Rabu, 27 November 2013

Strukturalisme Semiotik

Karya sastra merupakan struktur yang kompleks sehingga untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan penganalisisan. Penganalisisan tersebut merupakan usaha secara sadar untuk menangkap dan memberi muatan makna kepada teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda. Seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna (Nurgiyantoro, 2002: 39). Bahasa tak lain adalah media dalam karya sastra. Karena itu karya sastra merupakan sebuah struktur ketandaan yang bermakna (Kaswadi, 2006: 123). Tidak terkecuali pada teks sastra yang berbentuk puisi, maka untuk pemahaman makna pada puisi menggunakan kajian struktural yang tidak dapat dipisahkan dengann kajian semiotik yang mengkaji tanda-tanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (1987: 108) yang mengemukakan bahwa analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik. Karena semiotik dan strukturalisme adalah prosedur formalisasi dan klasifikasi bersama-sama. Keduanya memahami keseluruhan kultur sebagai sistem komunikasi dan sistem tanda dan berupaya kearah penyingkapan aturan-aturan yang mengikat. Analisis tanda sebagai hasil proses-proses sosial menuju kepada sebuah pembongkaran struktur-struktur dalam yang mengemudikan setiap komunikasi (Stiegler, 2001). Hal ini menandakan bahwa sistem tanda dan konvensinya merupakan jalan dalam pembongkaran makna, tanpa memperhatikan sistem tanda maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara keseluruhan.
Munculnya kajian struktural semiotik ini sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsik, semiotik memandang karya sastra memiliki sistem tersendiri. Karena itu, muncul kajian struktural semiotik untuk mengkaji aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda (Endraswara, 2003: 64) sehingga dapat dikatakan bahwa kajian semiotik ini merupakan lanjutan dari strukturalisme.
Menurut Hawkes dalam Najid (2003: 42) Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang menekankan pada persepsi struktur dan deskripsi struktur. Jadi, yang menjadi konsep dasar teori strukturalisme adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dkk dalam Jabrohim, 2003: 54). Anggapan teori strukturalisme yang memandang bahwa struktur itu harus lepas dari unsur lain memunculkan adanya kajian semiotik. Karena kajian semiotik juga tidak dapat sepenuhnya lepas dari struktur maka kajian ini akhirnya disebut dengan kajian struktural semiotik.
Semiotik sendiri berasal dari kata Yunani “semeion”, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistam tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993: 1). Lebih lanjut Preminger (Pradopo, 2003: 19) semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 40).
Dengan studi interdisipliner ini, teori strukturalisme dapat menggunakan pendekatan ekstrinsik karena mengaitkan dengan teori feminisme. Hal ini sejalan dengan pernyataan Darma (2004: 85) strukturalisme dapat menggunakan pendekatan ekstrinsik, jika strukturalisme digunakan sebagai studi interdisipliner. Mengaitkan antara sastra dengan antropologi, sosiologi, sejarah, psikologi, maupun bidang kajian sastra yang lainnya. Seedangkan feminisme adalah bagian dari pendekatan sosiologi sastra.
Semiotik memiliki dua konsep yang dikemukakan oleh dua tokoh yang berbeda.
1. Konsep Saussure
Bahasa merupakan sistem tanda yang mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik) yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda.
Wujud penanda dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002: 43).
Penanda dan petanda merupakan konsep Saussure yang terpenting, sedangkan konsep Saussure yang lain menurut Ratna (2004: 99) adalah:
a. Parole dan Langue
Perbedaan antara ekspresi kebahasaan (parole, ppeech, utterance) dan sistem pembedaan di antara tanda-tanda, sistem yang digunakan oleh semua orang (langue, language). Parole bersifat konkret yang kemudian membentuk sistem bahasa yang bersifat abstrak yaitu langue.
b. Paradigmatik dan Sintagmatik
Hubungan sintagmatik bersifat linier, sedangkan hubungan paradigmatik merupakan hubungan makna dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Menurut Nurgiyantoro (2002: 47) kajian paradigmatik berupa konotasi, asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikiran pembaca, dikaitkan dengan teori fungsi puitik. Jadi, kata-kata yang mengandung unsur kesinoniman (hubungan paradigmatik) – maupun kesejajaran sintaksis – hubungan linier, hubungan sintagmatik – bentuk yang dipilih dalam puisi tersebut adalah bentuk yang paling tepat.
Pilihan bahasa yang berunsur puitik yang berupa kata-kata (paradigmatik), biasanya berkaitan dengan ketepatan unsur-unsur bunyi (asosiasi), aliterasi, asonansi, rima, ketepatan bentuk dan juga makna (Nurgiyantoro, 2002: 49).
c. Diakroni dan Sinkroni
Diakronis mengkaji bahasa dalam perkembangan sejarah, dari waktu ke waktu, studi tentang evolusi bahasa, studi mengenai elemen-elemen individual pada waktu yang berbeda. Adapun sinkroni mengkaji bahasa pada masa tertentu, hubungan elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan.
2. Konsep Peirce
Peirce (Ratna, 2004: 101) mengemukakan bahwa tanda memiliki tiga sisi/triadik:
a. Representamen, ground, tanda itu sendiri. Hubungan tanda dengan ground menurut van Zoest (1993: 18-19) adalah:
1) Qualisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh: sifat ‘merah’ dapat digunakan sebagai tanda, bagi kaum sosialisme merah dapat berarti cinta (memberi mawar merah pada seseorang), bagi perasaan dapat berarti menunjukkan sesuatu, dan sebagainya. Namun warna itu harus memeroleh bentuk, misal pada bendera, pada mawar, pada papan lalu lintas, dan sebagainya.
2) Sinsigns
Sinsigns ialah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Sinsigns dapat berbentuk sebuah jeritan yang memberi arti kesakitan, keheranan, atau kegembiraan. Kita dapat mengenali orang lain dari dehemnya, langkah kakinya, tertawanya, nada dasar dalam suaranya, dan lain-lain.
3) Legisigns
Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Misalnya: ‘mengangguk’ pertanda ya, mengerutkan alis pertanda bingung.
b. Objek (designatum, denotatum, referent) yaitu apa yang diacu. Hubungan antara tanda dengan denotatum, yaitu:
1) Ikon
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena serupa. Ikon dibagi tiga macam:
a) Ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang
b) Ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur
c) Ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan
Contoh ikon: gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda).
2) Indeks
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misal: asap merupakan tanda adanya api.
3) Simbol
Simbol adalah hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan, tidak bersifat alamiah. Misal: lampu merah pertanda berhenti.
c. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.
Hubungan antara tanda dan interpretan oleh Peirce dalm van Zoest (1993: 29) dibagi menjadi tiga macam:
1) Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep
Contoh: “Rien adalah X”. X merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘baik’ atau ‘cerdas’, tanda itu diberikan denotataum dan dapat diinterpretasikan.
2) Decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif.
Contoh: “Rien manis”, sebagai kalimat dalam keseluruhan merupakan decisigns.
3) Argument, tanda sebagai nalar: proposisi.
Model Pembacaan Semiotik
Kajian semiotik menggunakan dua model pembacaan sebagai berikut.
1. Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Yang dilakukan dalam pembacaan ini antara lain menerjemahkan atau memperjelas arti kata-kata dan sinonim-sinonim.
Pembacaan heuristik pada puisi dapat dilakukan dengan parafrase dengan menggunakan bahasa yang lebih logis (pemaknaan yang sesuai dengan sintaksis/tata bahasa). Hal itu dapat dilakukan dengan cara memberikan sisipan kata atau sinonim kata-katanya yang dapat diletakkan dalam tanda kurung. Struktur kalimat dapat disesuaikan pula dengan kalimat baku.
2. Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang dilakukan secara berulang-ulang (retroaktif) atau berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua (konvensi sastra). Hal itu dilakukan untuk memperoleh daya interpretasi yang baik dalam mengungkapkan bahasa puisi yang lebih luas menurut maksudnya. Pembacaan hermeneutik ini berkaitan dengan konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan ekspresi puisi (Riffaterre dalam Jabrohim, 2003: 97). Ketaklangsungan ekspresi puisi mencakup tiga hal (Endraswara, 2003: 66), yaitu:
a. penggantian arti (displacing of meaning)
adanya pemakaian bahasa kias, seperti metafora, personifikasi, alegori, metonimia, dan sebagainya. Misal: “bumi ini perempuan jalang” (Dewa Telah Mati karya Chairil Anwar) berupa metafora ini membandinngkan antara bumi dengan perempuan jalang (liar), berarti penyair ingin menyampaikan betapa “kejamnya” bumi ini.
b. penyimpangan arti (distorting of meaning)
penyimpangan arti muncul karena tiga hal, yaitu:
1) Ambiguitas, muncul disebabkan oleh pemakaian bahasa sastra yang multimakna. Misal: “mengembara di negeri asing” (Doa karya Chairil Anwar) jelas melukiskan ambigu makna, yakni suasana bingung, tidak jelas, kabur, dan sunyi.
2) Kontradiksi, berupa perlawanan situasi. Misal: “serasa hidup dan mati, hidup di dunia seperti di neraka jahanam”
3) Nonsence, kata-kata yang secara lingual tidak bermakna karena adanya permainan bunyi. Misal: “pot pot pot” (Amuk karya Sutardji Calzoum Bachri)
c. penciptaan arti (creating of meaning)
penciptaan arti disebabkan oleh pemanfaatan bentuk visual, misal: enjambemen, persajakan, homologues (persejajaran bentuk maupun baris), dan tipografi. Misal: puisi Tragedi Sihka dan Winka.
Hal ini mengisyaratkan bahwa Sistem tanda pada puisi mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi sastra. Konvensi-konvensi puisi tersebut antara lain: konvensi kebahasaan (bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa), konvensi yang menunjukkan ketaklangsungan ekspresi puisi (penyimpangan arti, penggantian arti, dan penciptaan arti), konvensi visual (bait, baris sajak, enjambemen, rima, tipografi, dan homologue (Jabrohim, 2003: 70).
Diksi dan Bahasa Kiasan
a. Diksi
Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca (Tjahjono, 1990: 59). Diksi dalam puisi dapat menggunakan makna denotatif mupun makna konotatif.
Diksi dan pola kalimat merupakan unsur-unsur struktur sintaktik. Penyair harus cermat dalam memilih kata. . Kata-kata dipilih dengan mempertimbangkan makna, komposisi bunyi rima dan iramanya, serta kedudukan katanya di tengah kata lain dan keseluruhan tulisan. Tiap kata jadi memiliki makna. Tiap kata menjadi konkrit dan khusus, atau abstrak dan umum (Luxemburg dkk., 1989: 192). Diksi puitis, menurut Waluyo dalam Kurnia (2000) mengalami penyimpangan bahasa yaitu dengan ciri-ciri berikut.
1) Penyimpangan semantis
Makna puitis berjumlah banyak, tidak hanya mewakili satu makna, tidak selalu sama dengan makna kata sehari-hari, serta tidak dikonotasikan sama oleh para penyair. Kata sungai akan berarti bencana bagi penyair dari daerah banjir. Tapi jadi bermakna rejeki bagi penyair yang hidup di wilayah penangkap ikan dan penambang sungai.
Goenawan Mohamad, dalam Sajak New York (Asmaradana, 1992) melihat “bulan”: . . . . dari hutan Manhattan/ ia lari / ke Central Park hitam / meluncur, / di arena es, / ketika daun mapel / memainkan orkes. Dalam sajak ini, “bulan” bagai orang yang tengah melakukan kegiatan jalan-jalan di suasana malam kota New York. “Bulan” menjadi “ia”, seseorang yang tengah menikmati malam di kota besar, Amerika, sekaligus suasana New York yang pada musim dingin yang hanya menampakkan taman kota yang “hitam”, menjadi tempat berseluncur es, dalam keriuhan angin memainkan “daun mapel”, menimbulkan musik seperti “orkes”: penggambaran seorang penyair yang bertemu dengan suasana puitik dari pranata sosial megapolis New York, di malam hari.
2) Register
Register adalah ragam bahasa, dari sebuah kelompok atau sebuah kelas sosial. Dialek register disebut juga dialek profesi. Dialek Register sering tidak dikenali lagi walau kerap diambil (berasal) dari kosa kata daerah. Kata lembu peteng, misalnya: yang sering diucapkan aristokrat Jawa, ketika menunjuk anak hasil hubungan gelap. Contoh lain, ialah: kumpul kebo, procotan, Paman Doblang, simbok, den mas, sungkem, bihten.
3) Kata-kata sugestif (memiliki daya sugesti)
Daya sugesti dipertimbangkan penyair ketika memilih kata. Kekuatan sugesti ditimbulkan oleh makna. Pilihan dan penempatannya seolah memancarkan daya gaib hingga menyugesti pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, atau marah.
4) Kata imajis (menyiratkan imaji)
Kata imajis ialah susunan kata yang mencitrakan pengalaman sensoris seperti melihat, mendengar dan meraba. Pembaca seolah melihat benda (imaji visual), seolah mendengar suara (imaji auditif), atau seolah dapat merasa, meraba, dan menyentuhnya (imaji taktil) setelah penyair mencoba mengkonkritkan obyeknya menjadi mirip musik, gambar, atau citarasa tertentu.
Chairil Anwar mengimajikan rasa ngeri dan tercekam menghadapi maut ketika menulis: “Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin” (Yang Terempas dan Yang Terputus, 1949) Goenawan Mohamad melihat “….malam/tinggal separoh/ dan bulan/ pelan/ seperti pemain Noh”, dalam Hiroshima, Cintaku (1989-90). Ia memvisualisasikan suasana malam yang memanjang dan memberat melalui imaji “bulan” yang melambangkan waktu, yang bergerak lambat seperti gerakan tarian Noh dari penari tradisionil Jepang.
5) Kata konkret (terasa konkret)
Kata konkret untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkrit. Kata-kata jadi mengias ke realitas. Seperti pengimajian, pengonkritan menggunakan kiasan dan lambang yang membuat pembaca seolah melihat, mendengar, atau Chairil Anwar mengungkapkan pertemuannya ke jalan Tuhan, dengan kata-kata: “Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling” (Doa, 1943). Sutardji Calzoum Bachri mengungkapkan kegelisahan mencari Tuhan, dengan: “semua orang membawa kapak/ semua orang bergerak pergi/” (Kapak, 1 Goenawan Mohamad, dalam Don Lopez de Cardenas di Grand Canyon, Amerika (1998) menulis: Di pagi hari / di tahun 1540 itu / Don Lopez de Cardenas tiba / dari dataran tinggi / yang membosankan. // Ia hentikan kudanya / di dekat / sebatang panderosa tua / yang tumbang, // dan ketika ia / lepaskan kaki / sebentar / dari sanggurdi, / untuk membetulkan taji pada lars sepatunya, / ada seorang Navajo / yang datang, / setengah telanjang, / berlari-lari, / menunjukkan arah / ke sebuah ngarai / yang kemudian/ disaksikannya sendiri / dengan kaki gemetar.” //
b. Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan adalah pemberian makna lain dari suatu ungkapan, atau memisalkan sesuatu untuk menyatakan sesuatu yang lain (Semi, 1986: 50).
Bahasa kiasan dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain:
1) metafora
metafora membandingkan antara objek yang memiliki titik-titik kesamaan, seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya (Pradopo, 1987: 66; Siswantoro, 2002: 27)
2) personifikasi
personifikasi adalah pelukisan benda atau objek tak bernyawa atau bukan manusia (inanimate) baik yang kasat mata atau abstrak yang diperlukan seolah-olah sebagai manusia (Siswantoro, 2002: 29)
3) metonimia
metonimia berupa penggunaan sebuah atribut/objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dalam Pradopo, 2002: 77)
4) hiperbola
hiperbola adalah suatru perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan (Semi, 1986: 51)
5) simile
simile merupakan bahasa kiasan yang bersifat eksplisit, yakni secar langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf dalam Kaswadi, 2006: 128)
6) alegori
alegori yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang ada pada benda itu dikiaskan (Semi, 1986: 51), dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar