena mangkok susu tidak tumpah
sedikit pun. Si bapak bertanya, "Anak muda. Kamu sudah lihat koleksi
batu-batuanku? Atau bertemu dengan burung kesayanganku?"
Sambil tersipu malu, si pemuda menjawab, "Maaf Pak, saya belum melihat
apa pun karena konsentrasi saya pada mangkok susu ini. Baiklah, saya
akan pergi melihatnya."
Saat kembali lagi dari mengelilingi rumah, dengan nada gembira dan
kagum dia berkata, "Rumah Bapak sungguh indah sekali, asri, dan nyaman."
tanpa diminta, dia menceritakan apa saja yang telah dilihatnya. Si
Bapak mendengar sambil tersenyum puas sambil mata tuanya melirik susu di
dalam mangkok yang hampir habis.
Menyadari lirikan si bapak ke arah mangkoknya, si pemuda berkata, "Maaf Pak, keasyikan menikmati indahnya rumah Bapak, susunya tumpah semua".
Menyadari lirikan si bapak ke arah mangkoknya, si pemuda berkata, "Maaf Pak, keasyikan menikmati indahnya rumah Bapak, susunya tumpah semua".
"Hahaha! Anak muda. Apa yang kita pelajari hari ini? Jika susu di
mangkok itu utuh, maka rumahku yang indah tidak tampak olehmu. Jika
rumahku terlihat indah di matamu, maka susunya tumpah semua. Sama
seperti itulah kehidupan, harus seimbang. Seimbang menjaga agar susu
tidak tumpah sekaligus rumah ini juga indah di matamu. Seimbang membagi
waktu untuk pekerjaan dan keluarga. Semua kembali ke kita, bagaimana
membagi dan memanfaatkannya. Jika kita mampu menyeimbangkan dengan
bijak, maka pasti kehidupan kita akan harmonis".
Seketika itu si pemuda tersenyum gembira, "Terima kasih, Pak. Tidak
diduga saya telah menemukan jawaban kegelisahan saya selama ini.
Sekarang saya tahu, kenapa orang-orang menjuluki Bapak sebagai orang
yang bijak dan baik hati".
==============================================
Dapat
membuat kehidupan seimbang tentu akan mendatangkan keharmonisan dan
kebahagiaan. Namun bisa membuat kehidupan menjadi seimbang, itulah yang
tidak mudah.
Saya kira,
kita membutuhkan proses pematangan pikiran dan mental. Butuh
pengorbanan, perjuangan, dan pembelajaran terus menerus. Dan yang pasti,
untuk menjaga supaya tetap bisa hidup seimbang dan harmonis, ini bukan
urusan 1 atau 2 bulan, bukan masalah 5 tahun atau 10 tahun, tetapi kita
butuh selama hidup. Selamat berjuang!
Sumber : andriewongso.com
Sumber : andriewongso.com
Strukturalisme Semiotik
Karya
sastra merupakan struktur yang kompleks sehingga untuk memahami sebuah
karya sastra diperlukan penganalisisan. Penganalisisan tersebut
merupakan usaha secara sadar untuk menangkap dan memberi muatan makna
kepada teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda. Seperti yang
dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda,
dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut
makna (Nurgiyantoro, 2002: 39). Bahasa tak lain adalah media dalam karya
sastra. Karena itu karya sastra merupakan sebuah struktur ketandaan
yang bermakna (Kaswadi, 2006: 123). Tidak terkecuali pada teks sastra
yang berbentuk puisi, maka untuk pemahaman makna pada puisi menggunakan
kajian struktural yang tidak dapat dipisahkan dengann kajian semiotik
yang mengkaji tanda-tanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo
(1987: 108) yang mengemukakan bahwa analisis struktural tidak dapat
dipisahkan dengan analisis semiotik. Karena semiotik dan strukturalisme
adalah prosedur formalisasi dan klasifikasi bersama-sama. Keduanya
memahami keseluruhan kultur sebagai sistem komunikasi dan sistem tanda
dan berupaya kearah penyingkapan aturan-aturan yang mengikat. Analisis
tanda sebagai hasil proses-proses sosial menuju kepada sebuah
pembongkaran struktur-struktur dalam yang mengemudikan setiap komunikasi
(Stiegler, 2001). Hal ini menandakan bahwa sistem tanda dan konvensinya
merupakan jalan dalam pembongkaran makna, tanpa memperhatikan sistem
tanda maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara
keseluruhan.
Munculnya
kajian struktural semiotik ini sebagai akibat ketidakpuasan terhadap
kajian struktural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsik,
semiotik memandang karya sastra memiliki sistem tersendiri. Karena itu,
muncul kajian struktural semiotik untuk mengkaji aspek-aspek struktur
dengan tanda-tanda (Endraswara, 2003: 64) sehingga dapat dikatakan bahwa
kajian semiotik ini merupakan lanjutan dari strukturalisme.
Menurut
Hawkes dalam Najid (2003: 42) Strukturalisme adalah cara berpikir
tentang dunia yang menekankan pada persepsi struktur dan deskripsi
struktur. Jadi, yang menjadi konsep dasar teori strukturalisme adalah
adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan
suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan
yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan
(Pradopo dkk dalam Jabrohim, 2003: 54). Anggapan teori strukturalisme
yang memandang bahwa struktur itu harus lepas dari unsur lain
memunculkan adanya kajian semiotik. Karena kajian semiotik juga tidak
dapat sepenuhnya lepas dari struktur maka kajian ini akhirnya disebut
dengan kajian struktural semiotik.
Semiotik
sendiri berasal dari kata Yunani “semeion”, yang berarti tanda.
Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistam tanda dan
proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993: 1). Lebih
lanjut Preminger (Pradopo, 2003: 19) semiotik itu mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang mewakili
sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan,
gagasan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 40).
Dengan
studi interdisipliner ini, teori strukturalisme dapat menggunakan
pendekatan ekstrinsik karena mengaitkan dengan teori feminisme. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Darma (2004: 85) strukturalisme dapat
menggunakan pendekatan ekstrinsik, jika strukturalisme digunakan sebagai
studi interdisipliner. Mengaitkan antara sastra dengan antropologi,
sosiologi, sejarah, psikologi, maupun bidang kajian sastra yang lainnya.
Seedangkan feminisme adalah bagian dari pendekatan sosiologi sastra.
Semiotik memiliki dua konsep yang dikemukakan oleh dua tokoh yang berbeda.
1. Konsep Saussure
Bahasa
merupakan sistem tanda yang mewakili sesuatu yang lain yang disebut
makna. Bahasa sebagai sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik)
yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie,
atau penanda dan petanda.
Wujud
penanda dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan,
sedangkan petanda adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang
terkandung dalam penanda tersebut (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002: 43).
Penanda
dan petanda merupakan konsep Saussure yang terpenting, sedangkan konsep
Saussure yang lain menurut Ratna (2004: 99) adalah:
a. Parole dan Langue
Perbedaan
antara ekspresi kebahasaan (parole, ppeech, utterance) dan sistem
pembedaan di antara tanda-tanda, sistem yang digunakan oleh semua orang
(langue, language). Parole bersifat konkret yang kemudian membentuk
sistem bahasa yang bersifat abstrak yaitu langue.
b. Paradigmatik dan Sintagmatik
Hubungan
sintagmatik bersifat linier, sedangkan hubungan paradigmatik merupakan
hubungan makna dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna,
antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Menurut Nurgiyantoro
(2002: 47) kajian paradigmatik berupa konotasi, asosiasi-asosiasi yang
muncul dalam pikiran pembaca, dikaitkan dengan teori fungsi puitik.
Jadi, kata-kata yang mengandung unsur kesinoniman (hubungan
paradigmatik) – maupun kesejajaran sintaksis – hubungan linier, hubungan
sintagmatik – bentuk yang dipilih dalam puisi tersebut adalah bentuk
yang paling tepat.
Pilihan
bahasa yang berunsur puitik yang berupa kata-kata (paradigmatik),
biasanya berkaitan dengan ketepatan unsur-unsur bunyi (asosiasi),
aliterasi, asonansi, rima, ketepatan bentuk dan juga makna
(Nurgiyantoro, 2002: 49).
c. Diakroni dan Sinkroni
Diakronis
mengkaji bahasa dalam perkembangan sejarah, dari waktu ke waktu, studi
tentang evolusi bahasa, studi mengenai elemen-elemen individual pada
waktu yang berbeda. Adapun sinkroni mengkaji bahasa pada masa tertentu,
hubungan elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan.
2. Konsep Peirce
Peirce (Ratna, 2004: 101) mengemukakan bahwa tanda memiliki tiga sisi/triadik:
a. Representamen, ground, tanda itu sendiri. Hubungan tanda dengan ground menurut van Zoest (1993: 18-19) adalah:
1) Qualisigns
Tanda-tanda
yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh: sifat ‘merah’
dapat digunakan sebagai tanda, bagi kaum sosialisme merah dapat berarti
cinta (memberi mawar merah pada seseorang), bagi perasaan dapat berarti
menunjukkan sesuatu, dan sebagainya. Namun warna itu harus memeroleh
bentuk, misal pada bendera, pada mawar, pada papan lalu lintas, dan
sebagainya.
2) Sinsigns
Sinsigns
ialah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan.
Sinsigns dapat berbentuk sebuah jeritan yang memberi arti kesakitan,
keheranan, atau kegembiraan. Kita dapat mengenali orang lain dari
dehemnya, langkah kakinya, tertawanya, nada dasar dalam suaranya, dan
lain-lain.
3) Legisigns
Legisigns
adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang
berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Misalnya: ‘mengangguk’
pertanda ya, mengerutkan alis pertanda bingung.
b. Objek (designatum, denotatum, referent) yaitu apa yang diacu. Hubungan antara tanda dengan denotatum, yaitu:
1) Ikon
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena serupa. Ikon dibagi tiga macam:
a) Ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang
b) Ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur
c) Ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan
Contoh ikon: gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda).
2) Indeks
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misal: asap merupakan tanda adanya api.
3) Simbol
Simbol adalah hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan, tidak bersifat alamiah. Misal: lampu merah pertanda berhenti.
c. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.
Hubungan antara tanda dan interpretan oleh Peirce dalm van Zoest (1993: 29) dibagi menjadi tiga macam:
1) Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep
Contoh:
“Rien adalah X”. X merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘baik’ atau
‘cerdas’, tanda itu diberikan denotataum dan dapat diinterpretasikan.
2) Decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif.
Contoh: “Rien manis”, sebagai kalimat dalam keseluruhan merupakan decisigns.
3) Argument, tanda sebagai nalar: proposisi.
Model Pembacaan Semiotik
Kajian semiotik menggunakan dua model pembacaan sebagai berikut.
1. Pembacaan Heuristik
Pembacaan
heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan atau secara
semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Yang dilakukan dalam pembacaan ini antara lain menerjemahkan atau
memperjelas arti kata-kata dan sinonim-sinonim.
Pembacaan
heuristik pada puisi dapat dilakukan dengan parafrase dengan
menggunakan bahasa yang lebih logis (pemaknaan yang sesuai dengan
sintaksis/tata bahasa). Hal itu dapat dilakukan dengan cara memberikan
sisipan kata atau sinonim kata-katanya yang dapat diletakkan dalam tanda
kurung. Struktur kalimat dapat disesuaikan pula dengan kalimat baku.
2. Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan
hermeneutik adalah pembacaan yang dilakukan secara berulang-ulang
(retroaktif) atau berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua (konvensi
sastra). Hal itu dilakukan untuk memperoleh daya interpretasi yang baik
dalam mengungkapkan bahasa puisi yang lebih luas menurut maksudnya.
Pembacaan hermeneutik ini berkaitan dengan konvensi sastra yang
memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan ekspresi
puisi (Riffaterre dalam Jabrohim, 2003: 97). Ketaklangsungan ekspresi
puisi mencakup tiga hal (Endraswara, 2003: 66), yaitu:
a. penggantian arti (displacing of meaning)
adanya
pemakaian bahasa kias, seperti metafora, personifikasi, alegori,
metonimia, dan sebagainya. Misal: “bumi ini perempuan jalang” (Dewa
Telah Mati karya Chairil Anwar) berupa metafora ini membandinngkan
antara bumi dengan perempuan jalang (liar), berarti penyair ingin
menyampaikan betapa “kejamnya” bumi ini.
b. penyimpangan arti (distorting of meaning)
penyimpangan arti muncul karena tiga hal, yaitu:
1) Ambiguitas,
muncul disebabkan oleh pemakaian bahasa sastra yang multimakna. Misal:
“mengembara di negeri asing” (Doa karya Chairil Anwar) jelas melukiskan
ambigu makna, yakni suasana bingung, tidak jelas, kabur, dan sunyi.
2) Kontradiksi, berupa perlawanan situasi. Misal: “serasa hidup dan mati, hidup di dunia seperti di neraka jahanam”
3) Nonsence,
kata-kata yang secara lingual tidak bermakna karena adanya permainan
bunyi. Misal: “pot pot pot” (Amuk karya Sutardji Calzoum Bachri)
c. penciptaan arti (creating of meaning)
penciptaan
arti disebabkan oleh pemanfaatan bentuk visual, misal: enjambemen,
persajakan, homologues (persejajaran bentuk maupun baris), dan
tipografi. Misal: puisi Tragedi Sihka dan Winka.
Hal
ini mengisyaratkan bahwa Sistem tanda pada puisi mempunyai makna
berdasarkan konvensi-konvensi sastra. Konvensi-konvensi puisi tersebut
antara lain: konvensi kebahasaan (bahasa kiasan, sarana retorika, dan
gaya bahasa), konvensi yang menunjukkan ketaklangsungan ekspresi puisi
(penyimpangan arti, penggantian arti, dan penciptaan arti), konvensi
visual (bait, baris sajak, enjambemen, rima, tipografi, dan homologue
(Jabrohim, 2003: 70).
Diksi dan Bahasa Kiasan
a. Diksi
Diksi
merupakan pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna
dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi
pembaca (Tjahjono, 1990: 59). Diksi dalam puisi dapat menggunakan makna
denotatif mupun makna konotatif.
Diksi
dan pola kalimat merupakan unsur-unsur struktur sintaktik. Penyair
harus cermat dalam memilih kata. . Kata-kata dipilih dengan
mempertimbangkan makna, komposisi bunyi rima dan iramanya, serta
kedudukan katanya di tengah kata lain dan keseluruhan tulisan. Tiap kata
jadi memiliki makna. Tiap kata menjadi konkrit dan khusus, atau abstrak
dan umum (Luxemburg dkk., 1989: 192). Diksi puitis, menurut Waluyo
dalam Kurnia (2000) mengalami penyimpangan bahasa yaitu dengan ciri-ciri
berikut.
1) Penyimpangan semantis
Makna
puitis berjumlah banyak, tidak hanya mewakili satu makna, tidak selalu
sama dengan makna kata sehari-hari, serta tidak dikonotasikan sama oleh
para penyair. Kata sungai akan berarti bencana bagi penyair
dari daerah banjir. Tapi jadi bermakna rejeki bagi penyair yang hidup di
wilayah penangkap ikan dan penambang sungai.
Goenawan Mohamad, dalam Sajak New York (Asmaradana, 1992) melihat “bulan”: . . . . dari hutan Manhattan/ ia lari / ke Central Park hitam / meluncur, / di arena es, / ketika daun mapel / memainkan orkes. Dalam
sajak ini, “bulan” bagai orang yang tengah melakukan kegiatan
jalan-jalan di suasana malam kota New York. “Bulan” menjadi “ia”,
seseorang yang tengah menikmati malam di kota besar, Amerika, sekaligus
suasana New York yang pada musim dingin yang hanya menampakkan
taman kota yang “hitam”, menjadi tempat berseluncur es, dalam keriuhan
angin memainkan “daun mapel”, menimbulkan musik seperti “orkes”:
penggambaran seorang penyair yang bertemu dengan suasana puitik dari
pranata sosial megapolis New York, di malam hari.
2) Register
Register
adalah ragam bahasa, dari sebuah kelompok atau sebuah kelas sosial.
Dialek register disebut juga dialek profesi. Dialek Register sering
tidak dikenali lagi walau kerap diambil (berasal) dari kosa kata daerah.
Kata lembu peteng, misalnya: yang sering diucapkan aristokrat Jawa, ketika menunjuk anak hasil hubungan gelap. Contoh lain, ialah: kumpul kebo, procotan, Paman Doblang, simbok, den mas, sungkem, bihten.
3) Kata-kata sugestif (memiliki daya sugesti)
Daya
sugesti dipertimbangkan penyair ketika memilih kata. Kekuatan sugesti
ditimbulkan oleh makna. Pilihan dan penempatannya seolah memancarkan
daya gaib hingga menyugesti pembaca untuk ikut sedih, terharu,
bersemangat, atau marah.
4) Kata imajis (menyiratkan imaji)
Kata
imajis ialah susunan kata yang mencitrakan pengalaman sensoris seperti
melihat, mendengar dan meraba. Pembaca seolah melihat benda (imaji visual), seolah mendengar suara (imaji auditif), atau seolah dapat merasa, meraba, dan menyentuhnya (imaji taktil) setelah penyair mencoba mengkonkritkan obyeknya menjadi mirip musik, gambar, atau citarasa tertentu.
Chairil Anwar mengimajikan rasa ngeri dan tercekam menghadapi maut ketika menulis: “Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin” (Yang Terempas dan Yang Terputus, 1949) Goenawan Mohamad melihat “….malam/tinggal separoh/ dan bulan/ pelan/ seperti pemain Noh”, dalam Hiroshima, Cintaku
(1989-90). Ia memvisualisasikan suasana malam yang memanjang dan
memberat melalui imaji “bulan” yang melambangkan waktu, yang bergerak
lambat seperti gerakan tarian Noh dari penari tradisionil Jepang.
5) Kata konkret (terasa konkret)
Kata
konkret untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata
harus diperkonkrit. Kata-kata jadi mengias ke realitas. Seperti
pengimajian, pengonkritan menggunakan kiasan dan lambang yang membuat
pembaca seolah melihat, mendengar, atau Chairil Anwar mengungkapkan
pertemuannya ke jalan Tuhan, dengan kata-kata: “Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling” (Doa, 1943). Sutardji Calzoum Bachri mengungkapkan kegelisahan mencari Tuhan, dengan: “semua orang membawa kapak/ semua orang bergerak pergi/” (Kapak, 1 Goenawan Mohamad, dalam Don Lopez de Cardenas di Grand Canyon, Amerika (1998) menulis: Di pagi hari / di tahun 1540 itu / Don Lopez de Cardenas tiba / dari dataran tinggi / yang membosankan. // Ia hentikan kudanya / di dekat / sebatang panderosa tua / yang tumbang, // dan ketika ia / lepaskan kaki / sebentar / dari sanggurdi, / untuk membetulkan taji pada lars sepatunya, / ada seorang Navajo / yang datang, / setengah telanjang, / berlari-lari, / menunjukkan arah / ke sebuah ngarai / yang kemudian/ disaksikannya sendiri / dengan kaki gemetar.” //
b. Bahasa Kiasan
Bahasa
kiasan adalah pemberian makna lain dari suatu ungkapan, atau memisalkan
sesuatu untuk menyatakan sesuatu yang lain (Semi, 1986: 50).
Bahasa kiasan dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain:
1) metafora
metafora
membandingkan antara objek yang memiliki titik-titik kesamaan, seperti
perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti
bagai, laksana, seperti, dan sebagainya (Pradopo, 1987: 66; Siswantoro,
2002: 27)
2) personifikasi
personifikasi
adalah pelukisan benda atau objek tak bernyawa atau bukan manusia
(inanimate) baik yang kasat mata atau abstrak yang diperlukan
seolah-olah sebagai manusia (Siswantoro, 2002: 29)
3) metonimia
metonimia
berupa penggunaan sebuah atribut/objek atau penggunaan sesuatu yang
sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut
(Altenbernd dalam Pradopo, 2002: 77)
4) hiperbola
hiperbola adalah suatru perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan (Semi, 1986: 51)
5) simile
simile
merupakan bahasa kiasan yang bersifat eksplisit, yakni secar langsung
menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf dalam Kaswadi, 2006: 128)
6) alegori
alegori
yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang ada
pada benda itu dikiaskan (Semi, 1986: 51), dan sebagainya.
STRUKTURALISME DAN SEMIOTIK
Sebuah penelitian atau sebuah tinjauan dalam desain selalu mencari metoda
penelitian atau tinjauan yang tepat, diharapkan hasilnya lebih efektif untuk desain,
designer maupun untuk penggunadesain.
Strukturalisme adalah sebuah pisau alternatif untuk membedah desain secara
langsung dengan melihat struktur atau susunan tanpa melihat historis atau penggalan
waktu pada desain. Sedangkan semiotik adalah ilmu tanda, jadi dengan kajian
strukturalisme dan semiotik, langsung bisa mengungkap secara denotatif dan konotatif
dalam sebuah desain.
1. Strukturalisme menurut Jeans Piaget
Jean Piaget berpendapat bahwa struktur mempunyai tiga sifat, yaitu;
a. Totalitas
Totalitas, Transformasi dan ot6oregulasi/ pengaturan diri. Sebuah Struktur harus
dilihat sebagai suatu totalitas. Meskipun terdiri dari sejumlah unsur yang saling bekaitan
satu sama lain dalam sebuah kesatuan. Dilihat secara hirarkis, sebuah struktur terdiri atas
sejumlah sub-struktur yang terikat oleh struktur yang lebih besar. Struktur merupakan
sesuatu yang dinamis karena di dalamnya ada kaidah transformasi. Jadi pengertian
struktur tidak terbatas pada kon6sep terstruktur, tetapi sekaligus mencakup pengertian
proses menstruktur.
b. Transformasi
Pengertian transformasi menjadikan sifat yang dinamis, hal ini berkaitan dengan
otoregulasi yang ada pada sebuah struktur. Struktur adalah sebuah bangunan yang terdiri
dari berbagai unsur yang satu sama lain saling berkaitan. Dalam setiap perubahan yang
terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan perubahan pada unsur lain, hal ini
akibat dari hubungan antar unsur menjadi berubah.
c. Otoregulasi
Otoregulasi adalah hubungan antar unsur akan mengatur diri sendiri, bila ada
unsur yang berubah atau hilang, inilah yang dimaksud dengan pengaturan diri atau
otoregulasi (Benny. 1995; ix).
Istilah struktur sering dikaitkan dengan sistem, seperti dua sisi sebuah mata uang.
Perbedaan dan kaitan antara struktur dengan sistem pada konsep Ferdinan de Sausure
tentang relasi sintagmatis dan asosiatif, hubungan sintagmatis adalah hubungan yang
tersusun dalam kombinasi/ gabungan. Hubungan sintagmatis membentuk struktur seperti
rumah beratap joglo (model Jawa Tengah) diberi tiang Romawi pada bagaian mukanya.
Antara unsur Jawa (atap) dan unsur Romawi (tiang) terdapat hubungan sitagmatis. Dalam
analisis bahasa, hubungan semacam ini disebut sebagai hubungan sintagmatis dan linier,
artinya urutan antar unsur bahasa sudah tertentu dan tidak dapat diubah, sebab bila
dirubah maknanyapun akan berubah.
Hubungan sintagmatis itu atau struktural itu terjadi menurut perspektif ruang
karena menyangkut kombinasi antar unsur yang masing-masing mengisi ruang tertentu.
Jadi Langue menurut Saussure adalah suatu pengetahuan dan kesadaran secara kolektif
dimiliki oleh suatu masyarakat mengenai sesuatu hal dalam wilayahnya, seperti sistem
arsitektur masyarakat Jawa menyatukan unsur-unsur atap joglo, tiang, pintu, dan jendela
dengan berbagai bentuk dan ukuran. Demikan pula dengan arsitektur Romawi Kuno
menyatukan unsur-unsur berbagai jenis tiang dan atap, sistem disadari oleh
masyarakatnya secara kolektif. Sistem itu diwujudkan dalan bentuk sesuatu yang
kongkrit oleh Saussure disebut parole, dan dalam kenyataannya disebut struktur.
Dalam pemahaman strukturalisme, sistem/langue dan struktur/parole adalah alat
untuk mengkaji dengan baik gejala adopsi unsur budaya asing. Adopsi dimulai dengan
peminjaman budaya asing, kalau masih dianggap janggal maka statusnya masih pinjaman
(masih dianggap sebagai anggota sistem yang lain). Jika sesuatu unsur dalam sebuah
struktur yang tadinya berasal dari luar sistem itu berada dalam suatu masyarakat maka
terjadilah proses tersebut. Contoh’ Jas (dari sitem pakaian Eropa) yang digunakan dalam
struktur pakaian untuk sholat Idul Fitri dengan sarung dan peci, pada suatu waktu unsur
dari sistem itu sudah menjadi bagian dari sisrtem kita setelah masuk ke dalam struk6tur
pakaian (Benny. 1995; 4).
2. Langue Parole
a.Langue
Langue menurut Saussure adalah suatu pengetahuan dan kesadaran yang dimiliki
secara kolektif oleh suatu masyarakat dalam wilayahnya. Kemudian Rolan Barthes
menegaskan “ it is essentially a collective contract which one must accept in its entirety
if one wishes to communicate moreover, this social product is autonomous”.
Karena merupakan kesepakatan sehingga tidak dapat dikreasikan atau direkayasa
oleh individu. Ini seperti permaianan dengan peraturannya yang disepakati bersamasama,
yang tidak mungkin dibuat atau dirubah oleh pemain secara sendiri-sendiri. Atau
seperti tanda pada mata uang yang resmi, untuk dipergunakan sebagai alat beli sesuai
kwantitasnya dan mempunyai hubungan dengan tanda pada mata uang yang lainnya.
Disini terlihat bahwa langue adalah sistem yang disepakati secara kolektif oleh
masyarkat, instuisi dan aspek sistematis yang menjadikan adanya suatu kesepakatan dan
terhindar dar arbitrary atau tanda yang sewenang-wenang, dan sekaligus menjadikan
suatu tanda yang pasti, ini menentang rekayasa yang datang dari perorangan. Hal ini
merupakan kode yang terjadi karena konvensi masyarakat.
b. Parole
Sedangkan Parole, Berbeda dengan langgue, parole adalah merupakan tindakan nyata
dari individu dengan menggunakan kode dari langue, hal ini dipertegas oleh Roland
Barthes: “parole is essentially an individual act of selection actualization; it is made in
the first place of the combination thanks to wich the speaking subject can use the code of
the language with a view to expressing his personal thought ”.
Jadi parole merupakan suatu tindakan nyata dalam mengungkapkan kode-kode yang
ada dimasyarakat, misalnya pakaian ada tanda, didalamnya ada sistem/ langue (ada
konvensi/ kesepakatan masyarakat) merupakan instuisi misalnya pakaian resmi (parole)
merupakan aksi/ event dari gaya atau pemakaian pakaian resmi tersebut, dan ada
paradigmatiknya atau kecocokannya.
Dalam penggunaan sistem secara nyata, terdapat suatu prinsif yang disebut
prinsif diperensi atau prinsif perbedaan yang diakibatkan oleh kode yang ada di
masyarakat terjadi pada proses pemaknaan dari sebuah tanda atau material yang bersifat
transenden atau melampaui realitas, contohnya;
Bunga Kasih sayang
Kenapa bunga, karena bukan Mobil
Atau karena bukan Piala
Kemudian terjadi pula pada penamaan suatu material, seperti;
Kenapa disebut PEN
Karena bukan PIN, atau
Karena bukan PAN
3. Sign dan Ideologi
Menurut Aart Van Zoest fungsi esensial dari tanda untuk membuat hubungan-hubungan
yang tidak 6efesien menjadi 6efesien, tidak untuk menyebabkan mereka bertindak, akan tetapi
hanya untuk menempatkan kebiasaan dalam satu aturan-aturan yang umum sehingga pada
waktunya hubungan-hubungan tersebut bisa menjadi operasional.
a. Sign
Berdasarkan relasi diantara tanda dan denotatumnya, Pierce membedakan tiga jenis tanda
yakni;
(1). Iconis, adalah suatu yang bisa ada sebagai suatu kemungkinan, terlepas dari adanya
denotatum, akan tetapi yang dapat dihubungkan dengan denotatum berdasarkan persamaan
potensial dengan sesuatu itu.
(2). Indeks, adalah tanda yang sifat tandanya tergantung dari keberadaannya suatu denotatum.
Dalam terminologi Pierce, merupakan suatu second, suatu tanda yang m6empunyai kaitan
kausal ataupun berdekatan dengan apa yang diwakilinya, contoh asap dengan api, tidak ada
asap kalau tidak ada api. Asap merupakan indeks.
(3). Simbol adalah suatu tanda, dimana relasi diantara tanda dengan denotatumnya ditentukan
oleh suatu peraturan yang berlaku umum; ditentukan oleh suatu 6kesepakatan bersama atau
konvensi (Aart Van Zoest. 1978;17).
Dalam tanada/ sign dikenal dengan trianggel yaitu antara tanada, penanda dan pertanda,
seperti bagan dibawah ini;
Sign
Penanda Pertanda
(Matrial)
Hubungan antara tanda/ sign, penanda/ signifier dan penanda/ signified merupakan suatu
kesepakatan atau sitem/ langue atau bisa dikatakan kode yang disepakati oleh masyarakat
menjadi suatu bahasa. Hal ini terjadi pada tanda tingkat pertama, juga pada penandan dan
pertanda tingkat pertama sedangkan pada tingkat kedua hal ini akan menjadi suatu ideologi.
Untuk itu perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan ideologi.
Ideologi bukan hanya sekedar tipe dari speech, melainkan pesan disampaikan kepada
masyarakat mungkin berbentuk objek, konsep, atau ide. Ini adalah gambaran pertama dari
ideologi yang dipertegas oleh Roland Barthes seperti berikut:
“…, it is not any type; language needs special conditions in order to become myth;
….established at the start is that myth is system of communication, that is message. This allows
one to perceive that myth can not possibly be an object, concept, or an idea; ….”
Dalam ideologi, akan ditemukan lagi istilah tri-dimensional patren, yaitu;
Sign, Signifier dan signified, namun pada ideologi ada tingkatan yang keduanya dimana petanda
akan memberikan petanda pada tingkatan ke dua atau bisa dikatakan sebagai makna ke dua. Dari
penanda kemudian penanda yang akan menjadi tanda yang6 menghasilkan penanda ke dua dan
petanda ke dua akan menhasillkan tanda.
Untuk lebih jelasnya kita simak apa yang diuraikan raland barthes, yaitu sebagai berikut;
“ myth is a peculiar system, in that it is constructed from a semiology chain which axisted before
it: it is second-order semiologycal system. That which is a sign (namely the associative total of a
concept and an image) in the first system, becomes a more signifier in the second.”.
Bila dilihat dari hirarkinya maka penjelasan diatas oleh Roland Barthes diskemakan seperti
berikut ini;
Langua
MIYTH
4. Syntagm dan System
Syntagm adalah kombinasi dari tanda pada ruang yang mendukungnya, dan dapat
dirubah berdasarkan pengertian yang sama, kesesuaian dari paradigmatiknya. Kecocokannya
contohnya dalam makan – nasi/ lauk/ sayur/ buah/ minum. Ini merupakan tahap pertama dari
syntagm seperti yang diungkapkan oleh Saussure, yaitu “ The syntagm is combination of sign,
wich has space as a support,”. Sedangkan tahap keduanya diterangkan “ the units wich have
something in common are associated in memory and thus form groups within which various
relation ships can be found;”. Pada tahap ke dua merupakan penggantian dengan pengertian
yang sama pada penggantinya, seperti; Saya melihat rumah, rumah disini bisa dikatakan atau
diganti dengan gubuk, villa dan seterusnya.
System merupakan konstitusi yang kedua dari language, Saussure melihat dari bentuk yang
berurutan dari asisiatif, yang ditentukan oleh persamaan bunyi, atau oleh persamaan arti /
meaning (Roland Barthes,133).
Kemudian Roland Barthes menuangkannya pada skema dibawah ini:
1. Signifier 2. signified
3. Sign
I. SIGNIFIER
II. SIGNIFIED
III. SIGN
Sedangkan pada penggatian yang kedua menunjukan adanya penggantian dengan pengertian
yang sama, adalah sebagai berikut:
Syntagm A B C etc
A’ B’ C’
A” B” C”
System
Saya Melihat
Gubuk
Rumah
Vila
System Syntagm
Garmen
System
Set of pi6eces, part of details which
cannot be worn at the same time on
the same part of the body, and whose
variations coresponds to change in the
meaning of clothing: toque – bonnethood.
Et6c
Juxtaposition in the same type
of dress of different elements:
Skrit – blouse – jacket.
Persamaan Arti
DAFTAR PUSTAKA
1. Aart Van Zoest, 1978, Semiotik, Basisbucen, ambo, Bearn.
2. Benny H. Pent.: 1995, Jean Piaget, Strukturalisme, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
3. Geoffri Broadbent, 1980, Sign.Simbol and architecture, John Wiley & Son, New york
4. John Fiske, 1991, Introduction to Communication Study, Jonathan Cape Ltd, london.
5. Roland Barthes, 1972, Mythologyes, Jonathan Cape Ltd, London.
6. Roland Barthes, 1972, Writing Degree Zero & Elemenmts Semiology, Jonathan Cape Ltd,
London.
7. Terence Hawk, 1988, Structuralism & Semiotics, Routledge, london.
8. Umberto Eco, 1976, A Theori of Semiology, Indiana University Press, London
S E M I O T I K A: TENTANG MEMBACA TANDA-TANDA
1
S E M I O T I K A:
TENTANG MEMBACA TANDA-TANDA
Oleh:
M. Syaom Barliana
Dosen Jurusan Pendidikan Arsitektur Universitas Pendidikan Indonesia
Dan Allah telah mengajari Adam menyebutkan
nama-nama (kemampuan berbahasa), lalu
mencerdaskan manusia lewat perantaraan
kalam (wacana).
C A T A T A N A W A L
D a r i B a h a s a ke K e b u d a y a a n
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi,
serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat.
Semiotika mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda, serta
relasi antar komponen-komponen tersebut dengan masyarakat
penggunanya. Semiotika, yang berasal dari bahasa Yunani, semion yang
berarti tanda (sign), bermula dari kajian tentang bahasa, dan kemudian
berkembang menjadi kajian kebudayaan, adalah akar dari
perkembangan gerakan intelektual dan filsafat strukturalisme dan
poststrukturalisme tersebut, yang merupakan bagian dari gemuruh
wacana kritis tahun 1950-1960-an yang mempertanyakan kembali
―kebenaran-kebenaran‖ universal dan tunggal yang dibangun oleh
rasionalisme, logosentrisme, positivisme, dan modernisme. Meskipun
demikian, Strukturalisme sendiri sesungguhnya masih menggunakan
pendekatan ―ilmiah‖ yang positivistik, yang kemudian dikritik dan
dikoreksi oleh Poststrukturalisme.
S E M I O T I K A & S T R U K T U R A L I S M E
D a r i S a u s s u r e k e L e v i – S t r a u s s
Pendekatan strukturalisme atas kebudayaan dikenal pada periode
tahun 1950-an, dengan dua tokoh utama yaitu Levi-Strauss dan Roland
Barthes, serta kemudian Charles Sanders Peirce dan Marshall Sahlins.
Namun demikian, akar pendekatan ini sesungguhnya mulai
dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure pada periode 1900-an. Oleh
sebab itu, kajian tentang semiotika ini pada dasarnya adalah sebuah
upaya untuk menelusuri kembali pemikiran-pemikiran para tokoh
tersebut.
2
Strukturalisme adalah aliran pemikiran yang secara ilmiah
(objektif, ketat, berjarak), mencari struktur terdalam dari realitas yang
tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan. Berikut ini beberapa
gagasan pokok Strukturalisme, yang dipelopori oleh Levi-Strauss dalam
mendekati masalah kebudayaan (Philip Smith, 2001).
Pertama, ―yang dalam‖ menjelaskan apa yang ada di permukaan.
Kehidupan sosial sekilas tampak kacau, tak beraturan, beragam, dan
tak dapat diprediksi, namun sesungguhnya hal itu hanya di
―permukaan‖. Di balik atau di dalamnya, terdapat mekanisme genaratif
yang kurang lebih konstan.
Kedua, ―yang dalam‖ itu terstruktur. Mekanisme generatif yang
ada di dalam itu tidak hanya eksis dan bersifat potensial, melainkan
juga terorganisasi dan berpola. Kaum strukturalis percaya, bahwa
struktur ―yang dalam‖ tersebut terdiri atas blok-blok unsure yang bila
dikombinasikan dapat dipakai untuk menjelaskan yang ada
dipermukaan.
Ketiga, kebudayaan itu seperti bahasa. Strukturalisme
dipengaruhi oleh linguistik struktural, yaitu bahasa dianggap sebagai
sistem yang terdiri atas kata-kata, bahkan unsur-unsur mikro seperti
suara. Relasi antar unsur ini memungkinkan bahasa menyampaikan
informasi untuk menandai (to signify). Pendekatan strukturalis atas
kebudayaan berfokus pada identifikasi unsur-unsur yang bersesuaian
dan bagaimana cara unsur-unsur itu diorganisasi untuk menyampaikan
pesan.
Keempat, pendekatan struktural cenderung mengurangi,
mengabaikan, dan bahkan menegasi peran subjek. Tekanannya ialah
pada peranan dan pengaruh sistem kultural daripada kesadaran dan
perilaku individual. Para strukturalis menentang eksistensialisme dan
fenomenogi yang dianggap terlalu individualistik dan kurang ilmiah,
serta dianggap melupakan peranan masyarakat dan kebudayaan yang
membentuk cara berfikir dan bertindak individu.
F e r d i n a n d d e S a u s s u r e
Ferdinand de Saussure (1857-1913), adalah ahli bahasa dari
Perancis yang bukan saja berjasa meletakkan dasar bagi pendekatan
strukturalis pada bahasa tapi juga pada kebudayaan. Roland Barthes
(1968/1985), Philip Smith (2001), menjelaskan bahwa Saussure melihat
bahasa sebagai terdiri dari imaji akustik (kata dan bunyi) yang terkait
dengan konsep (benda atau ide). Kaitan antara keduanya merupakan
hasil kesepakatan (convention). Hubungan antara penanda konsep
bersifat arbitrer (acak dan sewenang-wenang). Ia mengklaim bahasa
merupakan sebuah sistem tanda (signs) yang terlibat dalam sebuah
proses penandaan (signification) yang kompleks. Bahasa ini berfunggsi
sebagai ―pengontrasan‖ (difference). Misalnya, kata ―anjing‖ memiliki
makna karena kita dapat membedakan ―anjing‖ dari kucing, pohon, dan
sebagainya. Dengan demikian, kata ada sebagai bagian dari jaring
penanda-penanda (signifiers) yang disatukan dalam sebuah struktur
keberbedaan (structure of difference).
3
Saussure mengedepankan pendekatan sinkronik daripada
diakronik (kesejarahan) atas bahasa. Ini berarti ia ingin memetakan
sebuah sistem bahasa pada suatu momen tertentu, dan tidak mau
terjebak dalam penelusuran sejarah kata. Ia membedakan langue
(bahasa, language) dengan parole (ucapan, speech). Parole adalah apa
yang diucapkan orang pada saat dan masa tertentu, sedangkan langue
adalah struktur yang ada ―di dalam‖ –keseluruhan sistem tanda yang
mendasari parole. Fokus kajian Saussure adalah pada langue (struktur).
Dengan menekankan sifat arbitrer penandaan, logika, dan struktur
internal bahasa, ia ingin menunjukkan bahaw bahasa merupakan
fenomen yang sui generis. Artinya, bahasa itu otonom sebab makna
diproduksi dalam sistem linguistik melalui sebuah sistem pembedaan.
Berdasarkan hal tersebut, Amir Pilliang (2003), menyimpulkan
paling tidak ada enam prinsip semiotika struktural yang dikembangkan
oleh Saussure. Pertama, prinsip struktural. Saussure memandang relasi
tanda sebagai relasi struktural, yang di dalamnya tanda dilihat sebagai
sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material, yang oleh
Roland Barthes—sebagai penerus Saussure—disebut penanda (signifier)
dan sesuatu yang bersifat konseptual, yang disebut petanda (signified).
Dalam kaitan inilah, semiotika yang dikembangakan Saussure biasa
disebut semiotika struktural (structural semiotics), dan kecenderungan
ke arah pemikiran struktur ini disebut strukturalisme (structuralism).
Strukturalisme dalam semiotika tidak menaruh perhatian pada relasi
kausalitas antara suatu tanda dan causa prima-nya, antara bahasa dan
realitas yang direpresentasikannya, melainkan pada relasi secara total
unsur-unsur yang ada dalam sebuah sistem (bahasa). Sehingga, yang
diutamakan bukanlah unsur itu sendiri melainkan relasi diantara
unsur-unsur tersebut. Apa yang disebut makna tidak dapat ditemukan
sebagai bagian intrinsik dari sebuah unsur melainkan sebagai akibat
dari relasi total yang ada dengan unsur-unsur lain secara total.
Kedua, prinsip kesatuan (unity). Sebuah tanda merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang
bersifat konkrit atau material (suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang
petanda (konsep, ide, gagasan, makna), seperti dua sisi dari selembar
kertas yang tidak mungkin dipisahkan. Meskipun penanda yang abstrak
dan nonmaterial tersebut bukan bagian instrinsik dari sebuah penanda,
akan tetapi dianggap hadir (present) bersama-sama penandanya yang
konkrit, dan kehadiranya adalah absolut. Dengan demikian, ada
kecenderungan metafisik (metaphysics) pada konsep semiotika
Saussure, di mana sesuatu yang besifat non fisik (petanda, konsep,
makna, kebenaran) dianggap hadir di dalam sesuatu yang bersifat fisik
(penanda).
Ketiga, prinsip konvensional (conventional). Relasi struktural
antara sebuah penanda dan petanda, dalam hal ini, sangat bergantung
pada apa yang disebut konvensi (convention), yaitu kesepakatan sosial
tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Hanya
karena adanya konvensi yang memungkinkan tanda memiliki dimensi
sosial, dan dapat digunakan di dalam wacana komunikasi sosial. Sebab,
tanpa konvensi tidak akan ada komunitas bahasa, dan tidak ada
4
komunikasi. Tanda disebut konvensional, dalam pengertian, bahwa
relasi antara penanda dan petandanya disepakati sebagai sebuah
konvensi sosial.
Keempat, prinsip sinkronik (synchronic). Keterpakuan kepada
relasi struktural menempatkan semiotika struktural sebagai sebuah
kecenderungan kajian sinkronik (synchronic), yaitu kajian tanda sebagai
sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap
konstan, stabil, dan tidak berubah. Semiotika struktural, dengan
demikian, mengabaikan dinamika, perubahan, serta transformasi
bahasa itu sendiri di dalam masyarakat. Penekanan semiotika struktural
pada apa yang disebut Saussure langue (sistem bahasa), oleh beberapa
pemikir Post-strukturalis dianggap telah melupakannya pada sifat
berubah, dinamis, produktif, dan transformatif dari parole (penggunaan
bahasa secara aktual dalam masyarakat).
Kelima, prinsip representasi (representation). Semotika struktural
dapat dilihat sebagai sebuah bentuk representasi, dalam pengertian
dalam sebuah tanda memrepresentasikan sebuah realitas, yang menjadi
rujukan atau referensinya. Sebuah tanda bunga, misalnya, mewakili
sesuatu di dalam dunia realitas, sehingga hubungan tanda dan realitas
lebih bersifat mewakili. Dengan perkataan lain, keberadaan tanda sangat
bergantung pada keberadaan realitas yang direpresentasikannya.
Realitas mendahului sebuah tanda, dan menentukan bentuk dan
perwujudannya. Ketiadaan realitas berakibat logis pada ketiadaan tanda.
Keenam, prinsip kontinuitas (continuity). Ada kecenderungan pada
semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem tanda dan
penggunaannya secara sosial sebagai sebuah continuum, yaitu sebuah
relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa, yang di dalamnya
berbagai tindak penggunaan bahasa selalu secara berkelanjutan
mengacu pada sebuah sistem atau struktur yang tidak pernah berubah,
sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal
pada tanda, kode, dan makna. Perubahan kecil pada berbagai elemen
bahasa, sebagai akibat logis dari perubahan sosial itu sendiri.
Selanjutnya, menurut Saussure (Smith, 2001), analisis tentang
sistem linguistik dapat diterapkan pada teori kebudayaan. Ia
mengajukan kemungkinan untuk mengembangkan ilmu yang khusus
mempelajari peran penanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.
Gagasan inilah yang memungkinkan berkembangnya Strukturalisme.
C h a r l e s S a n d e r s P e i r c e
Sementara itu, Trifonas (2001), ketika membahas karya Barthes;
The Empire Sign (Imperium Tanda), menyatakan bahwa meski model
Saussurean lebih berpengaruh terhadap perkembangan strukturalisme
Perancis, filsuf Amerika Charles Sanders Peirce melakukan
konseptualisasi tentang tanda yang ia kembangkan secara lengkap.
Bagi Pierce, tanda adalah unsur bahasa atau citra yang tersusun
dari hubungan antar tanda itu sendiri, referen (objek yang diacu oleh
tanda), dasar representasi (sifat hubungan terhadap referen), dan
interpretan (hubungan eksperiensial antara penafsir dan makna). Tanda
mengacu kepada referen di dalam wilayah representasi yang mendasari
5
tanda sesuai fungsinya –apa yang diacunya, bagaimana, dan demi
tujuan apa. Makna tercipta ketika pembaca tanda men-dekode-kan
dasar representasi, yang dengan demikian menafsirkan perbedaan
antara tanda dengan pengalaman.
Meskipun terdapat perbedaan antara semiotika Saussurean
dengan Piercean, sebagaimana yang tersirat di atas, namun keduanya
berpendapat sama bahwa tanda tak mungkin memiliki hubungan
motivasional, kedekatan, analogis, atau relasional dengan sesuatu yang
ia representasikan. Tanda selalu bersifat arbiter, atau sebaliknya, ia
merepresentasikan dirinya sendiri, yang selanjutnya menentukan
apakah suatu tanda adalah hal yang disebut Pierce sebagai indeks, ikon,
dan simbol.
Indeks menunjuk pada makna langsung yang jelas dan bersifat
universal, ikon adalah tanda yang memiliki makna assosiatif atau
analogis, simbol adalah suatu tanda yang bermakna simbolik yang dapat
dimengerti hanya jika dipahami latar budayanya.
R o l a n d B a r t h e s
Barthes (1915-1985) merupakan tokoh intelektual dan filsuf
Perancis yang gagasannya berada pada fase peralihan dari
Strukturalisme ke Poststrukturalisme. Walau demikian, Barthes
bersama Lévi-Strauss adalah tokoh-tokoh awal yang mencetuskan faham
struktural dan meneliti sistem tanda dalam budaya. Menurutnya, ada
titik temu atau konvergensi antara linguistik (ilmu-ilmu bahasa) dan
penelitian budaya yang pada gilirannya akan memperkaya penelitian
semiologi (yaitu ilmu tentang praktek penandaan/signifying atau analisis
penetapan makna dalam budaya) yang ia kembangkan. Berikut adalah
beberapa tema konseptual dan terminologi yang ia pakai. (Barthes, 1973:
Barthes, 1981: Smith, 2001).
Pertama, langue/parole: distingsi yang dicetuskan oleh Saussure
ini tidak hanya dapat dipakai dalam fenomena linguistik tetapi juga
dalam konteks semiotik.
Kedua, signifer/signified: distingsi Sussurian tentang benda atau
konsep yang dihadirkan melalui ―yang ditandakan‖ (signified), dan tanda
yang menghadirkan (signifier/penanda) bagi Barthes merupakan sesuatu
yang esensial dalam sistem penandaan (sign systems).
Ketiga, syntagm dan system.. Syntagm mengacu pada cara
bagaimana tanda-tanda disusun melintasi waktu dalam satu susunan
(tata bahasa/grammatika). Oleh karenanya, setiap bagian dalam hal ini
mengambil nilai terhadap lawannya. System, mengacu pada
perlawanannya yang bisa diganti atau kadang dilihat sebagai paradigma.
Keempat, denotation dan connotation: keduanya mengacu pada
―tatanan makna kata‖ (order of signification). Yang pertama pada makna
kata lugas atau literal, dalam arti menjelaskn sesuatu sebagaimana
adanya (denotasi). Yang kedua menggunakan arti kiasan (konotasi), dan
dalam arti tertentu melibatkan semacam metabahasa. Denotasi berada
pada tingkatan yang lebih rendah.
Tema-tema tersebut disajikan dalam karyanya Mythologies (1957).
Buku ini merupakan pengantar terbaik untuk mengilustrasikan
6
pendekatan Barthes akan studi tanda-tanda (semiotik). Menurutnya,
tanda-tanda dalam budaya bukanlah sesuatu yang polos murni
(innocent), namun sebaliknya tanda-tanda justru memiliki kaitan yang
kompleks dengan reproduksi ideologi. Barthes mengangkat interpretasi
tentang berbagai fenomena dan menghubungkannya dengan tema yang
berbau Marxis, termasuk dengan kebenaran sejati, ideologi, dan
pemujaan berhala komoditas (commodity fetishism).
Contoh-contoh berikut adalah pembacaan tanda oleh teori
Barthes: (1) Mobil Citroën model terbaru dapat dipandang sebagai
sebuah katedral modern di mana orang datang untuk menyembah.
Barthes mencoba menarik perhatian kita tentang model ―pemujaan‖
baru ini serta bagaimana orang berinteraksi dengan komoditas; (2)
Sebuah sampul majalah Prancis menampilkan seorang berkulit hitam
dan berpakaian militer Prancis sedang memberi hormat pada bendera
Prancis. Iklan ini bisa dibaca sebagai sebuah pernyataan ideologis yang
mendukung kolonialisme, seolah-olah orang-orang yang tinggal di
wilayah jajahan Perancis (wilayah koloni) itu berbahagia melayani
Prancis; (3) Olah raga gulat (wrestling) ditafsirkan sebagai sejenis teater
atau tontonan untuk publik kelas pekerja. Penampilan di atas panggung
yang lebih eksplisit dilihat sebagai penyampaian sesuatu secara lebih
jujur dan autentik dan kurang borjuis dibandingkan tinju (boxing; (4)
Boneka anak-anak buatan pabrik (manufactured) dikontraskan dengan
boneka buatan tangan (hand-made). Boneka buatan tangan dilihat lebih
unggul dalam pengertian bahwa mereka produk organis yang sehat yang
bisa beradaptasi seiring dengan waktu dan ramah di tangan anak-anak.
Sebaliknya, boneka buatan pabrik tidak memiliki aura yang dimiliki
produk buatan tangan para seniman atau hand-made product. Boneka
buatan pabrik tampak lebih dingin dan merupakan produk klinis dari
pekerja yang teralienasi dan sistem teknologis.
Di akhir buku Mythologies-nya Barthes berusaha menarik
pelajaran dari fakta-fakta yang ada dan mencoba menempatkannya
dalam bingkai politis-filosofis. Menurutnya, kita perlu menghubungkan
studi abstrak tentang tanda-tanda (semiotik) dengan penalaran
sosiologis mengenai bagaimana bentuk-bentuk konkret dan fungsi
tanda-tanda abstrak tersebut. Hanya dengan demikian kita dapat
menghubungkan skema mitos dengan sejarah umum guna menjelaskan
bagaimana hal itu berdampak bagi kepentingan sebuah masyarakat
tertentu (misalnya: masyarakat kapitalis).
Aspek mendasar dari Mythologies ialah pembedaan penggunaan
makna denotasi dengan konotasi. Makna denotasi adalah makna literal,
sedangkan makna konotasi merujuk pada ekstramitologis. Dalam kasus
tentara berkulit hitam yang menghormati bendera merah-putih-biru di
atas, makna denotatifnya adalah seorang tentara koloni dalam seragam
pasukan Prancis menghormati bendera. Namun, makna konotatifnya
menurut Barthes adalah bahwa ―Perancis adalah sebuah kerajaan besar,
bahwa semua putranya tanpa kecuali harus mengabdi di bawah kibar
benderanya…‖
Buku Mythologies Barthes ini menjadi sangat penting karena dua
alasan: (1) membuka alur baru dengan menghubungkan semiotika dan
7
teori kritis, serta (2) melegitimasi studi budaya populer dalam dunia
akademik dan trend gaya hidup (life style) dalam masyarakat konsumer
(consumer society), yang dikaji lebih jauh oleh Marshall Shalins, Jean
Baudrillard, dan Umberto Eco.
Dalam karya-karyanya yang kemudian, Barthes akhir mulai
melampaui Strukturalisme ortodoks dan sekaligus menyiapkan jalan
bagi Poststrukturalisme. Fokus Barthes tua, dalam bukunya S/Z,
adalah soal kenikmatan indrawi dalam membaca (sensual pleasure of
reading) dan kekuatan aktif dari pembaca (active power of the reader).
Pada intinya, ia hendak mengatakan bahwa ―tidak ada makna definitif
dalam sebuah cerita (telenovela, mitos dan, sebagainya)‖. Kode-kode
yang ada selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan interpretasi.
Pembaca terlibat dalam menemukan makna sebuah teks. Contoh
sederhananya: buku yang sama bisa berarti lain ketika kita baca untuk
kedua kalinya. Mengapa? Karena kita membuat kaitan-kaitan yang
berbeda, baik dengan unsur-unsur di dalam teks meupun kejadiankejadian
di luar teks. Dalam S/Z, Barthes membuat pembedaan antara
readerly dan writerly. Readerly berarti sifat teks itu terbuka (openended),
sedangkan writerly berarti sifat teks itu cenderung kering dan
literal. Walau demikian, Barthes menekankan kekuatan aktivitas
pembacaan untuk mendapatkan makna beragam atas sebuah teks.
Karena itu, Bartheslah yang mengumandangkan ―kematian pengarang‖
(the death of the subject!)
Di akhir tahun 1970-an, Barthes bahkan menganjurkan
―hedonisme‖ sebagai strategi untuk membaca. Ia makin manjauh dari
Strukturalisme klasik dan mulai merambah Poststrukturalisme.
Bahkan, ia meninggalkan upaya untuk menyusun sebuah teori yang
koheren atau pendekatan sistematik, dan kemudian memakai
pendekatan aforistik seperti Nietzsche. Ia juga mengemukakan konsep
jouissance—kata Prancis yang mencakup pengertian perasaan ekstasis
dan perasaan seksual. Dalam bukunya The Pleasure of the Text (1973),
Barthes melihat bahwa teks itu membawa serta suatu kenikmatan yang
dekat dengan seks. Lewat bukunya ini, Barthes sekaligus menarik
perhatian kita akan adanya fusi (peleburan) unsur-unsur intelektual,
badaniah, dan emosional—tema yang kelak terbukti sentral dalam upaya
para pemikir post-strukturalis untuk menjungkirkan dan
mempertanyakan nalar.
M a r s h a l l S h a l i n s
Awalnya, Marshall Shalins adalah seorang antropolog materialis.
Kelak ia memberi perhatian lebih pada teori kebudayaan yang sarat
dengan pengaruh Strukturalisme kultural. Culture and Practical Reason
(1976) mungkin adalah bukunya yang paling berpengaruh dalam ranah
kajiannya. Menurut Philip Smith (2001), dalam bukunya ini, Shalins
menantang gagasan Marx tentang kebudayaan dengan mengatakan
bahwa kode-kode budaya tertentu membentuk preferensi konsumen;
dan dengan demikian, pada gilirannya mempengaruhi bentuk produksi
ekonomi. Ini berarti kebudayaanlah yang menentukan bentuk
kehidupan ekonomi dan bukan sebaliknya sebagaimana diklaim oleh
8
Marxisme. Menurutnya, tatanan budaya (cultural order)
diwujudnyatakan dalam tatanan benda-benda (order of goods). Produksi
adalah reproduksi kebudayaan dalam sistem benda-benda (system of
objects). Dengan kata lain, barang-barang yang dikonsumsi sebenarnya
merupakan penanda (signifier) dalam sistem kultural dan sosial, dan
sistem ekonomi kemudian merespons kode tersebut dengan
memproduksi signifier (lain) lagi.
Contohnya, di Amerika daging dikodekan oleh sistem tanda yang
melambangkan kekuatan, kejantanan, dan sebagainya. Kode budaya ini
selanjutnya menimbulkan permintaan (demand). Tetapi, pertanyaan
kritis yang diajukan Sahlin: Mengapa yang diproduksi secara besarbesaran
adalah daging sapi (beef), dan bukan daging kuda atau daging
anjing? Jawabannya, menurut Sahlin, terletak dalam kode budaya yang
disebutnya sebagai ―Sistem Daging Amerika.‖ Tabu terbesar bagi
manusia adalah kanibalisme, maka kode biner melihat daging hewan
lebih disukai manusia sebagai bahan makanan. Dalam dunia binatang,
kode biner itu lantas diterjemahkan dengan cara memilah-milah hewan
yang mirip manusia dan yang kurang mirip. Daging sapi dipilih karena
sapi jauh dari keserupaan dengan manusia. Sementara itu, kuda atau
anjing dalam masyarakat Amerika dilihat lebih dekat denagn manusia
(dijadikan binatang peliharaan atau Pet, diberi nama, dan sebagainya).
C l a u d e L e v i – S tr a u s s
Levi-Strauss, filsuf berdarah Yahudi kelahiran Belgia (1914) ini
dikenal sebagai Bapak Strukturalisme, karena dialah yang pertama kali
menggunakan pendekatan linguistik struktural dalam kajian tentang
budaya, yang pemikirannya dipengaruhi oleh Marx, Freud, dan ilmu
geologi (Philip Smith, 2001). Budaya adalah bahasa, karena menurut
Strauss, material yang digunakan dalam membangun bahasa pada
dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan material yang
membentuk kebudayaan. Material itu, adalah relasi-relasi logis, oposisi,
korelasi, dan sebagainya. Baik bahasa maupun kebudayaan merupakan
hasil pikiran manusia, sehingga ada korelasi di antara keduanya.
Disamping itu, menurut Ahimsa Putra (2001), Levi-Strauss
mengemukakan beberapa asumsi yang mendasari penggunaan
paradigma (linguistik) struktural dalam menganalisis kebudayaan.
Pertama, beberapa aktivitas sosial seperti mitos/dongeng, ritualritual,
sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, dan
sebagainya, secara formal dapat dilihat sebagai bahasa, yakni sebagai
tanda dan simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Ada keteraturan
(order) dan keterulangan (regularities) dalam fenomena-fenomena
tersebut.
Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa dalam diri manusia
secara genetis terdapat kemampuan structuring, menyusun suatu
struktur tertentu di hadapan gejala-gejala yang dihadapinya. Gejalagejala
itu mungkin membentuk suatu struktur yang disebut struktur
permukaan (surface structure). Tugas seorang strukturalis adalah
menyingkap struktur dalam (deep structure) dari struktur permukaan
tersebut.
9
Ketiga, sebagaimana makna sebuah kata ditentukan oleh relasirelasinya
dengan kata-kata lain pada suatu titik waktu tertentu
(sinkronis), para strukturalis percaya bahwa relasi-relasi suatu fenomena
budaya dengan fenomena-fenomena lain pada suatu titik waktu
tertentulah yang menentukan makna fenomena tersebut.
Keempat, relasi-relasi pada struktur dalam (deep structure) dapat
diekstrak dan disederhanakan menjadi oposisi biner (binary opposition),
misalnya ―menikah >< tidak menikah‖, ―siang >< malam‖, ‖hitam ><
putih‖, ‖besar >< kecil‖, dan sebagainya.
Kelima, sebagaimana orang menerapkan hukum-hukum bahasa
tanpa sadar, demikian pula orang menjalankan ―hukum-hukum‖ dalam
hidup sosial-kemasyarakatan tanpa sadar.
Menurut Philip Smith (2001) lebih jauh, pengaruh pendekatan
Lévi-Straussian mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1960-an,
yang ditandai dengan terbitnya The Savvage Mind (la pensée Sauvage).
Akan tetapi di akhir tahun 1960-an, terutama dengan kasus Perang
Vietnam dan gerakan mahasiswa Paris tahun 1968, mulai dirasakan
bahwa strukturalisme tidak dapat menjawab persoalan sehingga
dibutuhkan teori yang lain. Muncullah kemudian teori yang akan
memperhitungkan peran kekuasaan (power), diskursus, dan sejarah
dalam kebudayaan. Pada awal tahun 1970-an, orang misalnya mulai
berpaling pada Marxisme struktural dari Althusser. Berbeda dengan
konsep pikiran kolektif yang mengambang (free-floating collective mind)
dari Lévi-Strauss, orang kemudian lebih memperhatikan subjek pelaku
tindakan (agency) seperti dinyatakan oleh Giddens (Priyono, 2001),
institusi, dan sejarah dalam konstruksi dan penyebaran sistem
semiotika. Karya Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (1977),
misalnya, berupaya menyatukan tindakan, kekuasan, dan perubahan
dalam kerangka pemikiran strukturalis dan kemudian post-strukturalis
tentang ranah budaya.
HIPERSEMIOTI KA & POSTSTRUKTURALISME
U p a y a M e l a m p a u i O p o s i s i B i n e r
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, semiotika atau semiologi
adalah aliran pemikiran yang bermula dari kajian linguistik, dan
kemudian berkembang menjadi kajian tentang kebudayaan. Oleh sebab
itu, semiotika banyak digunakan sebagai pisau analisis dalam studi
sastra, senirupa, komunikasi dan iklan, mode dan fashion, arsitektur,
gaya hidup, dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan pemikiran
Poststrukturalisme yang berjalin berkelindan dengan Postmodernisme,
semiotika dipandang tidak lagi memadai untuk menjelaskan berbagai
fenomena kebudayaan –yang dalam kultur kapitalisme, konsumerisme,
komunikasi, informasi, pasar, komoditas, masyarakat konsumer,
kebudayaan pop, dunia fantasi- melampaui realitas (hyperrealitas).
Karena itu, muncul terminologi baru (neologi), yang disebut
Hipersemiotika (hypersemiotics).
Sebelum menelaah apa yang dimaksud dengan Hipersemiotika,
lebih dulu akan dikaji gerakan intelektual Poststrukturalisme yang
10
merupakan basis bagi penciptaan analisis Hipersemiotika. Menurut Amir
Pilliang (2003), Hipersemiotika tidak bisa dipisahkan dari
Poststrukturalisme, disebabkan ada beberapa persamaan konsep kunci
yang digunakan di dalamnya. Perbedaan keduanya terletak pada
penekanan. Penggunaan awalan hiper pada Hipersemiotika dengan
sendirinya menekankan aspek-aspek melampaui atau berlebihan pada
wacana semiotika, yang di dalam Postrukturalisme tidak
diperbincangkan secara khusus. Apa yang dicoba dilakukan adalah
melihat keterkaitan antara Hipersemiotika sebagai sebuah teori tanda,
dan Hiperealitas sebagai teori realitas, serta bagaimana peran tanda
dalam mengkonstruksi dunia tersebut.
Poststrukturalisme dipandang sebagai kelanjutan, perbaikan, dan
perkembangan, daripada sebagai pemikiran yang bertolakbelakang
dengan Strukturalisme. Oleh sebab itu, agak sulit untuk menarik garis
pembatas yang tegas di antara keduanya, bahkan pemikir yang sama
seperti Roland Barthes pun digolongkan sebagai Strukturalis (pada
awalnya, masa muda) dan kemudian Poststrukturalis (pada
perkembangan terakhir, masa tuanya). Selain Barthes, para penggagas
Poststrukturalisme yang terkenal antara lain; Michael Foucault,
Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Felix
Guattari.
Disamping itu, menurut Philip Smith (2001), kesulitan untuk
menegaskan batas antara Strukturalisme dan Poststrukturalisme juga
disebabkan oleh: (1) tidak adanya Poststrukturalisme tunggal, yang ada
hanyalah pluralitas (keanekaan) pendekatan yang bernaung di bawah
terminologi itu, dan karena itu agak sulit digeneralisasi; (2) publikasi
dan diskusi Poststrukturalisme hampir selalu dikacaukan dengan upaya
simultan dalam mendefinisikan Postmodernisme dan Postmodern, dan
karena itu terdapat kekecauan terminologi.
Terlepas dari persoalan itu, Philip Smith (2001) lebih lanjut
menyatakan, bahwa di antara Strukturalisme dan Poststrukturalisme
dapat ditemukan titik pertemuan dan perbedaannya. Persamaannya,
baik Strukturalisme maupun Poststrukturalisme menyepakati soal
kosakata budaya, kematian subjek (the death of the subject), serta
menggunakan bahasa (linguistik) dan model-modal tekstual dari budaya.
Sementara itu, hal pokok yang menjadi perbedaan antara
Strukturalisme dan Poststrukturalisme adalah dalam epistemologi
(metode penyelidikan pengetahuan dan kebenaran), konsep tentang
kekuasaan, dan konsep tentang sejarah. Strukturalis mempromosikan
pandangan bahwa analisis ilmiah yang dilakukannya merupakan
pembacaan objektif, membuka kebenaran tunggal, dan sekaligus
kebenaran universal, dengan menerapkan pendekatan yang ―ilmiah‖.
Bagi kalangan Postsrukturalis, pandangan ini menyesatkan, oleh sebab
itu mereka melakukan kritik yang berkisar pada sejumlah pokok sebagai
berikut.
Pertama, lokasi sosial dan konstruksi historis dari si pengamat
dan pengetahuan yang mereka miliki berperan penting dalam
pembentukan pengertian dan teori. Berkaitan dengan hal itu, para
pemikir Poststrukturalis mengusulkan agar analisis memusatkan
11
perhatian pada usaha-usaha eksplorasi kondisi-kondisi sosial yang
melahirkan pengetahuan serta dampak dari klaim-klaim pengetahuan
dan kebenaran dalam setting sosial tertentu.
Kedua, kaum Poststrukturalis berargumen bahwa kebudayaankebudayaan
dan teks-teks bisa ditafsirkan dengan beraneka macam cara
dan mampu menghasilkan pembacaan yang beragam—tidak selalu
seragam, dan beberapa diantaranya mungkin saling bertentangan.
Ketiga, sementara kaum Strukturalis menekankan kualitas
matematis yang kering dari sistem-sistem kebudayaan, kaum
Poststrukturalis merayakan hasrat, kesenangan, tubuh, dan permainan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengamatan atas
kebudayaan maupun tulisan-tulisan teoretis tentangnya.
Keempat, soal kekuasaan (power). Kaum Strukturalis melihat
bahwa budaya dan struktur sosial bukanlah produk dari kekuasaan
tetapi lebih merupakan hasil dari ikatan sosial, kebutuhan-kebutuhan
manusia, dan faktor ketidaksadaran kolektif yang bersifat transendental.
Meskipun pemikiran Poststrukturalis tentang budaya bisa dilihat
sebagai bangunan yang berfondasikan pengertian Marxis tentang budaya
sebagai produk dari kekuasan, namun Poststrukturalis sekaligus juga
menolak metanaratif dari Marxisme. Kemudian, yang mau ditunjukkan
oleh para pemikir Poststrukturalis adalah keberlimpahan dan tarikmenarik
antara beraneka macam diskursus dan struktur
kekuasaan/pengetahuan.
Kelima, sementara itu, menyangkut sejarah, pemikiran
Strukturalis cenderung menekankan sejarah sebagai sesuatu yang bisa
dketahui dan bersifat linear, sementara kaum Poststrukturalis berpikir
bahwa sejarah berhubungan dengan pandangan kekuasaan dan
kebenaran. Mereka menolak konsep metanaratif seperti emansipasi dan
kemajuan (the idea of progress). Menurut mereka, jantung dari sejarah
adalah hakikatnya yang chaotic (kacau), dan bukan kemampuannya
untuk menyingkap rencana dan tatanan. Menimba inspirasi dari
Nietzsche, ide-ide deterministis seperti tahapan-tahapan historis yang
niscaya dalam sejarah (contoh: feodalisme, kapitalisme) diganti dengan
keterputusan (discontinuity), patahan (rupture), kontingensi, dan
kebetulan (chance), dalam pembentukan dinamik kultural dan
institusional.
Selanjutnya, berkaitan dengan pembahasan hipersemiotika, Amir
Pilliang (2003) menjelaskan bahwa hipersemiotika, yang berarti
melampaui batas semiotika, digunakan untuk menjelaskan sebuah
kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir —khususnya
pemikir semiotika mutakhir— yang berupaya melampaui batas oposisi
biner yang secara konvensional dibangun antara
struktur/perkembangan, konvensi/perubahan, fisika/metafisika,
sinkronik/diakronik, penanda/petanda, langue/parole, tanda/realitas.
Prinsip oposisi biner ini tampaknya sangat sentral dalam pemikiran
struktural mengenai semiotika. Hipersemiotika, dalam hal ini, mencoba
membongkar tembok oposisi biner ini, dan mengembangkan beberapa
prinsip, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
12
Pertama, prinsip perubahan dan transformasi. Hipersemiotika
menekankan pada perubahan tanda ketimbang struktur tanda, produksi
tanda-tanda ketimbang reproduksi kode dan makna, dinamika
pembiakan tanda yang tak berhingga ketimbang relasi yang tetap.
Reproduksi semiotik (semiotic reproduction) adalah relasi, yang di
dalamnya tanda-tanda (penanda dan petanda/bentuk dan makna) selalu
diproduksi ulang dalam bentuk yang sama oleh mesin reproduksi
semiotik (semiotic reproduction machine). Artinya, semiotika semacam ini
sangat menggantungkan dirinya pada konvensi di kanon-kanon.
Produksi semiotik (semiotic production) sebagai ciri Hipersemiotika,
sebaliknya, adalah sebuah relasi yang di dalamnya tanda-tanda tidak
lagi menggantungkan dirinya pada konvensi, kode, atau makna yang
ada, dan membiak tanpa btas dan tanpa pembatas lewat sebuah mesin
produksi semiotik (semiotic production machine) yang terus berputar
tanpa henti.
Kedua, prinsip imanensi (immanency). Hipersemiotika
menekankan sifat imanensi sebuah tanda ketimbang sifat
transendensinya, permainan permukaan material (fisik) ketimbang
kedalaman (metafisik), permainan penanda ketimbang petanda,
pengolahan bentuk ketimbang ketetapan makna, permainan kulit
ketimbang kepastian isi (content), penjelajahan jagad raya simulasi
ketimbang kanon-kanon representasi. Ketika rantai yang
menghubungkan penanda atau petanda, konsep atau makna dalam
sebuah relasi pertandaan diputuskan, maka yang terbentuk adalah
sebuah tanda yang tidak lagi menggantungkan dirinya pada rujukan
realitas, dan mengembangakan dirinya di dalam sebuah medan
permainan pure simulacrum, atau pure immanence, yang membentuk
sebuah dunia hiperealitas. Dengan demikian, ada kecenderungan
postmetafisik (post-metaphsysics) pada Hipersemiotika, dalam pengertian
bahwa yang dirayakan di dalamnya adalah permainan bebas penanda
(signifier) yang bersifat permukaan, dan melihat keberadaan petanda
(yang metafsik) hanya sebagai alibi saja dari permainan tersebut.
Ketiga, prinsip perbedaan atau pembedaan (difference).
Hipersemiotika menekankan perbedaan (difference) ketimbang identitas,
konvensi, dan kode sosial. Dalam hal ini, harus dibedakan antara
konsep perbedaan dan kebaruan (newness). Hipersemiotika bukanlah
mesin kebaruan (progress machine) seperti mesin modernisme, yang
mengharuskan adanya kebaruan, yaitu sesuatu yang belum pernah ada
sebelumnya. Ia, sebaliknya, adalah mesin pembedaan (difference
machine), yang raison d’erte-nya adalah memproduksi jagad raya
perbedaan-perbedaan tanda, yang tidak selalu harus baru. Sehingga,
penjelajahan menelusuri puing-puing tanda masa lalu (pastiche) sangat
dirayakan di dalamnya, dalam rangka menciptakan relasi-relasi dialogis
antarwaktu dan antar-ruang (ruang-waktu masa lalu/masa kini/ masa
depan) di dalam sebuah wadah ruang yang sama.
Keempat, prinsip permainan bahasa (language game).
Hipersemiotika menekankan permainan pada tingkat parole ketimbang
langue, event ketimbang sistem, reinterpretasi terus-menerus tanda
ketimbang pembangunan ulang struktur. Hipersemiotika, dengan
13
demikian, adalah mesin permainan bahasa (game machine), yang
memproduksi secara terus-menerus rimba raya permainan tanda-tanda
sebagai komoditi, tanpa merasa perlu mengikatkan diri pada sebuah
sistem yang tetap, semata dalam rangka menghasilkan keterpesonaan,
kesenangan, gairah, dan ekstasi dalam bermain itu sendiri. Yang
dipentingkan di dalamnya adalah pesona dalam tindakan (event)
produksi tanda itu sendiri (ekstasi komunikasi atau dalam bahasa
Marshall McLuhan, medium is the message) bukan makna yang
terkandung di dalamnya. Hipersemiotika, dengan demikian adalah
sebuah mesin pembunuh makna, yang di dalamnya makna tidak
mendapat ruang hidup disebabkan hegemoni permainan bebas pada
tingkat permukaan tanda (penanda—semiotic killing machine).
Kelima, prinsip simulasi (simulation). Simulasi adalah penciptaan
realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai
refrensinya, dan kini menjelma menjadi semacam realitas kedua (second
reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri (simulacrum of
simulacrum). Dengan demikian, simulasi bukanlah sebuah bentuk
representasi. Bahasa atau tanda-tanda di dalamnya seakan-akan
merefleksikan realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas
artifisial (artificial reality), yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi
simulasi, sehingga pada tingkat tertentu realitas ini tampak (dipercaya)
sebagai sama nyatanya atau bahkan lebih nyata dari realitas yang
sesungguhnya. Dalam pengertian inilah, tanda melebur dengan realitas.
Artinya, lewat kecanggihan teknologi simulasi, antara tanda dan realitas
ini—sebagai ciri Hipersemiotika—dengan sangat mudah ditemukan di
dalam media-media digital seperti internet.
Keenam, prinsip diskontinuitas (discontinuity). Hipersemiotika
menekankan pada diskontinuitas semiotik ketimbang kontinuitas
semiotik. Semiotic continuum adalah durasi atau ekstensi yang
berkelanjutan dan homogen secara absolut, yang di dalamnya tidak
dimungkinkan adanya perbedaan tanda, kode, dan makna—sebuah
sekuensi beraturan semiotik yang sama sekali tanpa interupsi. Semiotic
discontinuum, sebaliknya, adalah durasi atau ekstensi yang penuh
interupsi, keterputusan (break), dan persimpangan (rupture), yang di
dalamnya tercipta sebuah ruang bagi perbedaan dan pemainan bebas
tanda kode-kode. Bahasa disarati oleh rimba raya kejutan-kejutan, yang
menggiring setiap orang untuk semakin menjauh dari sistem atau
struktur awal yang mengikat mereka. Kejutan-kejutan interupsi semiotik
seperti ini merupakan sebuh bagian kehidupan sehari-hari di dalam
dunia realitas yang dikuasai oleh komoditi dan tanda-tanda kapitalisme,
seperti pda semiotika MTV, yang di dalamnya makna menjadi realitas
marjinal disebabkan begitu hegemoniknya permainan pada tingkatan
permukaan penanda.
Dunia Hipersemiotika, kata Pilliang lebih lanjut, dengan demikian,
tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan oleh
Baudrillard (1983)—sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya
tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan bebas tanda-tanda
yang melampaui (hyper-sign)—sebuah tanda yang melampaui prinsip,
definisi, struktur, dan fungsinya sendiri. Dunia hipeRrealitas, dengan
14
demikian, dapat dipandang sebagai sebuah dunia perekayasaan (dalam
pengertian distorsi) realitas lewat hyper-signs, sedemikian rupa, sehingga
tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang
direpresentasikannya. HiperReaLitas menciptakan suatu kondisi, yang di
dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur
dengan masa kini; fakta bersimpang siur dengan kebenaran. Kategorikategori
kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak
berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.
C A T A T A N A K H I R
T e o r i C h a o s atau K em at i an S em i ot i k a
Dengan munculnya Hipersemiotika, lantas mengemuka
pertanyaan: Apakah Semiotika akan mengikuti jejak ―akhir‖ atau
―kematian‖ sebagai tema utama dalam dekade terakhir, seperti ―akhir
ideologi‖, ―akhir nasionalisme‖, ―akhir sejarah‖, ―akhir modernisme‖,
―kematian ilmu pengetahuan‖, ―kematian ilmu ekonomi‖, ―kematian
realitas‖, dan lain-lain?
Bila relasi Semiotika dan Hipersemiotika dilihat secara dikotomis,
maka yang berkembang adalah cara berpikir either/or—memilih salah
satu dari dua pilihan--, yang didalamnya kelahiran yang satu
mengakibatkan kematian yang lain. Dunia dilihat sebagai dua wajah
yang tidak bisa disatukan. Di satu pihak, dunia bahasa, tanda, simbol,
kode, dan konvensi sosial yng hidup di dalam stabilitas, kemapanan,
dan ketertutupannya, yang di dalamnya tidak ada pintu bagi perubahan,
perkembangan, dan transformasi, yang steril bagi permainan bahasa
dan permainan bebas tanda. Dipihak lain, dunia bahasa yang dibangun
oleh prinsip dekonstruksi, permainan bebas, perbedaan,
keanekaragaman, pembaharuan, trasnformasi, mutasi, pergantian
secara terus-menerus. Di antara dunia ini, seakan-akan terdapat sebuah
benteng pemisah, yang menyebabkan kedua dunia itu tidak bisa
dipertemukan, apalagi disatukan.
Amir Pilliang (2003) tidak melihatnya seperti itu. Menurutnya,
perbincangan mengenai Semiotika dan Hipersemiotika dapat dilihat
secara metaforis sebagai perbincangan mengenai relasi keberaturan
(order) dan ketidakberaturan (disorder) di dalam teori chaos.
Berdasarkan teori chaos, dunia tidak bisa dilihat secara parsial
dan dikotomis—sebagai sebuah keberaturan (order) semata, atau
ketidakberaturan (disorder) semata—melainkan kesalingberkaitan yang
mutual di antara kedua unsur tersebut. Chaos, adalah tingkah laku
yang sangat kompleks, irreguler dan random di dalam sebuah sistem
yang tidak bisa diprediksi di mana ia akan ditemukan di tempat
berikutnya, oleh karena ia bergerak secara acak, sehingga tidak akan
pernah muncul dalam keadaan yang sama untuk kedua kalinya.
Menurut Hogan (2005), banyak peneliti teori chaoplexity yang
menegaskan, bahwa banyak fenomena di dalam alam yang muncul,
15
menampilkan sifat-sifatnya yang tidak bisa diprediksi atau dimengerti
dengan hanya mengkaji beberapa bagian sistemnya. Akan tetapi, bila
keadaan acak tersebut diperhatikan dalam waktu yang cukup lama
dengan mempertimbangkan dimensi ruang waktu, maka akan
ditemukan juga keteraturan.
Chaos adalah keadaan antara: order dan disorder, di mana di
dalam setiap disorder selalu ada order, dan sebaliknya, di setiap order
selalu ada disorder. Sehingga, antara satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan. Tidak mungkin dunia dibangun hanya dari disorder
saja, atau order saja. Dunia dibangun berdasarkan prinsip
keanekaragaman, pluralitas, divesitas, multiplitas, dan perbedaanperbedaan
yang sangat kaya dan kompleks, tetapi sekaligus kesatuan,
keseimbangan, dan kesamaan tujuan.
Berdasarkan analogi dengan teori chaos ini, semiotik struktural
yang dikembangkan de Saussure dapat dilihat sebagai si pembangun
order dalam bahasa (lewat istilah-istilah kode, konvensi, keseimbangan);
sementara, Hipersemiotika yang dikembangkan oleh Derrida dan para
pendukung Postrukturalis lainnya, dapat dilihat sebagai si perusak
order, dengan perkataan lain si pembuat disorder dalam bahasa (lewat
istilah-istilah dekonstruksi, indeterminasi, differance, permainan bebas).
Selanjutnya, Amir Pilliang (2003) menyatakan, bahwa dunia
disorder yang ditawarkan oleh hipersemiotika adalah dunia yang
dipenuhi oleh enerji kegelisahan, gairah, hasrat, kehendak, jouissance,
dan ekstasi, yang mendorong bgi penjelajahan, pencarian, serta sintesissintesis
baru semiotis, sehingga menciptakan peluang kreativitas,
dinamisitas, dan produktivitas tanda. Akan tetapi, belajar dari teori
chaos, tidak mungkin dunia (tanda) hanya dibangun oleh prinsip
disorder itu semata. Selalu saja ada ruang, posisi, segmen, teritorial,
atau celah di dunia yang di dalamnya prinsip order (semiotika) menjadi
determinan.
Pilliang memberi contoh. Bayangkan, misalnya, sebuah cockpit
pesawat terbang, yang dibangun berdasarkan prinsip
hipersemiotika/disorder, apakah yang akan terjadi? Pesawat itu akan
hancur! Cockpit pesawat, sebaliknya, harus dibangun berdasarkan
prinsip semiotika konvensional/order, yang berpijak pada konvensi,
kode, dan makna-makna yang ketat dan memaksa (arbitary). Akan
tetapi, di bagian lain dari pesawat ada saja ruang, tempat, atau celah
yang di dalamnya dapat berlangsung disorder atau hipersemiotika,
misalnya seorang penumpang (mungkin seorang skizofrenik) yang
membaca majalah terbalik, dengan kode-kode yang sangat personal.
Dengan demikian, kelahiran hipersemiotika tidak berarti kematian
semiotika.
D A F T A R R U J U K A N
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2001). Strukturalisme Levi-Strauss; Mitos dan Karya
Sastra. Yogyakarta: Galang Press
Amir Pilliang, Yasraf (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra
16
-------------------------- (1999). Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan
-------------------------- (2003). Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga
Serangkai
Barthes, Roland (1967/1985). Element of Semiology. New York: Hill and Wang
---------------------(1976). Mythology. London: Paladin Book
Bauldrillard, Jean (1970/1998). The Consumer Society: Myths & Structures.
London: Sage Publications
------------------------ (1983). Simulations. New York: Semiotext(e).
Horgan, John (2005). The End of Science: Senjakala Ilmu Pengetahuan. Terj.
Djejen Zaenuddin dari The End of Science: Facing the Limits of Knowledge
in the Twilight of the Scientific Age. Jakarta: Mizan Publika.
Priyono, Herry B. (2002). Anthony Giddens; Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Ritzer, George (2005). Teori Sosial Posmodern. Terj. Muhammad Taufik dari: The
Postmodern Social Theory. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Smith, Philip (2001). Cultural Theory: An Introduction. Oxford & Massachusetts:
Blackwell Publishers
Sutrisno, Muji & Putranto, Hendar. Ed. (2005). Teori-teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius
Trifonas, Peter Pericles (2003). Barthes dan Imperium Tanda. Terj. Sigit
Djatmiko dari: Barthes and The Empire of Signs. Yogyakarta: Penerbit
Jendela
S E M I O T I K A:
TENTANG MEMBACA TANDA-TANDA
Oleh:
M. Syaom Barliana
Dosen Jurusan Pendidikan Arsitektur Universitas Pendidikan Indonesia
Dan Allah telah mengajari Adam menyebutkan
nama-nama (kemampuan berbahasa), lalu
mencerdaskan manusia lewat perantaraan
kalam (wacana).
C A T A T A N A W A L
D a r i B a h a s a ke K e b u d a y a a n
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi,
serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat.
Semiotika mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda, serta
relasi antar komponen-komponen tersebut dengan masyarakat
penggunanya. Semiotika, yang berasal dari bahasa Yunani, semion yang
berarti tanda (sign), bermula dari kajian tentang bahasa, dan kemudian
berkembang menjadi kajian kebudayaan, adalah akar dari
perkembangan gerakan intelektual dan filsafat strukturalisme dan
poststrukturalisme tersebut, yang merupakan bagian dari gemuruh
wacana kritis tahun 1950-1960-an yang mempertanyakan kembali
―kebenaran-kebenaran‖ universal dan tunggal yang dibangun oleh
rasionalisme, logosentrisme, positivisme, dan modernisme. Meskipun
demikian, Strukturalisme sendiri sesungguhnya masih menggunakan
pendekatan ―ilmiah‖ yang positivistik, yang kemudian dikritik dan
dikoreksi oleh Poststrukturalisme.
S E M I O T I K A & S T R U K T U R A L I S M E
D a r i S a u s s u r e k e L e v i – S t r a u s s
Pendekatan strukturalisme atas kebudayaan dikenal pada periode
tahun 1950-an, dengan dua tokoh utama yaitu Levi-Strauss dan Roland
Barthes, serta kemudian Charles Sanders Peirce dan Marshall Sahlins.
Namun demikian, akar pendekatan ini sesungguhnya mulai
dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure pada periode 1900-an. Oleh
sebab itu, kajian tentang semiotika ini pada dasarnya adalah sebuah
upaya untuk menelusuri kembali pemikiran-pemikiran para tokoh
tersebut.
2
Strukturalisme adalah aliran pemikiran yang secara ilmiah
(objektif, ketat, berjarak), mencari struktur terdalam dari realitas yang
tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan. Berikut ini beberapa
gagasan pokok Strukturalisme, yang dipelopori oleh Levi-Strauss dalam
mendekati masalah kebudayaan (Philip Smith, 2001).
Pertama, ―yang dalam‖ menjelaskan apa yang ada di permukaan.
Kehidupan sosial sekilas tampak kacau, tak beraturan, beragam, dan
tak dapat diprediksi, namun sesungguhnya hal itu hanya di
―permukaan‖. Di balik atau di dalamnya, terdapat mekanisme genaratif
yang kurang lebih konstan.
Kedua, ―yang dalam‖ itu terstruktur. Mekanisme generatif yang
ada di dalam itu tidak hanya eksis dan bersifat potensial, melainkan
juga terorganisasi dan berpola. Kaum strukturalis percaya, bahwa
struktur ―yang dalam‖ tersebut terdiri atas blok-blok unsure yang bila
dikombinasikan dapat dipakai untuk menjelaskan yang ada
dipermukaan.
Ketiga, kebudayaan itu seperti bahasa. Strukturalisme
dipengaruhi oleh linguistik struktural, yaitu bahasa dianggap sebagai
sistem yang terdiri atas kata-kata, bahkan unsur-unsur mikro seperti
suara. Relasi antar unsur ini memungkinkan bahasa menyampaikan
informasi untuk menandai (to signify). Pendekatan strukturalis atas
kebudayaan berfokus pada identifikasi unsur-unsur yang bersesuaian
dan bagaimana cara unsur-unsur itu diorganisasi untuk menyampaikan
pesan.
Keempat, pendekatan struktural cenderung mengurangi,
mengabaikan, dan bahkan menegasi peran subjek. Tekanannya ialah
pada peranan dan pengaruh sistem kultural daripada kesadaran dan
perilaku individual. Para strukturalis menentang eksistensialisme dan
fenomenogi yang dianggap terlalu individualistik dan kurang ilmiah,
serta dianggap melupakan peranan masyarakat dan kebudayaan yang
membentuk cara berfikir dan bertindak individu.
F e r d i n a n d d e S a u s s u r e
Ferdinand de Saussure (1857-1913), adalah ahli bahasa dari
Perancis yang bukan saja berjasa meletakkan dasar bagi pendekatan
strukturalis pada bahasa tapi juga pada kebudayaan. Roland Barthes
(1968/1985), Philip Smith (2001), menjelaskan bahwa Saussure melihat
bahasa sebagai terdiri dari imaji akustik (kata dan bunyi) yang terkait
dengan konsep (benda atau ide). Kaitan antara keduanya merupakan
hasil kesepakatan (convention). Hubungan antara penanda konsep
bersifat arbitrer (acak dan sewenang-wenang). Ia mengklaim bahasa
merupakan sebuah sistem tanda (signs) yang terlibat dalam sebuah
proses penandaan (signification) yang kompleks. Bahasa ini berfunggsi
sebagai ―pengontrasan‖ (difference). Misalnya, kata ―anjing‖ memiliki
makna karena kita dapat membedakan ―anjing‖ dari kucing, pohon, dan
sebagainya. Dengan demikian, kata ada sebagai bagian dari jaring
penanda-penanda (signifiers) yang disatukan dalam sebuah struktur
keberbedaan (structure of difference).
3
Saussure mengedepankan pendekatan sinkronik daripada
diakronik (kesejarahan) atas bahasa. Ini berarti ia ingin memetakan
sebuah sistem bahasa pada suatu momen tertentu, dan tidak mau
terjebak dalam penelusuran sejarah kata. Ia membedakan langue
(bahasa, language) dengan parole (ucapan, speech). Parole adalah apa
yang diucapkan orang pada saat dan masa tertentu, sedangkan langue
adalah struktur yang ada ―di dalam‖ –keseluruhan sistem tanda yang
mendasari parole. Fokus kajian Saussure adalah pada langue (struktur).
Dengan menekankan sifat arbitrer penandaan, logika, dan struktur
internal bahasa, ia ingin menunjukkan bahaw bahasa merupakan
fenomen yang sui generis. Artinya, bahasa itu otonom sebab makna
diproduksi dalam sistem linguistik melalui sebuah sistem pembedaan.
Berdasarkan hal tersebut, Amir Pilliang (2003), menyimpulkan
paling tidak ada enam prinsip semiotika struktural yang dikembangkan
oleh Saussure. Pertama, prinsip struktural. Saussure memandang relasi
tanda sebagai relasi struktural, yang di dalamnya tanda dilihat sebagai
sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material, yang oleh
Roland Barthes—sebagai penerus Saussure—disebut penanda (signifier)
dan sesuatu yang bersifat konseptual, yang disebut petanda (signified).
Dalam kaitan inilah, semiotika yang dikembangakan Saussure biasa
disebut semiotika struktural (structural semiotics), dan kecenderungan
ke arah pemikiran struktur ini disebut strukturalisme (structuralism).
Strukturalisme dalam semiotika tidak menaruh perhatian pada relasi
kausalitas antara suatu tanda dan causa prima-nya, antara bahasa dan
realitas yang direpresentasikannya, melainkan pada relasi secara total
unsur-unsur yang ada dalam sebuah sistem (bahasa). Sehingga, yang
diutamakan bukanlah unsur itu sendiri melainkan relasi diantara
unsur-unsur tersebut. Apa yang disebut makna tidak dapat ditemukan
sebagai bagian intrinsik dari sebuah unsur melainkan sebagai akibat
dari relasi total yang ada dengan unsur-unsur lain secara total.
Kedua, prinsip kesatuan (unity). Sebuah tanda merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang
bersifat konkrit atau material (suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang
petanda (konsep, ide, gagasan, makna), seperti dua sisi dari selembar
kertas yang tidak mungkin dipisahkan. Meskipun penanda yang abstrak
dan nonmaterial tersebut bukan bagian instrinsik dari sebuah penanda,
akan tetapi dianggap hadir (present) bersama-sama penandanya yang
konkrit, dan kehadiranya adalah absolut. Dengan demikian, ada
kecenderungan metafisik (metaphysics) pada konsep semiotika
Saussure, di mana sesuatu yang besifat non fisik (petanda, konsep,
makna, kebenaran) dianggap hadir di dalam sesuatu yang bersifat fisik
(penanda).
Ketiga, prinsip konvensional (conventional). Relasi struktural
antara sebuah penanda dan petanda, dalam hal ini, sangat bergantung
pada apa yang disebut konvensi (convention), yaitu kesepakatan sosial
tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Hanya
karena adanya konvensi yang memungkinkan tanda memiliki dimensi
sosial, dan dapat digunakan di dalam wacana komunikasi sosial. Sebab,
tanpa konvensi tidak akan ada komunitas bahasa, dan tidak ada
4
komunikasi. Tanda disebut konvensional, dalam pengertian, bahwa
relasi antara penanda dan petandanya disepakati sebagai sebuah
konvensi sosial.
Keempat, prinsip sinkronik (synchronic). Keterpakuan kepada
relasi struktural menempatkan semiotika struktural sebagai sebuah
kecenderungan kajian sinkronik (synchronic), yaitu kajian tanda sebagai
sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap
konstan, stabil, dan tidak berubah. Semiotika struktural, dengan
demikian, mengabaikan dinamika, perubahan, serta transformasi
bahasa itu sendiri di dalam masyarakat. Penekanan semiotika struktural
pada apa yang disebut Saussure langue (sistem bahasa), oleh beberapa
pemikir Post-strukturalis dianggap telah melupakannya pada sifat
berubah, dinamis, produktif, dan transformatif dari parole (penggunaan
bahasa secara aktual dalam masyarakat).
Kelima, prinsip representasi (representation). Semotika struktural
dapat dilihat sebagai sebuah bentuk representasi, dalam pengertian
dalam sebuah tanda memrepresentasikan sebuah realitas, yang menjadi
rujukan atau referensinya. Sebuah tanda bunga, misalnya, mewakili
sesuatu di dalam dunia realitas, sehingga hubungan tanda dan realitas
lebih bersifat mewakili. Dengan perkataan lain, keberadaan tanda sangat
bergantung pada keberadaan realitas yang direpresentasikannya.
Realitas mendahului sebuah tanda, dan menentukan bentuk dan
perwujudannya. Ketiadaan realitas berakibat logis pada ketiadaan tanda.
Keenam, prinsip kontinuitas (continuity). Ada kecenderungan pada
semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem tanda dan
penggunaannya secara sosial sebagai sebuah continuum, yaitu sebuah
relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa, yang di dalamnya
berbagai tindak penggunaan bahasa selalu secara berkelanjutan
mengacu pada sebuah sistem atau struktur yang tidak pernah berubah,
sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal
pada tanda, kode, dan makna. Perubahan kecil pada berbagai elemen
bahasa, sebagai akibat logis dari perubahan sosial itu sendiri.
Selanjutnya, menurut Saussure (Smith, 2001), analisis tentang
sistem linguistik dapat diterapkan pada teori kebudayaan. Ia
mengajukan kemungkinan untuk mengembangkan ilmu yang khusus
mempelajari peran penanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.
Gagasan inilah yang memungkinkan berkembangnya Strukturalisme.
C h a r l e s S a n d e r s P e i r c e
Sementara itu, Trifonas (2001), ketika membahas karya Barthes;
The Empire Sign (Imperium Tanda), menyatakan bahwa meski model
Saussurean lebih berpengaruh terhadap perkembangan strukturalisme
Perancis, filsuf Amerika Charles Sanders Peirce melakukan
konseptualisasi tentang tanda yang ia kembangkan secara lengkap.
Bagi Pierce, tanda adalah unsur bahasa atau citra yang tersusun
dari hubungan antar tanda itu sendiri, referen (objek yang diacu oleh
tanda), dasar representasi (sifat hubungan terhadap referen), dan
interpretan (hubungan eksperiensial antara penafsir dan makna). Tanda
mengacu kepada referen di dalam wilayah representasi yang mendasari
5
tanda sesuai fungsinya –apa yang diacunya, bagaimana, dan demi
tujuan apa. Makna tercipta ketika pembaca tanda men-dekode-kan
dasar representasi, yang dengan demikian menafsirkan perbedaan
antara tanda dengan pengalaman.
Meskipun terdapat perbedaan antara semiotika Saussurean
dengan Piercean, sebagaimana yang tersirat di atas, namun keduanya
berpendapat sama bahwa tanda tak mungkin memiliki hubungan
motivasional, kedekatan, analogis, atau relasional dengan sesuatu yang
ia representasikan. Tanda selalu bersifat arbiter, atau sebaliknya, ia
merepresentasikan dirinya sendiri, yang selanjutnya menentukan
apakah suatu tanda adalah hal yang disebut Pierce sebagai indeks, ikon,
dan simbol.
Indeks menunjuk pada makna langsung yang jelas dan bersifat
universal, ikon adalah tanda yang memiliki makna assosiatif atau
analogis, simbol adalah suatu tanda yang bermakna simbolik yang dapat
dimengerti hanya jika dipahami latar budayanya.
R o l a n d B a r t h e s
Barthes (1915-1985) merupakan tokoh intelektual dan filsuf
Perancis yang gagasannya berada pada fase peralihan dari
Strukturalisme ke Poststrukturalisme. Walau demikian, Barthes
bersama Lévi-Strauss adalah tokoh-tokoh awal yang mencetuskan faham
struktural dan meneliti sistem tanda dalam budaya. Menurutnya, ada
titik temu atau konvergensi antara linguistik (ilmu-ilmu bahasa) dan
penelitian budaya yang pada gilirannya akan memperkaya penelitian
semiologi (yaitu ilmu tentang praktek penandaan/signifying atau analisis
penetapan makna dalam budaya) yang ia kembangkan. Berikut adalah
beberapa tema konseptual dan terminologi yang ia pakai. (Barthes, 1973:
Barthes, 1981: Smith, 2001).
Pertama, langue/parole: distingsi yang dicetuskan oleh Saussure
ini tidak hanya dapat dipakai dalam fenomena linguistik tetapi juga
dalam konteks semiotik.
Kedua, signifer/signified: distingsi Sussurian tentang benda atau
konsep yang dihadirkan melalui ―yang ditandakan‖ (signified), dan tanda
yang menghadirkan (signifier/penanda) bagi Barthes merupakan sesuatu
yang esensial dalam sistem penandaan (sign systems).
Ketiga, syntagm dan system.. Syntagm mengacu pada cara
bagaimana tanda-tanda disusun melintasi waktu dalam satu susunan
(tata bahasa/grammatika). Oleh karenanya, setiap bagian dalam hal ini
mengambil nilai terhadap lawannya. System, mengacu pada
perlawanannya yang bisa diganti atau kadang dilihat sebagai paradigma.
Keempat, denotation dan connotation: keduanya mengacu pada
―tatanan makna kata‖ (order of signification). Yang pertama pada makna
kata lugas atau literal, dalam arti menjelaskn sesuatu sebagaimana
adanya (denotasi). Yang kedua menggunakan arti kiasan (konotasi), dan
dalam arti tertentu melibatkan semacam metabahasa. Denotasi berada
pada tingkatan yang lebih rendah.
Tema-tema tersebut disajikan dalam karyanya Mythologies (1957).
Buku ini merupakan pengantar terbaik untuk mengilustrasikan
6
pendekatan Barthes akan studi tanda-tanda (semiotik). Menurutnya,
tanda-tanda dalam budaya bukanlah sesuatu yang polos murni
(innocent), namun sebaliknya tanda-tanda justru memiliki kaitan yang
kompleks dengan reproduksi ideologi. Barthes mengangkat interpretasi
tentang berbagai fenomena dan menghubungkannya dengan tema yang
berbau Marxis, termasuk dengan kebenaran sejati, ideologi, dan
pemujaan berhala komoditas (commodity fetishism).
Contoh-contoh berikut adalah pembacaan tanda oleh teori
Barthes: (1) Mobil Citroën model terbaru dapat dipandang sebagai
sebuah katedral modern di mana orang datang untuk menyembah.
Barthes mencoba menarik perhatian kita tentang model ―pemujaan‖
baru ini serta bagaimana orang berinteraksi dengan komoditas; (2)
Sebuah sampul majalah Prancis menampilkan seorang berkulit hitam
dan berpakaian militer Prancis sedang memberi hormat pada bendera
Prancis. Iklan ini bisa dibaca sebagai sebuah pernyataan ideologis yang
mendukung kolonialisme, seolah-olah orang-orang yang tinggal di
wilayah jajahan Perancis (wilayah koloni) itu berbahagia melayani
Prancis; (3) Olah raga gulat (wrestling) ditafsirkan sebagai sejenis teater
atau tontonan untuk publik kelas pekerja. Penampilan di atas panggung
yang lebih eksplisit dilihat sebagai penyampaian sesuatu secara lebih
jujur dan autentik dan kurang borjuis dibandingkan tinju (boxing; (4)
Boneka anak-anak buatan pabrik (manufactured) dikontraskan dengan
boneka buatan tangan (hand-made). Boneka buatan tangan dilihat lebih
unggul dalam pengertian bahwa mereka produk organis yang sehat yang
bisa beradaptasi seiring dengan waktu dan ramah di tangan anak-anak.
Sebaliknya, boneka buatan pabrik tidak memiliki aura yang dimiliki
produk buatan tangan para seniman atau hand-made product. Boneka
buatan pabrik tampak lebih dingin dan merupakan produk klinis dari
pekerja yang teralienasi dan sistem teknologis.
Di akhir buku Mythologies-nya Barthes berusaha menarik
pelajaran dari fakta-fakta yang ada dan mencoba menempatkannya
dalam bingkai politis-filosofis. Menurutnya, kita perlu menghubungkan
studi abstrak tentang tanda-tanda (semiotik) dengan penalaran
sosiologis mengenai bagaimana bentuk-bentuk konkret dan fungsi
tanda-tanda abstrak tersebut. Hanya dengan demikian kita dapat
menghubungkan skema mitos dengan sejarah umum guna menjelaskan
bagaimana hal itu berdampak bagi kepentingan sebuah masyarakat
tertentu (misalnya: masyarakat kapitalis).
Aspek mendasar dari Mythologies ialah pembedaan penggunaan
makna denotasi dengan konotasi. Makna denotasi adalah makna literal,
sedangkan makna konotasi merujuk pada ekstramitologis. Dalam kasus
tentara berkulit hitam yang menghormati bendera merah-putih-biru di
atas, makna denotatifnya adalah seorang tentara koloni dalam seragam
pasukan Prancis menghormati bendera. Namun, makna konotatifnya
menurut Barthes adalah bahwa ―Perancis adalah sebuah kerajaan besar,
bahwa semua putranya tanpa kecuali harus mengabdi di bawah kibar
benderanya…‖
Buku Mythologies Barthes ini menjadi sangat penting karena dua
alasan: (1) membuka alur baru dengan menghubungkan semiotika dan
7
teori kritis, serta (2) melegitimasi studi budaya populer dalam dunia
akademik dan trend gaya hidup (life style) dalam masyarakat konsumer
(consumer society), yang dikaji lebih jauh oleh Marshall Shalins, Jean
Baudrillard, dan Umberto Eco.
Dalam karya-karyanya yang kemudian, Barthes akhir mulai
melampaui Strukturalisme ortodoks dan sekaligus menyiapkan jalan
bagi Poststrukturalisme. Fokus Barthes tua, dalam bukunya S/Z,
adalah soal kenikmatan indrawi dalam membaca (sensual pleasure of
reading) dan kekuatan aktif dari pembaca (active power of the reader).
Pada intinya, ia hendak mengatakan bahwa ―tidak ada makna definitif
dalam sebuah cerita (telenovela, mitos dan, sebagainya)‖. Kode-kode
yang ada selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan interpretasi.
Pembaca terlibat dalam menemukan makna sebuah teks. Contoh
sederhananya: buku yang sama bisa berarti lain ketika kita baca untuk
kedua kalinya. Mengapa? Karena kita membuat kaitan-kaitan yang
berbeda, baik dengan unsur-unsur di dalam teks meupun kejadiankejadian
di luar teks. Dalam S/Z, Barthes membuat pembedaan antara
readerly dan writerly. Readerly berarti sifat teks itu terbuka (openended),
sedangkan writerly berarti sifat teks itu cenderung kering dan
literal. Walau demikian, Barthes menekankan kekuatan aktivitas
pembacaan untuk mendapatkan makna beragam atas sebuah teks.
Karena itu, Bartheslah yang mengumandangkan ―kematian pengarang‖
(the death of the subject!)
Di akhir tahun 1970-an, Barthes bahkan menganjurkan
―hedonisme‖ sebagai strategi untuk membaca. Ia makin manjauh dari
Strukturalisme klasik dan mulai merambah Poststrukturalisme.
Bahkan, ia meninggalkan upaya untuk menyusun sebuah teori yang
koheren atau pendekatan sistematik, dan kemudian memakai
pendekatan aforistik seperti Nietzsche. Ia juga mengemukakan konsep
jouissance—kata Prancis yang mencakup pengertian perasaan ekstasis
dan perasaan seksual. Dalam bukunya The Pleasure of the Text (1973),
Barthes melihat bahwa teks itu membawa serta suatu kenikmatan yang
dekat dengan seks. Lewat bukunya ini, Barthes sekaligus menarik
perhatian kita akan adanya fusi (peleburan) unsur-unsur intelektual,
badaniah, dan emosional—tema yang kelak terbukti sentral dalam upaya
para pemikir post-strukturalis untuk menjungkirkan dan
mempertanyakan nalar.
M a r s h a l l S h a l i n s
Awalnya, Marshall Shalins adalah seorang antropolog materialis.
Kelak ia memberi perhatian lebih pada teori kebudayaan yang sarat
dengan pengaruh Strukturalisme kultural. Culture and Practical Reason
(1976) mungkin adalah bukunya yang paling berpengaruh dalam ranah
kajiannya. Menurut Philip Smith (2001), dalam bukunya ini, Shalins
menantang gagasan Marx tentang kebudayaan dengan mengatakan
bahwa kode-kode budaya tertentu membentuk preferensi konsumen;
dan dengan demikian, pada gilirannya mempengaruhi bentuk produksi
ekonomi. Ini berarti kebudayaanlah yang menentukan bentuk
kehidupan ekonomi dan bukan sebaliknya sebagaimana diklaim oleh
8
Marxisme. Menurutnya, tatanan budaya (cultural order)
diwujudnyatakan dalam tatanan benda-benda (order of goods). Produksi
adalah reproduksi kebudayaan dalam sistem benda-benda (system of
objects). Dengan kata lain, barang-barang yang dikonsumsi sebenarnya
merupakan penanda (signifier) dalam sistem kultural dan sosial, dan
sistem ekonomi kemudian merespons kode tersebut dengan
memproduksi signifier (lain) lagi.
Contohnya, di Amerika daging dikodekan oleh sistem tanda yang
melambangkan kekuatan, kejantanan, dan sebagainya. Kode budaya ini
selanjutnya menimbulkan permintaan (demand). Tetapi, pertanyaan
kritis yang diajukan Sahlin: Mengapa yang diproduksi secara besarbesaran
adalah daging sapi (beef), dan bukan daging kuda atau daging
anjing? Jawabannya, menurut Sahlin, terletak dalam kode budaya yang
disebutnya sebagai ―Sistem Daging Amerika.‖ Tabu terbesar bagi
manusia adalah kanibalisme, maka kode biner melihat daging hewan
lebih disukai manusia sebagai bahan makanan. Dalam dunia binatang,
kode biner itu lantas diterjemahkan dengan cara memilah-milah hewan
yang mirip manusia dan yang kurang mirip. Daging sapi dipilih karena
sapi jauh dari keserupaan dengan manusia. Sementara itu, kuda atau
anjing dalam masyarakat Amerika dilihat lebih dekat denagn manusia
(dijadikan binatang peliharaan atau Pet, diberi nama, dan sebagainya).
C l a u d e L e v i – S tr a u s s
Levi-Strauss, filsuf berdarah Yahudi kelahiran Belgia (1914) ini
dikenal sebagai Bapak Strukturalisme, karena dialah yang pertama kali
menggunakan pendekatan linguistik struktural dalam kajian tentang
budaya, yang pemikirannya dipengaruhi oleh Marx, Freud, dan ilmu
geologi (Philip Smith, 2001). Budaya adalah bahasa, karena menurut
Strauss, material yang digunakan dalam membangun bahasa pada
dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan material yang
membentuk kebudayaan. Material itu, adalah relasi-relasi logis, oposisi,
korelasi, dan sebagainya. Baik bahasa maupun kebudayaan merupakan
hasil pikiran manusia, sehingga ada korelasi di antara keduanya.
Disamping itu, menurut Ahimsa Putra (2001), Levi-Strauss
mengemukakan beberapa asumsi yang mendasari penggunaan
paradigma (linguistik) struktural dalam menganalisis kebudayaan.
Pertama, beberapa aktivitas sosial seperti mitos/dongeng, ritualritual,
sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, dan
sebagainya, secara formal dapat dilihat sebagai bahasa, yakni sebagai
tanda dan simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Ada keteraturan
(order) dan keterulangan (regularities) dalam fenomena-fenomena
tersebut.
Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa dalam diri manusia
secara genetis terdapat kemampuan structuring, menyusun suatu
struktur tertentu di hadapan gejala-gejala yang dihadapinya. Gejalagejala
itu mungkin membentuk suatu struktur yang disebut struktur
permukaan (surface structure). Tugas seorang strukturalis adalah
menyingkap struktur dalam (deep structure) dari struktur permukaan
tersebut.
9
Ketiga, sebagaimana makna sebuah kata ditentukan oleh relasirelasinya
dengan kata-kata lain pada suatu titik waktu tertentu
(sinkronis), para strukturalis percaya bahwa relasi-relasi suatu fenomena
budaya dengan fenomena-fenomena lain pada suatu titik waktu
tertentulah yang menentukan makna fenomena tersebut.
Keempat, relasi-relasi pada struktur dalam (deep structure) dapat
diekstrak dan disederhanakan menjadi oposisi biner (binary opposition),
misalnya ―menikah >< tidak menikah‖, ―siang >< malam‖, ‖hitam ><
putih‖, ‖besar >< kecil‖, dan sebagainya.
Kelima, sebagaimana orang menerapkan hukum-hukum bahasa
tanpa sadar, demikian pula orang menjalankan ―hukum-hukum‖ dalam
hidup sosial-kemasyarakatan tanpa sadar.
Menurut Philip Smith (2001) lebih jauh, pengaruh pendekatan
Lévi-Straussian mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1960-an,
yang ditandai dengan terbitnya The Savvage Mind (la pensée Sauvage).
Akan tetapi di akhir tahun 1960-an, terutama dengan kasus Perang
Vietnam dan gerakan mahasiswa Paris tahun 1968, mulai dirasakan
bahwa strukturalisme tidak dapat menjawab persoalan sehingga
dibutuhkan teori yang lain. Muncullah kemudian teori yang akan
memperhitungkan peran kekuasaan (power), diskursus, dan sejarah
dalam kebudayaan. Pada awal tahun 1970-an, orang misalnya mulai
berpaling pada Marxisme struktural dari Althusser. Berbeda dengan
konsep pikiran kolektif yang mengambang (free-floating collective mind)
dari Lévi-Strauss, orang kemudian lebih memperhatikan subjek pelaku
tindakan (agency) seperti dinyatakan oleh Giddens (Priyono, 2001),
institusi, dan sejarah dalam konstruksi dan penyebaran sistem
semiotika. Karya Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (1977),
misalnya, berupaya menyatukan tindakan, kekuasan, dan perubahan
dalam kerangka pemikiran strukturalis dan kemudian post-strukturalis
tentang ranah budaya.
HIPERSEMIOTI KA & POSTSTRUKTURALISME
U p a y a M e l a m p a u i O p o s i s i B i n e r
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, semiotika atau semiologi
adalah aliran pemikiran yang bermula dari kajian linguistik, dan
kemudian berkembang menjadi kajian tentang kebudayaan. Oleh sebab
itu, semiotika banyak digunakan sebagai pisau analisis dalam studi
sastra, senirupa, komunikasi dan iklan, mode dan fashion, arsitektur,
gaya hidup, dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan pemikiran
Poststrukturalisme yang berjalin berkelindan dengan Postmodernisme,
semiotika dipandang tidak lagi memadai untuk menjelaskan berbagai
fenomena kebudayaan –yang dalam kultur kapitalisme, konsumerisme,
komunikasi, informasi, pasar, komoditas, masyarakat konsumer,
kebudayaan pop, dunia fantasi- melampaui realitas (hyperrealitas).
Karena itu, muncul terminologi baru (neologi), yang disebut
Hipersemiotika (hypersemiotics).
Sebelum menelaah apa yang dimaksud dengan Hipersemiotika,
lebih dulu akan dikaji gerakan intelektual Poststrukturalisme yang
10
merupakan basis bagi penciptaan analisis Hipersemiotika. Menurut Amir
Pilliang (2003), Hipersemiotika tidak bisa dipisahkan dari
Poststrukturalisme, disebabkan ada beberapa persamaan konsep kunci
yang digunakan di dalamnya. Perbedaan keduanya terletak pada
penekanan. Penggunaan awalan hiper pada Hipersemiotika dengan
sendirinya menekankan aspek-aspek melampaui atau berlebihan pada
wacana semiotika, yang di dalam Postrukturalisme tidak
diperbincangkan secara khusus. Apa yang dicoba dilakukan adalah
melihat keterkaitan antara Hipersemiotika sebagai sebuah teori tanda,
dan Hiperealitas sebagai teori realitas, serta bagaimana peran tanda
dalam mengkonstruksi dunia tersebut.
Poststrukturalisme dipandang sebagai kelanjutan, perbaikan, dan
perkembangan, daripada sebagai pemikiran yang bertolakbelakang
dengan Strukturalisme. Oleh sebab itu, agak sulit untuk menarik garis
pembatas yang tegas di antara keduanya, bahkan pemikir yang sama
seperti Roland Barthes pun digolongkan sebagai Strukturalis (pada
awalnya, masa muda) dan kemudian Poststrukturalis (pada
perkembangan terakhir, masa tuanya). Selain Barthes, para penggagas
Poststrukturalisme yang terkenal antara lain; Michael Foucault,
Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Felix
Guattari.
Disamping itu, menurut Philip Smith (2001), kesulitan untuk
menegaskan batas antara Strukturalisme dan Poststrukturalisme juga
disebabkan oleh: (1) tidak adanya Poststrukturalisme tunggal, yang ada
hanyalah pluralitas (keanekaan) pendekatan yang bernaung di bawah
terminologi itu, dan karena itu agak sulit digeneralisasi; (2) publikasi
dan diskusi Poststrukturalisme hampir selalu dikacaukan dengan upaya
simultan dalam mendefinisikan Postmodernisme dan Postmodern, dan
karena itu terdapat kekecauan terminologi.
Terlepas dari persoalan itu, Philip Smith (2001) lebih lanjut
menyatakan, bahwa di antara Strukturalisme dan Poststrukturalisme
dapat ditemukan titik pertemuan dan perbedaannya. Persamaannya,
baik Strukturalisme maupun Poststrukturalisme menyepakati soal
kosakata budaya, kematian subjek (the death of the subject), serta
menggunakan bahasa (linguistik) dan model-modal tekstual dari budaya.
Sementara itu, hal pokok yang menjadi perbedaan antara
Strukturalisme dan Poststrukturalisme adalah dalam epistemologi
(metode penyelidikan pengetahuan dan kebenaran), konsep tentang
kekuasaan, dan konsep tentang sejarah. Strukturalis mempromosikan
pandangan bahwa analisis ilmiah yang dilakukannya merupakan
pembacaan objektif, membuka kebenaran tunggal, dan sekaligus
kebenaran universal, dengan menerapkan pendekatan yang ―ilmiah‖.
Bagi kalangan Postsrukturalis, pandangan ini menyesatkan, oleh sebab
itu mereka melakukan kritik yang berkisar pada sejumlah pokok sebagai
berikut.
Pertama, lokasi sosial dan konstruksi historis dari si pengamat
dan pengetahuan yang mereka miliki berperan penting dalam
pembentukan pengertian dan teori. Berkaitan dengan hal itu, para
pemikir Poststrukturalis mengusulkan agar analisis memusatkan
11
perhatian pada usaha-usaha eksplorasi kondisi-kondisi sosial yang
melahirkan pengetahuan serta dampak dari klaim-klaim pengetahuan
dan kebenaran dalam setting sosial tertentu.
Kedua, kaum Poststrukturalis berargumen bahwa kebudayaankebudayaan
dan teks-teks bisa ditafsirkan dengan beraneka macam cara
dan mampu menghasilkan pembacaan yang beragam—tidak selalu
seragam, dan beberapa diantaranya mungkin saling bertentangan.
Ketiga, sementara kaum Strukturalis menekankan kualitas
matematis yang kering dari sistem-sistem kebudayaan, kaum
Poststrukturalis merayakan hasrat, kesenangan, tubuh, dan permainan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengamatan atas
kebudayaan maupun tulisan-tulisan teoretis tentangnya.
Keempat, soal kekuasaan (power). Kaum Strukturalis melihat
bahwa budaya dan struktur sosial bukanlah produk dari kekuasaan
tetapi lebih merupakan hasil dari ikatan sosial, kebutuhan-kebutuhan
manusia, dan faktor ketidaksadaran kolektif yang bersifat transendental.
Meskipun pemikiran Poststrukturalis tentang budaya bisa dilihat
sebagai bangunan yang berfondasikan pengertian Marxis tentang budaya
sebagai produk dari kekuasan, namun Poststrukturalis sekaligus juga
menolak metanaratif dari Marxisme. Kemudian, yang mau ditunjukkan
oleh para pemikir Poststrukturalis adalah keberlimpahan dan tarikmenarik
antara beraneka macam diskursus dan struktur
kekuasaan/pengetahuan.
Kelima, sementara itu, menyangkut sejarah, pemikiran
Strukturalis cenderung menekankan sejarah sebagai sesuatu yang bisa
dketahui dan bersifat linear, sementara kaum Poststrukturalis berpikir
bahwa sejarah berhubungan dengan pandangan kekuasaan dan
kebenaran. Mereka menolak konsep metanaratif seperti emansipasi dan
kemajuan (the idea of progress). Menurut mereka, jantung dari sejarah
adalah hakikatnya yang chaotic (kacau), dan bukan kemampuannya
untuk menyingkap rencana dan tatanan. Menimba inspirasi dari
Nietzsche, ide-ide deterministis seperti tahapan-tahapan historis yang
niscaya dalam sejarah (contoh: feodalisme, kapitalisme) diganti dengan
keterputusan (discontinuity), patahan (rupture), kontingensi, dan
kebetulan (chance), dalam pembentukan dinamik kultural dan
institusional.
Selanjutnya, berkaitan dengan pembahasan hipersemiotika, Amir
Pilliang (2003) menjelaskan bahwa hipersemiotika, yang berarti
melampaui batas semiotika, digunakan untuk menjelaskan sebuah
kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir —khususnya
pemikir semiotika mutakhir— yang berupaya melampaui batas oposisi
biner yang secara konvensional dibangun antara
struktur/perkembangan, konvensi/perubahan, fisika/metafisika,
sinkronik/diakronik, penanda/petanda, langue/parole, tanda/realitas.
Prinsip oposisi biner ini tampaknya sangat sentral dalam pemikiran
struktural mengenai semiotika. Hipersemiotika, dalam hal ini, mencoba
membongkar tembok oposisi biner ini, dan mengembangkan beberapa
prinsip, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
12
Pertama, prinsip perubahan dan transformasi. Hipersemiotika
menekankan pada perubahan tanda ketimbang struktur tanda, produksi
tanda-tanda ketimbang reproduksi kode dan makna, dinamika
pembiakan tanda yang tak berhingga ketimbang relasi yang tetap.
Reproduksi semiotik (semiotic reproduction) adalah relasi, yang di
dalamnya tanda-tanda (penanda dan petanda/bentuk dan makna) selalu
diproduksi ulang dalam bentuk yang sama oleh mesin reproduksi
semiotik (semiotic reproduction machine). Artinya, semiotika semacam ini
sangat menggantungkan dirinya pada konvensi di kanon-kanon.
Produksi semiotik (semiotic production) sebagai ciri Hipersemiotika,
sebaliknya, adalah sebuah relasi yang di dalamnya tanda-tanda tidak
lagi menggantungkan dirinya pada konvensi, kode, atau makna yang
ada, dan membiak tanpa btas dan tanpa pembatas lewat sebuah mesin
produksi semiotik (semiotic production machine) yang terus berputar
tanpa henti.
Kedua, prinsip imanensi (immanency). Hipersemiotika
menekankan sifat imanensi sebuah tanda ketimbang sifat
transendensinya, permainan permukaan material (fisik) ketimbang
kedalaman (metafisik), permainan penanda ketimbang petanda,
pengolahan bentuk ketimbang ketetapan makna, permainan kulit
ketimbang kepastian isi (content), penjelajahan jagad raya simulasi
ketimbang kanon-kanon representasi. Ketika rantai yang
menghubungkan penanda atau petanda, konsep atau makna dalam
sebuah relasi pertandaan diputuskan, maka yang terbentuk adalah
sebuah tanda yang tidak lagi menggantungkan dirinya pada rujukan
realitas, dan mengembangakan dirinya di dalam sebuah medan
permainan pure simulacrum, atau pure immanence, yang membentuk
sebuah dunia hiperealitas. Dengan demikian, ada kecenderungan
postmetafisik (post-metaphsysics) pada Hipersemiotika, dalam pengertian
bahwa yang dirayakan di dalamnya adalah permainan bebas penanda
(signifier) yang bersifat permukaan, dan melihat keberadaan petanda
(yang metafsik) hanya sebagai alibi saja dari permainan tersebut.
Ketiga, prinsip perbedaan atau pembedaan (difference).
Hipersemiotika menekankan perbedaan (difference) ketimbang identitas,
konvensi, dan kode sosial. Dalam hal ini, harus dibedakan antara
konsep perbedaan dan kebaruan (newness). Hipersemiotika bukanlah
mesin kebaruan (progress machine) seperti mesin modernisme, yang
mengharuskan adanya kebaruan, yaitu sesuatu yang belum pernah ada
sebelumnya. Ia, sebaliknya, adalah mesin pembedaan (difference
machine), yang raison d’erte-nya adalah memproduksi jagad raya
perbedaan-perbedaan tanda, yang tidak selalu harus baru. Sehingga,
penjelajahan menelusuri puing-puing tanda masa lalu (pastiche) sangat
dirayakan di dalamnya, dalam rangka menciptakan relasi-relasi dialogis
antarwaktu dan antar-ruang (ruang-waktu masa lalu/masa kini/ masa
depan) di dalam sebuah wadah ruang yang sama.
Keempat, prinsip permainan bahasa (language game).
Hipersemiotika menekankan permainan pada tingkat parole ketimbang
langue, event ketimbang sistem, reinterpretasi terus-menerus tanda
ketimbang pembangunan ulang struktur. Hipersemiotika, dengan
13
demikian, adalah mesin permainan bahasa (game machine), yang
memproduksi secara terus-menerus rimba raya permainan tanda-tanda
sebagai komoditi, tanpa merasa perlu mengikatkan diri pada sebuah
sistem yang tetap, semata dalam rangka menghasilkan keterpesonaan,
kesenangan, gairah, dan ekstasi dalam bermain itu sendiri. Yang
dipentingkan di dalamnya adalah pesona dalam tindakan (event)
produksi tanda itu sendiri (ekstasi komunikasi atau dalam bahasa
Marshall McLuhan, medium is the message) bukan makna yang
terkandung di dalamnya. Hipersemiotika, dengan demikian adalah
sebuah mesin pembunuh makna, yang di dalamnya makna tidak
mendapat ruang hidup disebabkan hegemoni permainan bebas pada
tingkat permukaan tanda (penanda—semiotic killing machine).
Kelima, prinsip simulasi (simulation). Simulasi adalah penciptaan
realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai
refrensinya, dan kini menjelma menjadi semacam realitas kedua (second
reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri (simulacrum of
simulacrum). Dengan demikian, simulasi bukanlah sebuah bentuk
representasi. Bahasa atau tanda-tanda di dalamnya seakan-akan
merefleksikan realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas
artifisial (artificial reality), yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi
simulasi, sehingga pada tingkat tertentu realitas ini tampak (dipercaya)
sebagai sama nyatanya atau bahkan lebih nyata dari realitas yang
sesungguhnya. Dalam pengertian inilah, tanda melebur dengan realitas.
Artinya, lewat kecanggihan teknologi simulasi, antara tanda dan realitas
ini—sebagai ciri Hipersemiotika—dengan sangat mudah ditemukan di
dalam media-media digital seperti internet.
Keenam, prinsip diskontinuitas (discontinuity). Hipersemiotika
menekankan pada diskontinuitas semiotik ketimbang kontinuitas
semiotik. Semiotic continuum adalah durasi atau ekstensi yang
berkelanjutan dan homogen secara absolut, yang di dalamnya tidak
dimungkinkan adanya perbedaan tanda, kode, dan makna—sebuah
sekuensi beraturan semiotik yang sama sekali tanpa interupsi. Semiotic
discontinuum, sebaliknya, adalah durasi atau ekstensi yang penuh
interupsi, keterputusan (break), dan persimpangan (rupture), yang di
dalamnya tercipta sebuah ruang bagi perbedaan dan pemainan bebas
tanda kode-kode. Bahasa disarati oleh rimba raya kejutan-kejutan, yang
menggiring setiap orang untuk semakin menjauh dari sistem atau
struktur awal yang mengikat mereka. Kejutan-kejutan interupsi semiotik
seperti ini merupakan sebuh bagian kehidupan sehari-hari di dalam
dunia realitas yang dikuasai oleh komoditi dan tanda-tanda kapitalisme,
seperti pda semiotika MTV, yang di dalamnya makna menjadi realitas
marjinal disebabkan begitu hegemoniknya permainan pada tingkatan
permukaan penanda.
Dunia Hipersemiotika, kata Pilliang lebih lanjut, dengan demikian,
tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan oleh
Baudrillard (1983)—sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya
tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan bebas tanda-tanda
yang melampaui (hyper-sign)—sebuah tanda yang melampaui prinsip,
definisi, struktur, dan fungsinya sendiri. Dunia hipeRrealitas, dengan
14
demikian, dapat dipandang sebagai sebuah dunia perekayasaan (dalam
pengertian distorsi) realitas lewat hyper-signs, sedemikian rupa, sehingga
tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang
direpresentasikannya. HiperReaLitas menciptakan suatu kondisi, yang di
dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur
dengan masa kini; fakta bersimpang siur dengan kebenaran. Kategorikategori
kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak
berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.
C A T A T A N A K H I R
T e o r i C h a o s atau K em at i an S em i ot i k a
Dengan munculnya Hipersemiotika, lantas mengemuka
pertanyaan: Apakah Semiotika akan mengikuti jejak ―akhir‖ atau
―kematian‖ sebagai tema utama dalam dekade terakhir, seperti ―akhir
ideologi‖, ―akhir nasionalisme‖, ―akhir sejarah‖, ―akhir modernisme‖,
―kematian ilmu pengetahuan‖, ―kematian ilmu ekonomi‖, ―kematian
realitas‖, dan lain-lain?
Bila relasi Semiotika dan Hipersemiotika dilihat secara dikotomis,
maka yang berkembang adalah cara berpikir either/or—memilih salah
satu dari dua pilihan--, yang didalamnya kelahiran yang satu
mengakibatkan kematian yang lain. Dunia dilihat sebagai dua wajah
yang tidak bisa disatukan. Di satu pihak, dunia bahasa, tanda, simbol,
kode, dan konvensi sosial yng hidup di dalam stabilitas, kemapanan,
dan ketertutupannya, yang di dalamnya tidak ada pintu bagi perubahan,
perkembangan, dan transformasi, yang steril bagi permainan bahasa
dan permainan bebas tanda. Dipihak lain, dunia bahasa yang dibangun
oleh prinsip dekonstruksi, permainan bebas, perbedaan,
keanekaragaman, pembaharuan, trasnformasi, mutasi, pergantian
secara terus-menerus. Di antara dunia ini, seakan-akan terdapat sebuah
benteng pemisah, yang menyebabkan kedua dunia itu tidak bisa
dipertemukan, apalagi disatukan.
Amir Pilliang (2003) tidak melihatnya seperti itu. Menurutnya,
perbincangan mengenai Semiotika dan Hipersemiotika dapat dilihat
secara metaforis sebagai perbincangan mengenai relasi keberaturan
(order) dan ketidakberaturan (disorder) di dalam teori chaos.
Berdasarkan teori chaos, dunia tidak bisa dilihat secara parsial
dan dikotomis—sebagai sebuah keberaturan (order) semata, atau
ketidakberaturan (disorder) semata—melainkan kesalingberkaitan yang
mutual di antara kedua unsur tersebut. Chaos, adalah tingkah laku
yang sangat kompleks, irreguler dan random di dalam sebuah sistem
yang tidak bisa diprediksi di mana ia akan ditemukan di tempat
berikutnya, oleh karena ia bergerak secara acak, sehingga tidak akan
pernah muncul dalam keadaan yang sama untuk kedua kalinya.
Menurut Hogan (2005), banyak peneliti teori chaoplexity yang
menegaskan, bahwa banyak fenomena di dalam alam yang muncul,
15
menampilkan sifat-sifatnya yang tidak bisa diprediksi atau dimengerti
dengan hanya mengkaji beberapa bagian sistemnya. Akan tetapi, bila
keadaan acak tersebut diperhatikan dalam waktu yang cukup lama
dengan mempertimbangkan dimensi ruang waktu, maka akan
ditemukan juga keteraturan.
Chaos adalah keadaan antara: order dan disorder, di mana di
dalam setiap disorder selalu ada order, dan sebaliknya, di setiap order
selalu ada disorder. Sehingga, antara satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan. Tidak mungkin dunia dibangun hanya dari disorder
saja, atau order saja. Dunia dibangun berdasarkan prinsip
keanekaragaman, pluralitas, divesitas, multiplitas, dan perbedaanperbedaan
yang sangat kaya dan kompleks, tetapi sekaligus kesatuan,
keseimbangan, dan kesamaan tujuan.
Berdasarkan analogi dengan teori chaos ini, semiotik struktural
yang dikembangkan de Saussure dapat dilihat sebagai si pembangun
order dalam bahasa (lewat istilah-istilah kode, konvensi, keseimbangan);
sementara, Hipersemiotika yang dikembangkan oleh Derrida dan para
pendukung Postrukturalis lainnya, dapat dilihat sebagai si perusak
order, dengan perkataan lain si pembuat disorder dalam bahasa (lewat
istilah-istilah dekonstruksi, indeterminasi, differance, permainan bebas).
Selanjutnya, Amir Pilliang (2003) menyatakan, bahwa dunia
disorder yang ditawarkan oleh hipersemiotika adalah dunia yang
dipenuhi oleh enerji kegelisahan, gairah, hasrat, kehendak, jouissance,
dan ekstasi, yang mendorong bgi penjelajahan, pencarian, serta sintesissintesis
baru semiotis, sehingga menciptakan peluang kreativitas,
dinamisitas, dan produktivitas tanda. Akan tetapi, belajar dari teori
chaos, tidak mungkin dunia (tanda) hanya dibangun oleh prinsip
disorder itu semata. Selalu saja ada ruang, posisi, segmen, teritorial,
atau celah di dunia yang di dalamnya prinsip order (semiotika) menjadi
determinan.
Pilliang memberi contoh. Bayangkan, misalnya, sebuah cockpit
pesawat terbang, yang dibangun berdasarkan prinsip
hipersemiotika/disorder, apakah yang akan terjadi? Pesawat itu akan
hancur! Cockpit pesawat, sebaliknya, harus dibangun berdasarkan
prinsip semiotika konvensional/order, yang berpijak pada konvensi,
kode, dan makna-makna yang ketat dan memaksa (arbitary). Akan
tetapi, di bagian lain dari pesawat ada saja ruang, tempat, atau celah
yang di dalamnya dapat berlangsung disorder atau hipersemiotika,
misalnya seorang penumpang (mungkin seorang skizofrenik) yang
membaca majalah terbalik, dengan kode-kode yang sangat personal.
Dengan demikian, kelahiran hipersemiotika tidak berarti kematian
semiotika.
D A F T A R R U J U K A N
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2001). Strukturalisme Levi-Strauss; Mitos dan Karya
Sastra. Yogyakarta: Galang Press
Amir Pilliang, Yasraf (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra
16
-------------------------- (1999). Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan
-------------------------- (2003). Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga
Serangkai
Barthes, Roland (1967/1985). Element of Semiology. New York: Hill and Wang
---------------------(1976). Mythology. London: Paladin Book
Bauldrillard, Jean (1970/1998). The Consumer Society: Myths & Structures.
London: Sage Publications
------------------------ (1983). Simulations. New York: Semiotext(e).
Horgan, John (2005). The End of Science: Senjakala Ilmu Pengetahuan. Terj.
Djejen Zaenuddin dari The End of Science: Facing the Limits of Knowledge
in the Twilight of the Scientific Age. Jakarta: Mizan Publika.
Priyono, Herry B. (2002). Anthony Giddens; Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Ritzer, George (2005). Teori Sosial Posmodern. Terj. Muhammad Taufik dari: The
Postmodern Social Theory. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Smith, Philip (2001). Cultural Theory: An Introduction. Oxford & Massachusetts:
Blackwell Publishers
Sutrisno, Muji & Putranto, Hendar. Ed. (2005). Teori-teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius
Trifonas, Peter Pericles (2003). Barthes dan Imperium Tanda. Terj. Sigit
Djatmiko dari: Barthes and The Empire of Signs. Yogyakarta: Penerbit
Jendela
Langganan:
Postingan (Atom)