Karya
sastra merupakan struktur yang kompleks sehingga untuk memahami sebuah
karya sastra diperlukan penganalisisan. Penganalisisan tersebut
merupakan usaha secara sadar untuk menangkap dan memberi muatan makna
kepada teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda. Seperti yang
dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda,
dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut
makna (Nurgiyantoro, 2002: 39). Bahasa tak lain adalah media dalam karya
sastra. Karena itu karya sastra merupakan sebuah struktur ketandaan
yang bermakna (Kaswadi, 2006: 123). Tidak terkecuali pada teks sastra
yang berbentuk puisi, maka untuk pemahaman makna pada puisi menggunakan
kajian struktural yang tidak dapat dipisahkan dengann kajian semiotik
yang mengkaji tanda-tanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo
(1987: 108) yang mengemukakan bahwa analisis struktural tidak dapat
dipisahkan dengan analisis semiotik. Karena semiotik dan strukturalisme
adalah prosedur formalisasi dan klasifikasi bersama-sama. Keduanya
memahami keseluruhan kultur sebagai sistem komunikasi dan sistem tanda
dan berupaya kearah penyingkapan aturan-aturan yang mengikat. Analisis
tanda sebagai hasil proses-proses sosial menuju kepada sebuah
pembongkaran struktur-struktur dalam yang mengemudikan setiap komunikasi
(Stiegler, 2001). Hal ini menandakan bahwa sistem tanda dan konvensinya
merupakan jalan dalam pembongkaran makna, tanpa memperhatikan sistem
tanda maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara
keseluruhan.
Munculnya
kajian struktural semiotik ini sebagai akibat ketidakpuasan terhadap
kajian struktural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsik,
semiotik memandang karya sastra memiliki sistem tersendiri. Karena itu,
muncul kajian struktural semiotik untuk mengkaji aspek-aspek struktur
dengan tanda-tanda (Endraswara, 2003: 64) sehingga dapat dikatakan bahwa
kajian semiotik ini merupakan lanjutan dari strukturalisme.
Menurut
Hawkes dalam Najid (2003: 42) Strukturalisme adalah cara berpikir
tentang dunia yang menekankan pada persepsi struktur dan deskripsi
struktur. Jadi, yang menjadi konsep dasar teori strukturalisme adalah
adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan
suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan
yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan
(Pradopo dkk dalam Jabrohim, 2003: 54). Anggapan teori strukturalisme
yang memandang bahwa struktur itu harus lepas dari unsur lain
memunculkan adanya kajian semiotik. Karena kajian semiotik juga tidak
dapat sepenuhnya lepas dari struktur maka kajian ini akhirnya disebut
dengan kajian struktural semiotik.
Semiotik
sendiri berasal dari kata Yunani “semeion”, yang berarti tanda.
Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistam tanda dan
proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993: 1). Lebih
lanjut Preminger (Pradopo, 2003: 19) semiotik itu mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang mewakili
sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan,
gagasan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 40).
Dengan
studi interdisipliner ini, teori strukturalisme dapat menggunakan
pendekatan ekstrinsik karena mengaitkan dengan teori feminisme. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Darma (2004: 85) strukturalisme dapat
menggunakan pendekatan ekstrinsik, jika strukturalisme digunakan sebagai
studi interdisipliner. Mengaitkan antara sastra dengan antropologi,
sosiologi, sejarah, psikologi, maupun bidang kajian sastra yang lainnya.
Seedangkan feminisme adalah bagian dari pendekatan sosiologi sastra.
Semiotik memiliki dua konsep yang dikemukakan oleh dua tokoh yang berbeda.
1. Konsep Saussure
Bahasa
merupakan sistem tanda yang mewakili sesuatu yang lain yang disebut
makna. Bahasa sebagai sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik)
yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie,
atau penanda dan petanda.
Wujud
penanda dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan,
sedangkan petanda adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang
terkandung dalam penanda tersebut (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002: 43).
Penanda
dan petanda merupakan konsep Saussure yang terpenting, sedangkan konsep
Saussure yang lain menurut Ratna (2004: 99) adalah:
a. Parole dan Langue
Perbedaan
antara ekspresi kebahasaan (parole, ppeech, utterance) dan sistem
pembedaan di antara tanda-tanda, sistem yang digunakan oleh semua orang
(langue, language). Parole bersifat konkret yang kemudian membentuk
sistem bahasa yang bersifat abstrak yaitu langue.
b. Paradigmatik dan Sintagmatik
Hubungan
sintagmatik bersifat linier, sedangkan hubungan paradigmatik merupakan
hubungan makna dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna,
antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Menurut Nurgiyantoro
(2002: 47) kajian paradigmatik berupa konotasi, asosiasi-asosiasi yang
muncul dalam pikiran pembaca, dikaitkan dengan teori fungsi puitik.
Jadi, kata-kata yang mengandung unsur kesinoniman (hubungan
paradigmatik) – maupun kesejajaran sintaksis – hubungan linier, hubungan
sintagmatik – bentuk yang dipilih dalam puisi tersebut adalah bentuk
yang paling tepat.
Pilihan
bahasa yang berunsur puitik yang berupa kata-kata (paradigmatik),
biasanya berkaitan dengan ketepatan unsur-unsur bunyi (asosiasi),
aliterasi, asonansi, rima, ketepatan bentuk dan juga makna
(Nurgiyantoro, 2002: 49).
c. Diakroni dan Sinkroni
Diakronis
mengkaji bahasa dalam perkembangan sejarah, dari waktu ke waktu, studi
tentang evolusi bahasa, studi mengenai elemen-elemen individual pada
waktu yang berbeda. Adapun sinkroni mengkaji bahasa pada masa tertentu,
hubungan elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan.
2. Konsep Peirce
Peirce (Ratna, 2004: 101) mengemukakan bahwa tanda memiliki tiga sisi/triadik:
a. Representamen, ground, tanda itu sendiri. Hubungan tanda dengan ground menurut van Zoest (1993: 18-19) adalah:
1) Qualisigns
Tanda-tanda
yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh: sifat ‘merah’
dapat digunakan sebagai tanda, bagi kaum sosialisme merah dapat berarti
cinta (memberi mawar merah pada seseorang), bagi perasaan dapat berarti
menunjukkan sesuatu, dan sebagainya. Namun warna itu harus memeroleh
bentuk, misal pada bendera, pada mawar, pada papan lalu lintas, dan
sebagainya.
2) Sinsigns
Sinsigns
ialah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan.
Sinsigns dapat berbentuk sebuah jeritan yang memberi arti kesakitan,
keheranan, atau kegembiraan. Kita dapat mengenali orang lain dari
dehemnya, langkah kakinya, tertawanya, nada dasar dalam suaranya, dan
lain-lain.
3) Legisigns
Legisigns
adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang
berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Misalnya: ‘mengangguk’
pertanda ya, mengerutkan alis pertanda bingung.
b. Objek (designatum, denotatum, referent) yaitu apa yang diacu. Hubungan antara tanda dengan denotatum, yaitu:
1) Ikon
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena serupa. Ikon dibagi tiga macam:
a) Ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang
b) Ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur
c) Ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan
Contoh ikon: gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda).
2) Indeks
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misal: asap merupakan tanda adanya api.
3) Simbol
Simbol adalah hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan, tidak bersifat alamiah. Misal: lampu merah pertanda berhenti.
c. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.
Hubungan antara tanda dan interpretan oleh Peirce dalm van Zoest (1993: 29) dibagi menjadi tiga macam:
1) Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep
Contoh:
“Rien adalah X”. X merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘baik’ atau
‘cerdas’, tanda itu diberikan denotataum dan dapat diinterpretasikan.
2) Decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif.
Contoh: “Rien manis”, sebagai kalimat dalam keseluruhan merupakan decisigns.
3) Argument, tanda sebagai nalar: proposisi.
Model Pembacaan Semiotik
Kajian semiotik menggunakan dua model pembacaan sebagai berikut.
1. Pembacaan Heuristik
Pembacaan
heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan atau secara
semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Yang dilakukan dalam pembacaan ini antara lain menerjemahkan atau
memperjelas arti kata-kata dan sinonim-sinonim.
Pembacaan
heuristik pada puisi dapat dilakukan dengan parafrase dengan
menggunakan bahasa yang lebih logis (pemaknaan yang sesuai dengan
sintaksis/tata bahasa). Hal itu dapat dilakukan dengan cara memberikan
sisipan kata atau sinonim kata-katanya yang dapat diletakkan dalam tanda
kurung. Struktur kalimat dapat disesuaikan pula dengan kalimat baku.
2. Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan
hermeneutik adalah pembacaan yang dilakukan secara berulang-ulang
(retroaktif) atau berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua (konvensi
sastra). Hal itu dilakukan untuk memperoleh daya interpretasi yang baik
dalam mengungkapkan bahasa puisi yang lebih luas menurut maksudnya.
Pembacaan hermeneutik ini berkaitan dengan konvensi sastra yang
memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan ekspresi
puisi (Riffaterre dalam Jabrohim, 2003: 97). Ketaklangsungan ekspresi
puisi mencakup tiga hal (Endraswara, 2003: 66), yaitu:
a. penggantian arti (displacing of meaning)
adanya
pemakaian bahasa kias, seperti metafora, personifikasi, alegori,
metonimia, dan sebagainya. Misal: “bumi ini perempuan jalang” (Dewa
Telah Mati karya Chairil Anwar) berupa metafora ini membandinngkan
antara bumi dengan perempuan jalang (liar), berarti penyair ingin
menyampaikan betapa “kejamnya” bumi ini.
b. penyimpangan arti (distorting of meaning)
penyimpangan arti muncul karena tiga hal, yaitu:
1) Ambiguitas,
muncul disebabkan oleh pemakaian bahasa sastra yang multimakna. Misal:
“mengembara di negeri asing” (Doa karya Chairil Anwar) jelas melukiskan
ambigu makna, yakni suasana bingung, tidak jelas, kabur, dan sunyi.
2) Kontradiksi, berupa perlawanan situasi. Misal: “serasa hidup dan mati, hidup di dunia seperti di neraka jahanam”
3) Nonsence,
kata-kata yang secara lingual tidak bermakna karena adanya permainan
bunyi. Misal: “pot pot pot” (Amuk karya Sutardji Calzoum Bachri)
c. penciptaan arti (creating of meaning)
penciptaan
arti disebabkan oleh pemanfaatan bentuk visual, misal: enjambemen,
persajakan, homologues (persejajaran bentuk maupun baris), dan
tipografi. Misal: puisi Tragedi Sihka dan Winka.
Hal
ini mengisyaratkan bahwa Sistem tanda pada puisi mempunyai makna
berdasarkan konvensi-konvensi sastra. Konvensi-konvensi puisi tersebut
antara lain: konvensi kebahasaan (bahasa kiasan, sarana retorika, dan
gaya bahasa), konvensi yang menunjukkan ketaklangsungan ekspresi puisi
(penyimpangan arti, penggantian arti, dan penciptaan arti), konvensi
visual (bait, baris sajak, enjambemen, rima, tipografi, dan homologue
(Jabrohim, 2003: 70).
Diksi dan Bahasa Kiasan
a. Diksi
Diksi
merupakan pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna
dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi
pembaca (Tjahjono, 1990: 59). Diksi dalam puisi dapat menggunakan makna
denotatif mupun makna konotatif.
Diksi
dan pola kalimat merupakan unsur-unsur struktur sintaktik. Penyair
harus cermat dalam memilih kata. . Kata-kata dipilih dengan
mempertimbangkan makna, komposisi bunyi rima dan iramanya, serta
kedudukan katanya di tengah kata lain dan keseluruhan tulisan. Tiap kata
jadi memiliki makna. Tiap kata menjadi konkrit dan khusus, atau abstrak
dan umum (Luxemburg dkk., 1989: 192). Diksi puitis, menurut Waluyo
dalam Kurnia (2000) mengalami penyimpangan bahasa yaitu dengan ciri-ciri
berikut.
1) Penyimpangan semantis
Makna
puitis berjumlah banyak, tidak hanya mewakili satu makna, tidak selalu
sama dengan makna kata sehari-hari, serta tidak dikonotasikan sama oleh
para penyair. Kata sungai akan berarti bencana bagi penyair
dari daerah banjir. Tapi jadi bermakna rejeki bagi penyair yang hidup di
wilayah penangkap ikan dan penambang sungai.
Goenawan Mohamad, dalam Sajak New York (Asmaradana, 1992) melihat “bulan”: . . . . dari hutan Manhattan/ ia lari / ke Central Park hitam / meluncur, / di arena es, / ketika daun mapel / memainkan orkes. Dalam
sajak ini, “bulan” bagai orang yang tengah melakukan kegiatan
jalan-jalan di suasana malam kota New York. “Bulan” menjadi “ia”,
seseorang yang tengah menikmati malam di kota besar, Amerika, sekaligus
suasana New York yang pada musim dingin yang hanya menampakkan
taman kota yang “hitam”, menjadi tempat berseluncur es, dalam keriuhan
angin memainkan “daun mapel”, menimbulkan musik seperti “orkes”:
penggambaran seorang penyair yang bertemu dengan suasana puitik dari
pranata sosial megapolis New York, di malam hari.
2) Register
Register
adalah ragam bahasa, dari sebuah kelompok atau sebuah kelas sosial.
Dialek register disebut juga dialek profesi. Dialek Register sering
tidak dikenali lagi walau kerap diambil (berasal) dari kosa kata daerah.
Kata lembu peteng, misalnya: yang sering diucapkan aristokrat Jawa, ketika menunjuk anak hasil hubungan gelap. Contoh lain, ialah: kumpul kebo, procotan, Paman Doblang, simbok, den mas, sungkem, bihten.
3) Kata-kata sugestif (memiliki daya sugesti)
Daya
sugesti dipertimbangkan penyair ketika memilih kata. Kekuatan sugesti
ditimbulkan oleh makna. Pilihan dan penempatannya seolah memancarkan
daya gaib hingga menyugesti pembaca untuk ikut sedih, terharu,
bersemangat, atau marah.
4) Kata imajis (menyiratkan imaji)
Kata
imajis ialah susunan kata yang mencitrakan pengalaman sensoris seperti
melihat, mendengar dan meraba. Pembaca seolah melihat benda (imaji visual), seolah mendengar suara (imaji auditif), atau seolah dapat merasa, meraba, dan menyentuhnya (imaji taktil) setelah penyair mencoba mengkonkritkan obyeknya menjadi mirip musik, gambar, atau citarasa tertentu.
Chairil Anwar mengimajikan rasa ngeri dan tercekam menghadapi maut ketika menulis: “Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin” (Yang Terempas dan Yang Terputus, 1949) Goenawan Mohamad melihat “….malam/tinggal separoh/ dan bulan/ pelan/ seperti pemain Noh”, dalam Hiroshima, Cintaku
(1989-90). Ia memvisualisasikan suasana malam yang memanjang dan
memberat melalui imaji “bulan” yang melambangkan waktu, yang bergerak
lambat seperti gerakan tarian Noh dari penari tradisionil Jepang.
5) Kata konkret (terasa konkret)
Kata
konkret untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata
harus diperkonkrit. Kata-kata jadi mengias ke realitas. Seperti
pengimajian, pengonkritan menggunakan kiasan dan lambang yang membuat
pembaca seolah melihat, mendengar, atau Chairil Anwar mengungkapkan
pertemuannya ke jalan Tuhan, dengan kata-kata: “Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling” (Doa, 1943). Sutardji Calzoum Bachri mengungkapkan kegelisahan mencari Tuhan, dengan: “semua orang membawa kapak/ semua orang bergerak pergi/” (Kapak, 1 Goenawan Mohamad, dalam Don Lopez de Cardenas di Grand Canyon, Amerika (1998) menulis: Di pagi hari / di tahun 1540 itu / Don Lopez de Cardenas tiba / dari dataran tinggi / yang membosankan. // Ia hentikan kudanya / di dekat / sebatang panderosa tua / yang tumbang, // dan ketika ia / lepaskan kaki / sebentar / dari sanggurdi, / untuk membetulkan taji pada lars sepatunya, / ada seorang Navajo / yang datang, / setengah telanjang, / berlari-lari, / menunjukkan arah / ke sebuah ngarai / yang kemudian/ disaksikannya sendiri / dengan kaki gemetar.” //
b. Bahasa Kiasan
Bahasa
kiasan adalah pemberian makna lain dari suatu ungkapan, atau memisalkan
sesuatu untuk menyatakan sesuatu yang lain (Semi, 1986: 50).
Bahasa kiasan dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain:
1) metafora
metafora
membandingkan antara objek yang memiliki titik-titik kesamaan, seperti
perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti
bagai, laksana, seperti, dan sebagainya (Pradopo, 1987: 66; Siswantoro,
2002: 27)
2) personifikasi
personifikasi
adalah pelukisan benda atau objek tak bernyawa atau bukan manusia
(inanimate) baik yang kasat mata atau abstrak yang diperlukan
seolah-olah sebagai manusia (Siswantoro, 2002: 29)
3) metonimia
metonimia
berupa penggunaan sebuah atribut/objek atau penggunaan sesuatu yang
sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut
(Altenbernd dalam Pradopo, 2002: 77)
4) hiperbola
hiperbola adalah suatru perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan (Semi, 1986: 51)
5) simile
simile
merupakan bahasa kiasan yang bersifat eksplisit, yakni secar langsung
menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf dalam Kaswadi, 2006: 128)
6) alegori
alegori
yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang ada
pada benda itu dikiaskan (Semi, 1986: 51), dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar