Rabu, 27 November 2013

S E M I O T I K A: TENTANG MEMBACA TANDA-TANDA

1
S E M I O T I K A:
TENTANG MEMBACA TANDA-TANDA
Oleh:
M. Syaom Barliana
Dosen Jurusan Pendidikan Arsitektur Universitas Pendidikan Indonesia
Dan Allah telah mengajari Adam menyebutkan
nama-nama (kemampuan berbahasa), lalu
mencerdaskan manusia lewat perantaraan
kalam (wacana).

C A T A T A N A W A L
D a r i B a h a s a ke K e b u d a y a a n
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi,
serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat.
Semiotika mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda, serta
relasi antar komponen-komponen tersebut dengan masyarakat
penggunanya. Semiotika, yang berasal dari bahasa Yunani, semion yang
berarti tanda (sign), bermula dari kajian tentang bahasa, dan kemudian
berkembang menjadi kajian kebudayaan, adalah akar dari
perkembangan gerakan intelektual dan filsafat strukturalisme dan
poststrukturalisme tersebut, yang merupakan bagian dari gemuruh
wacana kritis tahun 1950-1960-an yang mempertanyakan kembali
―kebenaran-kebenaran‖ universal dan tunggal yang dibangun oleh
rasionalisme, logosentrisme, positivisme, dan modernisme. Meskipun
demikian, Strukturalisme sendiri sesungguhnya masih menggunakan
pendekatan ―ilmiah‖ yang positivistik, yang kemudian dikritik dan
dikoreksi oleh Poststrukturalisme.
S E M I O T I K A & S T R U K T U R A L I S M E
D a r i S a u s s u r e k e L e v i – S t r a u s s
Pendekatan strukturalisme atas kebudayaan dikenal pada periode
tahun 1950-an, dengan dua tokoh utama yaitu Levi-Strauss dan Roland
Barthes, serta kemudian Charles Sanders Peirce dan Marshall Sahlins.
Namun demikian, akar pendekatan ini sesungguhnya mulai
dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure pada periode 1900-an. Oleh
sebab itu, kajian tentang semiotika ini pada dasarnya adalah sebuah
upaya untuk menelusuri kembali pemikiran-pemikiran para tokoh
tersebut.
2
Strukturalisme adalah aliran pemikiran yang secara ilmiah
(objektif, ketat, berjarak), mencari struktur terdalam dari realitas yang
tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan. Berikut ini beberapa
gagasan pokok Strukturalisme, yang dipelopori oleh Levi-Strauss dalam
mendekati masalah kebudayaan (Philip Smith, 2001).
Pertama, ―yang dalam‖ menjelaskan apa yang ada di permukaan.
Kehidupan sosial sekilas tampak kacau, tak beraturan, beragam, dan
tak dapat diprediksi, namun sesungguhnya hal itu hanya di
―permukaan‖. Di balik atau di dalamnya, terdapat mekanisme genaratif
yang kurang lebih konstan.
Kedua, ―yang dalam‖ itu terstruktur. Mekanisme generatif yang
ada di dalam itu tidak hanya eksis dan bersifat potensial, melainkan
juga terorganisasi dan berpola. Kaum strukturalis percaya, bahwa
struktur ―yang dalam‖ tersebut terdiri atas blok-blok unsure yang bila
dikombinasikan dapat dipakai untuk menjelaskan yang ada
dipermukaan.
Ketiga, kebudayaan itu seperti bahasa. Strukturalisme
dipengaruhi oleh linguistik struktural, yaitu bahasa dianggap sebagai
sistem yang terdiri atas kata-kata, bahkan unsur-unsur mikro seperti
suara. Relasi antar unsur ini memungkinkan bahasa menyampaikan
informasi untuk menandai (to signify). Pendekatan strukturalis atas
kebudayaan berfokus pada identifikasi unsur-unsur yang bersesuaian
dan bagaimana cara unsur-unsur itu diorganisasi untuk menyampaikan
pesan.
Keempat, pendekatan struktural cenderung mengurangi,
mengabaikan, dan bahkan menegasi peran subjek. Tekanannya ialah
pada peranan dan pengaruh sistem kultural daripada kesadaran dan
perilaku individual. Para strukturalis menentang eksistensialisme dan
fenomenogi yang dianggap terlalu individualistik dan kurang ilmiah,
serta dianggap melupakan peranan masyarakat dan kebudayaan yang
membentuk cara berfikir dan bertindak individu.
F e r d i n a n d d e S a u s s u r e
Ferdinand de Saussure (1857-1913), adalah ahli bahasa dari
Perancis yang bukan saja berjasa meletakkan dasar bagi pendekatan
strukturalis pada bahasa tapi juga pada kebudayaan. Roland Barthes
(1968/1985), Philip Smith (2001), menjelaskan bahwa Saussure melihat
bahasa sebagai terdiri dari imaji akustik (kata dan bunyi) yang terkait
dengan konsep (benda atau ide). Kaitan antara keduanya merupakan
hasil kesepakatan (convention). Hubungan antara penanda konsep
bersifat arbitrer (acak dan sewenang-wenang). Ia mengklaim bahasa
merupakan sebuah sistem tanda (signs) yang terlibat dalam sebuah
proses penandaan (signification) yang kompleks. Bahasa ini berfunggsi
sebagai ―pengontrasan‖ (difference). Misalnya, kata ―anjing‖ memiliki
makna karena kita dapat membedakan ―anjing‖ dari kucing, pohon, dan
sebagainya. Dengan demikian, kata ada sebagai bagian dari jaring
penanda-penanda (signifiers) yang disatukan dalam sebuah struktur
keberbedaan (structure of difference).
3
Saussure mengedepankan pendekatan sinkronik daripada
diakronik (kesejarahan) atas bahasa. Ini berarti ia ingin memetakan
sebuah sistem bahasa pada suatu momen tertentu, dan tidak mau
terjebak dalam penelusuran sejarah kata. Ia membedakan langue
(bahasa, language) dengan parole (ucapan, speech). Parole adalah apa
yang diucapkan orang pada saat dan masa tertentu, sedangkan langue
adalah struktur yang ada ―di dalam‖ –keseluruhan sistem tanda yang
mendasari parole. Fokus kajian Saussure adalah pada langue (struktur).
Dengan menekankan sifat arbitrer penandaan, logika, dan struktur
internal bahasa, ia ingin menunjukkan bahaw bahasa merupakan
fenomen yang sui generis. Artinya, bahasa itu otonom sebab makna
diproduksi dalam sistem linguistik melalui sebuah sistem pembedaan.
Berdasarkan hal tersebut, Amir Pilliang (2003), menyimpulkan
paling tidak ada enam prinsip semiotika struktural yang dikembangkan
oleh Saussure. Pertama, prinsip struktural. Saussure memandang relasi
tanda sebagai relasi struktural, yang di dalamnya tanda dilihat sebagai
sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material, yang oleh
Roland Barthes—sebagai penerus Saussure—disebut penanda (signifier)
dan sesuatu yang bersifat konseptual, yang disebut petanda (signified).
Dalam kaitan inilah, semiotika yang dikembangakan Saussure biasa
disebut semiotika struktural (structural semiotics), dan kecenderungan
ke arah pemikiran struktur ini disebut strukturalisme (structuralism).
Strukturalisme dalam semiotika tidak menaruh perhatian pada relasi
kausalitas antara suatu tanda dan causa prima-nya, antara bahasa dan
realitas yang direpresentasikannya, melainkan pada relasi secara total
unsur-unsur yang ada dalam sebuah sistem (bahasa). Sehingga, yang
diutamakan bukanlah unsur itu sendiri melainkan relasi diantara
unsur-unsur tersebut. Apa yang disebut makna tidak dapat ditemukan
sebagai bagian intrinsik dari sebuah unsur melainkan sebagai akibat
dari relasi total yang ada dengan unsur-unsur lain secara total.
Kedua, prinsip kesatuan (unity). Sebuah tanda merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang
bersifat konkrit atau material (suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang
petanda (konsep, ide, gagasan, makna), seperti dua sisi dari selembar
kertas yang tidak mungkin dipisahkan. Meskipun penanda yang abstrak
dan nonmaterial tersebut bukan bagian instrinsik dari sebuah penanda,
akan tetapi dianggap hadir (present) bersama-sama penandanya yang
konkrit, dan kehadiranya adalah absolut. Dengan demikian, ada
kecenderungan metafisik (metaphysics) pada konsep semiotika
Saussure, di mana sesuatu yang besifat non fisik (petanda, konsep,
makna, kebenaran) dianggap hadir di dalam sesuatu yang bersifat fisik
(penanda).
Ketiga, prinsip konvensional (conventional). Relasi struktural
antara sebuah penanda dan petanda, dalam hal ini, sangat bergantung
pada apa yang disebut konvensi (convention), yaitu kesepakatan sosial
tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Hanya
karena adanya konvensi yang memungkinkan tanda memiliki dimensi
sosial, dan dapat digunakan di dalam wacana komunikasi sosial. Sebab,
tanpa konvensi tidak akan ada komunitas bahasa, dan tidak ada
4
komunikasi. Tanda disebut konvensional, dalam pengertian, bahwa
relasi antara penanda dan petandanya disepakati sebagai sebuah
konvensi sosial.
Keempat, prinsip sinkronik (synchronic). Keterpakuan kepada
relasi struktural menempatkan semiotika struktural sebagai sebuah
kecenderungan kajian sinkronik (synchronic), yaitu kajian tanda sebagai
sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap
konstan, stabil, dan tidak berubah. Semiotika struktural, dengan
demikian, mengabaikan dinamika, perubahan, serta transformasi
bahasa itu sendiri di dalam masyarakat. Penekanan semiotika struktural
pada apa yang disebut Saussure langue (sistem bahasa), oleh beberapa
pemikir Post-strukturalis dianggap telah melupakannya pada sifat
berubah, dinamis, produktif, dan transformatif dari parole (penggunaan
bahasa secara aktual dalam masyarakat).
Kelima, prinsip representasi (representation). Semotika struktural
dapat dilihat sebagai sebuah bentuk representasi, dalam pengertian
dalam sebuah tanda memrepresentasikan sebuah realitas, yang menjadi
rujukan atau referensinya. Sebuah tanda bunga, misalnya, mewakili
sesuatu di dalam dunia realitas, sehingga hubungan tanda dan realitas
lebih bersifat mewakili. Dengan perkataan lain, keberadaan tanda sangat
bergantung pada keberadaan realitas yang direpresentasikannya.
Realitas mendahului sebuah tanda, dan menentukan bentuk dan
perwujudannya. Ketiadaan realitas berakibat logis pada ketiadaan tanda.
Keenam, prinsip kontinuitas (continuity). Ada kecenderungan pada
semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem tanda dan
penggunaannya secara sosial sebagai sebuah continuum, yaitu sebuah
relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa, yang di dalamnya
berbagai tindak penggunaan bahasa selalu secara berkelanjutan
mengacu pada sebuah sistem atau struktur yang tidak pernah berubah,
sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal
pada tanda, kode, dan makna. Perubahan kecil pada berbagai elemen
bahasa, sebagai akibat logis dari perubahan sosial itu sendiri.
Selanjutnya, menurut Saussure (Smith, 2001), analisis tentang
sistem linguistik dapat diterapkan pada teori kebudayaan. Ia
mengajukan kemungkinan untuk mengembangkan ilmu yang khusus
mempelajari peran penanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.
Gagasan inilah yang memungkinkan berkembangnya Strukturalisme.
C h a r l e s S a n d e r s P e i r c e
Sementara itu, Trifonas (2001), ketika membahas karya Barthes;
The Empire Sign (Imperium Tanda), menyatakan bahwa meski model
Saussurean lebih berpengaruh terhadap perkembangan strukturalisme
Perancis, filsuf Amerika Charles Sanders Peirce melakukan
konseptualisasi tentang tanda yang ia kembangkan secara lengkap.
Bagi Pierce, tanda adalah unsur bahasa atau citra yang tersusun
dari hubungan antar tanda itu sendiri, referen (objek yang diacu oleh
tanda), dasar representasi (sifat hubungan terhadap referen), dan
interpretan (hubungan eksperiensial antara penafsir dan makna). Tanda
mengacu kepada referen di dalam wilayah representasi yang mendasari
5
tanda sesuai fungsinya –apa yang diacunya, bagaimana, dan demi
tujuan apa. Makna tercipta ketika pembaca tanda men-dekode-kan
dasar representasi, yang dengan demikian menafsirkan perbedaan
antara tanda dengan pengalaman.
Meskipun terdapat perbedaan antara semiotika Saussurean
dengan Piercean, sebagaimana yang tersirat di atas, namun keduanya
berpendapat sama bahwa tanda tak mungkin memiliki hubungan
motivasional, kedekatan, analogis, atau relasional dengan sesuatu yang
ia representasikan. Tanda selalu bersifat arbiter, atau sebaliknya, ia
merepresentasikan dirinya sendiri, yang selanjutnya menentukan
apakah suatu tanda adalah hal yang disebut Pierce sebagai indeks, ikon,
dan simbol.
Indeks menunjuk pada makna langsung yang jelas dan bersifat
universal, ikon adalah tanda yang memiliki makna assosiatif atau
analogis, simbol adalah suatu tanda yang bermakna simbolik yang dapat
dimengerti hanya jika dipahami latar budayanya.
R o l a n d B a r t h e s
Barthes (1915-1985) merupakan tokoh intelektual dan filsuf
Perancis yang gagasannya berada pada fase peralihan dari
Strukturalisme ke Poststrukturalisme. Walau demikian, Barthes
bersama Lévi-Strauss adalah tokoh-tokoh awal yang mencetuskan faham
struktural dan meneliti sistem tanda dalam budaya. Menurutnya, ada
titik temu atau konvergensi antara linguistik (ilmu-ilmu bahasa) dan
penelitian budaya yang pada gilirannya akan memperkaya penelitian
semiologi (yaitu ilmu tentang praktek penandaan/signifying atau analisis
penetapan makna dalam budaya) yang ia kembangkan. Berikut adalah
beberapa tema konseptual dan terminologi yang ia pakai. (Barthes, 1973:
Barthes, 1981: Smith, 2001).
Pertama, langue/parole: distingsi yang dicetuskan oleh Saussure
ini tidak hanya dapat dipakai dalam fenomena linguistik tetapi juga
dalam konteks semiotik.
Kedua, signifer/signified: distingsi Sussurian tentang benda atau
konsep yang dihadirkan melalui ―yang ditandakan‖ (signified), dan tanda
yang menghadirkan (signifier/penanda) bagi Barthes merupakan sesuatu
yang esensial dalam sistem penandaan (sign systems).
Ketiga, syntagm dan system.. Syntagm mengacu pada cara
bagaimana tanda-tanda disusun melintasi waktu dalam satu susunan
(tata bahasa/grammatika). Oleh karenanya, setiap bagian dalam hal ini
mengambil nilai terhadap lawannya. System, mengacu pada
perlawanannya yang bisa diganti atau kadang dilihat sebagai paradigma.
Keempat, denotation dan connotation: keduanya mengacu pada
―tatanan makna kata‖ (order of signification). Yang pertama pada makna
kata lugas atau literal, dalam arti menjelaskn sesuatu sebagaimana
adanya (denotasi). Yang kedua menggunakan arti kiasan (konotasi), dan
dalam arti tertentu melibatkan semacam metabahasa. Denotasi berada
pada tingkatan yang lebih rendah.
Tema-tema tersebut disajikan dalam karyanya Mythologies (1957).
Buku ini merupakan pengantar terbaik untuk mengilustrasikan
6
pendekatan Barthes akan studi tanda-tanda (semiotik). Menurutnya,
tanda-tanda dalam budaya bukanlah sesuatu yang polos murni
(innocent), namun sebaliknya tanda-tanda justru memiliki kaitan yang
kompleks dengan reproduksi ideologi. Barthes mengangkat interpretasi
tentang berbagai fenomena dan menghubungkannya dengan tema yang
berbau Marxis, termasuk dengan kebenaran sejati, ideologi, dan
pemujaan berhala komoditas (commodity fetishism).
Contoh-contoh berikut adalah pembacaan tanda oleh teori
Barthes: (1) Mobil Citroën model terbaru dapat dipandang sebagai
sebuah katedral modern di mana orang datang untuk menyembah.
Barthes mencoba menarik perhatian kita tentang model ―pemujaan‖
baru ini serta bagaimana orang berinteraksi dengan komoditas; (2)
Sebuah sampul majalah Prancis menampilkan seorang berkulit hitam
dan berpakaian militer Prancis sedang memberi hormat pada bendera
Prancis. Iklan ini bisa dibaca sebagai sebuah pernyataan ideologis yang
mendukung kolonialisme, seolah-olah orang-orang yang tinggal di
wilayah jajahan Perancis (wilayah koloni) itu berbahagia melayani
Prancis; (3) Olah raga gulat (wrestling) ditafsirkan sebagai sejenis teater
atau tontonan untuk publik kelas pekerja. Penampilan di atas panggung
yang lebih eksplisit dilihat sebagai penyampaian sesuatu secara lebih
jujur dan autentik dan kurang borjuis dibandingkan tinju (boxing; (4)
Boneka anak-anak buatan pabrik (manufactured) dikontraskan dengan
boneka buatan tangan (hand-made). Boneka buatan tangan dilihat lebih
unggul dalam pengertian bahwa mereka produk organis yang sehat yang
bisa beradaptasi seiring dengan waktu dan ramah di tangan anak-anak.
Sebaliknya, boneka buatan pabrik tidak memiliki aura yang dimiliki
produk buatan tangan para seniman atau hand-made product. Boneka
buatan pabrik tampak lebih dingin dan merupakan produk klinis dari
pekerja yang teralienasi dan sistem teknologis.
Di akhir buku Mythologies-nya Barthes berusaha menarik
pelajaran dari fakta-fakta yang ada dan mencoba menempatkannya
dalam bingkai politis-filosofis. Menurutnya, kita perlu menghubungkan
studi abstrak tentang tanda-tanda (semiotik) dengan penalaran
sosiologis mengenai bagaimana bentuk-bentuk konkret dan fungsi
tanda-tanda abstrak tersebut. Hanya dengan demikian kita dapat
menghubungkan skema mitos dengan sejarah umum guna menjelaskan
bagaimana hal itu berdampak bagi kepentingan sebuah masyarakat
tertentu (misalnya: masyarakat kapitalis).
Aspek mendasar dari Mythologies ialah pembedaan penggunaan
makna denotasi dengan konotasi. Makna denotasi adalah makna literal,
sedangkan makna konotasi merujuk pada ekstramitologis. Dalam kasus
tentara berkulit hitam yang menghormati bendera merah-putih-biru di
atas, makna denotatifnya adalah seorang tentara koloni dalam seragam
pasukan Prancis menghormati bendera. Namun, makna konotatifnya
menurut Barthes adalah bahwa ―Perancis adalah sebuah kerajaan besar,
bahwa semua putranya tanpa kecuali harus mengabdi di bawah kibar
benderanya…‖
Buku Mythologies Barthes ini menjadi sangat penting karena dua
alasan: (1) membuka alur baru dengan menghubungkan semiotika dan
7
teori kritis, serta (2) melegitimasi studi budaya populer dalam dunia
akademik dan trend gaya hidup (life style) dalam masyarakat konsumer
(consumer society), yang dikaji lebih jauh oleh Marshall Shalins, Jean
Baudrillard, dan Umberto Eco.
Dalam karya-karyanya yang kemudian, Barthes akhir mulai
melampaui Strukturalisme ortodoks dan sekaligus menyiapkan jalan
bagi Poststrukturalisme. Fokus Barthes tua, dalam bukunya S/Z,
adalah soal kenikmatan indrawi dalam membaca (sensual pleasure of
reading) dan kekuatan aktif dari pembaca (active power of the reader).
Pada intinya, ia hendak mengatakan bahwa ―tidak ada makna definitif
dalam sebuah cerita (telenovela, mitos dan, sebagainya)‖. Kode-kode
yang ada selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan interpretasi.
Pembaca terlibat dalam menemukan makna sebuah teks. Contoh
sederhananya: buku yang sama bisa berarti lain ketika kita baca untuk
kedua kalinya. Mengapa? Karena kita membuat kaitan-kaitan yang
berbeda, baik dengan unsur-unsur di dalam teks meupun kejadiankejadian
di luar teks. Dalam S/Z, Barthes membuat pembedaan antara
readerly dan writerly. Readerly berarti sifat teks itu terbuka (openended),
sedangkan writerly berarti sifat teks itu cenderung kering dan
literal. Walau demikian, Barthes menekankan kekuatan aktivitas
pembacaan untuk mendapatkan makna beragam atas sebuah teks.
Karena itu, Bartheslah yang mengumandangkan ―kematian pengarang‖
(the death of the subject!)
Di akhir tahun 1970-an, Barthes bahkan menganjurkan
―hedonisme‖ sebagai strategi untuk membaca. Ia makin manjauh dari
Strukturalisme klasik dan mulai merambah Poststrukturalisme.
Bahkan, ia meninggalkan upaya untuk menyusun sebuah teori yang
koheren atau pendekatan sistematik, dan kemudian memakai
pendekatan aforistik seperti Nietzsche. Ia juga mengemukakan konsep
jouissance—kata Prancis yang mencakup pengertian perasaan ekstasis
dan perasaan seksual. Dalam bukunya The Pleasure of the Text (1973),
Barthes melihat bahwa teks itu membawa serta suatu kenikmatan yang
dekat dengan seks. Lewat bukunya ini, Barthes sekaligus menarik
perhatian kita akan adanya fusi (peleburan) unsur-unsur intelektual,
badaniah, dan emosional—tema yang kelak terbukti sentral dalam upaya
para pemikir post-strukturalis untuk menjungkirkan dan
mempertanyakan nalar.
M a r s h a l l S h a l i n s
Awalnya, Marshall Shalins adalah seorang antropolog materialis.
Kelak ia memberi perhatian lebih pada teori kebudayaan yang sarat
dengan pengaruh Strukturalisme kultural. Culture and Practical Reason
(1976) mungkin adalah bukunya yang paling berpengaruh dalam ranah
kajiannya. Menurut Philip Smith (2001), dalam bukunya ini, Shalins
menantang gagasan Marx tentang kebudayaan dengan mengatakan
bahwa kode-kode budaya tertentu membentuk preferensi konsumen;
dan dengan demikian, pada gilirannya mempengaruhi bentuk produksi
ekonomi. Ini berarti kebudayaanlah yang menentukan bentuk
kehidupan ekonomi dan bukan sebaliknya sebagaimana diklaim oleh
8
Marxisme. Menurutnya, tatanan budaya (cultural order)
diwujudnyatakan dalam tatanan benda-benda (order of goods). Produksi
adalah reproduksi kebudayaan dalam sistem benda-benda (system of
objects). Dengan kata lain, barang-barang yang dikonsumsi sebenarnya
merupakan penanda (signifier) dalam sistem kultural dan sosial, dan
sistem ekonomi kemudian merespons kode tersebut dengan
memproduksi signifier (lain) lagi.
Contohnya, di Amerika daging dikodekan oleh sistem tanda yang
melambangkan kekuatan, kejantanan, dan sebagainya. Kode budaya ini
selanjutnya menimbulkan permintaan (demand). Tetapi, pertanyaan
kritis yang diajukan Sahlin: Mengapa yang diproduksi secara besarbesaran
adalah daging sapi (beef), dan bukan daging kuda atau daging
anjing? Jawabannya, menurut Sahlin, terletak dalam kode budaya yang
disebutnya sebagai ―Sistem Daging Amerika.‖ Tabu terbesar bagi
manusia adalah kanibalisme, maka kode biner melihat daging hewan
lebih disukai manusia sebagai bahan makanan. Dalam dunia binatang,
kode biner itu lantas diterjemahkan dengan cara memilah-milah hewan
yang mirip manusia dan yang kurang mirip. Daging sapi dipilih karena
sapi jauh dari keserupaan dengan manusia. Sementara itu, kuda atau
anjing dalam masyarakat Amerika dilihat lebih dekat denagn manusia
(dijadikan binatang peliharaan atau Pet, diberi nama, dan sebagainya).
C l a u d e L e v i – S tr a u s s
Levi-Strauss, filsuf berdarah Yahudi kelahiran Belgia (1914) ini
dikenal sebagai Bapak Strukturalisme, karena dialah yang pertama kali
menggunakan pendekatan linguistik struktural dalam kajian tentang
budaya, yang pemikirannya dipengaruhi oleh Marx, Freud, dan ilmu
geologi (Philip Smith, 2001). Budaya adalah bahasa, karena menurut
Strauss, material yang digunakan dalam membangun bahasa pada
dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan material yang
membentuk kebudayaan. Material itu, adalah relasi-relasi logis, oposisi,
korelasi, dan sebagainya. Baik bahasa maupun kebudayaan merupakan
hasil pikiran manusia, sehingga ada korelasi di antara keduanya.
Disamping itu, menurut Ahimsa Putra (2001), Levi-Strauss
mengemukakan beberapa asumsi yang mendasari penggunaan
paradigma (linguistik) struktural dalam menganalisis kebudayaan.
Pertama, beberapa aktivitas sosial seperti mitos/dongeng, ritualritual,
sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, dan
sebagainya, secara formal dapat dilihat sebagai bahasa, yakni sebagai
tanda dan simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Ada keteraturan
(order) dan keterulangan (regularities) dalam fenomena-fenomena
tersebut.
Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa dalam diri manusia
secara genetis terdapat kemampuan structuring, menyusun suatu
struktur tertentu di hadapan gejala-gejala yang dihadapinya. Gejalagejala
itu mungkin membentuk suatu struktur yang disebut struktur
permukaan (surface structure). Tugas seorang strukturalis adalah
menyingkap struktur dalam (deep structure) dari struktur permukaan
tersebut.
9
Ketiga, sebagaimana makna sebuah kata ditentukan oleh relasirelasinya
dengan kata-kata lain pada suatu titik waktu tertentu
(sinkronis), para strukturalis percaya bahwa relasi-relasi suatu fenomena
budaya dengan fenomena-fenomena lain pada suatu titik waktu
tertentulah yang menentukan makna fenomena tersebut.
Keempat, relasi-relasi pada struktur dalam (deep structure) dapat
diekstrak dan disederhanakan menjadi oposisi biner (binary opposition),
misalnya ―menikah >< tidak menikah‖, ―siang >< malam‖, ‖hitam ><
putih‖, ‖besar >< kecil‖, dan sebagainya.
Kelima, sebagaimana orang menerapkan hukum-hukum bahasa
tanpa sadar, demikian pula orang menjalankan ―hukum-hukum‖ dalam
hidup sosial-kemasyarakatan tanpa sadar.
Menurut Philip Smith (2001) lebih jauh, pengaruh pendekatan
Lévi-Straussian mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1960-an,
yang ditandai dengan terbitnya The Savvage Mind (la pensée Sauvage).
Akan tetapi di akhir tahun 1960-an, terutama dengan kasus Perang
Vietnam dan gerakan mahasiswa Paris tahun 1968, mulai dirasakan
bahwa strukturalisme tidak dapat menjawab persoalan sehingga
dibutuhkan teori yang lain. Muncullah kemudian teori yang akan
memperhitungkan peran kekuasaan (power), diskursus, dan sejarah
dalam kebudayaan. Pada awal tahun 1970-an, orang misalnya mulai
berpaling pada Marxisme struktural dari Althusser. Berbeda dengan
konsep pikiran kolektif yang mengambang (free-floating collective mind)
dari Lévi-Strauss, orang kemudian lebih memperhatikan subjek pelaku
tindakan (agency) seperti dinyatakan oleh Giddens (Priyono, 2001),
institusi, dan sejarah dalam konstruksi dan penyebaran sistem
semiotika. Karya Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (1977),
misalnya, berupaya menyatukan tindakan, kekuasan, dan perubahan
dalam kerangka pemikiran strukturalis dan kemudian post-strukturalis
tentang ranah budaya.
HIPERSEMIOTI KA & POSTSTRUKTURALISME
U p a y a M e l a m p a u i O p o s i s i B i n e r
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, semiotika atau semiologi
adalah aliran pemikiran yang bermula dari kajian linguistik, dan
kemudian berkembang menjadi kajian tentang kebudayaan. Oleh sebab
itu, semiotika banyak digunakan sebagai pisau analisis dalam studi
sastra, senirupa, komunikasi dan iklan, mode dan fashion, arsitektur,
gaya hidup, dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan pemikiran
Poststrukturalisme yang berjalin berkelindan dengan Postmodernisme,
semiotika dipandang tidak lagi memadai untuk menjelaskan berbagai
fenomena kebudayaan –yang dalam kultur kapitalisme, konsumerisme,
komunikasi, informasi, pasar, komoditas, masyarakat konsumer,
kebudayaan pop, dunia fantasi- melampaui realitas (hyperrealitas).
Karena itu, muncul terminologi baru (neologi), yang disebut
Hipersemiotika (hypersemiotics).
Sebelum menelaah apa yang dimaksud dengan Hipersemiotika,
lebih dulu akan dikaji gerakan intelektual Poststrukturalisme yang
10
merupakan basis bagi penciptaan analisis Hipersemiotika. Menurut Amir
Pilliang (2003), Hipersemiotika tidak bisa dipisahkan dari
Poststrukturalisme, disebabkan ada beberapa persamaan konsep kunci
yang digunakan di dalamnya. Perbedaan keduanya terletak pada
penekanan. Penggunaan awalan hiper pada Hipersemiotika dengan
sendirinya menekankan aspek-aspek melampaui atau berlebihan pada
wacana semiotika, yang di dalam Postrukturalisme tidak
diperbincangkan secara khusus. Apa yang dicoba dilakukan adalah
melihat keterkaitan antara Hipersemiotika sebagai sebuah teori tanda,
dan Hiperealitas sebagai teori realitas, serta bagaimana peran tanda
dalam mengkonstruksi dunia tersebut.
Poststrukturalisme dipandang sebagai kelanjutan, perbaikan, dan
perkembangan, daripada sebagai pemikiran yang bertolakbelakang
dengan Strukturalisme. Oleh sebab itu, agak sulit untuk menarik garis
pembatas yang tegas di antara keduanya, bahkan pemikir yang sama
seperti Roland Barthes pun digolongkan sebagai Strukturalis (pada
awalnya, masa muda) dan kemudian Poststrukturalis (pada
perkembangan terakhir, masa tuanya). Selain Barthes, para penggagas
Poststrukturalisme yang terkenal antara lain; Michael Foucault,
Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Felix
Guattari.
Disamping itu, menurut Philip Smith (2001), kesulitan untuk
menegaskan batas antara Strukturalisme dan Poststrukturalisme juga
disebabkan oleh: (1) tidak adanya Poststrukturalisme tunggal, yang ada
hanyalah pluralitas (keanekaan) pendekatan yang bernaung di bawah
terminologi itu, dan karena itu agak sulit digeneralisasi; (2) publikasi
dan diskusi Poststrukturalisme hampir selalu dikacaukan dengan upaya
simultan dalam mendefinisikan Postmodernisme dan Postmodern, dan
karena itu terdapat kekecauan terminologi.
Terlepas dari persoalan itu, Philip Smith (2001) lebih lanjut
menyatakan, bahwa di antara Strukturalisme dan Poststrukturalisme
dapat ditemukan titik pertemuan dan perbedaannya. Persamaannya,
baik Strukturalisme maupun Poststrukturalisme menyepakati soal
kosakata budaya, kematian subjek (the death of the subject), serta
menggunakan bahasa (linguistik) dan model-modal tekstual dari budaya.
Sementara itu, hal pokok yang menjadi perbedaan antara
Strukturalisme dan Poststrukturalisme adalah dalam epistemologi
(metode penyelidikan pengetahuan dan kebenaran), konsep tentang
kekuasaan, dan konsep tentang sejarah. Strukturalis mempromosikan
pandangan bahwa analisis ilmiah yang dilakukannya merupakan
pembacaan objektif, membuka kebenaran tunggal, dan sekaligus
kebenaran universal, dengan menerapkan pendekatan yang ―ilmiah‖.
Bagi kalangan Postsrukturalis, pandangan ini menyesatkan, oleh sebab
itu mereka melakukan kritik yang berkisar pada sejumlah pokok sebagai
berikut.
Pertama, lokasi sosial dan konstruksi historis dari si pengamat
dan pengetahuan yang mereka miliki berperan penting dalam
pembentukan pengertian dan teori. Berkaitan dengan hal itu, para
pemikir Poststrukturalis mengusulkan agar analisis memusatkan
11
perhatian pada usaha-usaha eksplorasi kondisi-kondisi sosial yang
melahirkan pengetahuan serta dampak dari klaim-klaim pengetahuan
dan kebenaran dalam setting sosial tertentu.
Kedua, kaum Poststrukturalis berargumen bahwa kebudayaankebudayaan
dan teks-teks bisa ditafsirkan dengan beraneka macam cara
dan mampu menghasilkan pembacaan yang beragam—tidak selalu
seragam, dan beberapa diantaranya mungkin saling bertentangan.
Ketiga, sementara kaum Strukturalis menekankan kualitas
matematis yang kering dari sistem-sistem kebudayaan, kaum
Poststrukturalis merayakan hasrat, kesenangan, tubuh, dan permainan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengamatan atas
kebudayaan maupun tulisan-tulisan teoretis tentangnya.
Keempat, soal kekuasaan (power). Kaum Strukturalis melihat
bahwa budaya dan struktur sosial bukanlah produk dari kekuasaan
tetapi lebih merupakan hasil dari ikatan sosial, kebutuhan-kebutuhan
manusia, dan faktor ketidaksadaran kolektif yang bersifat transendental.
Meskipun pemikiran Poststrukturalis tentang budaya bisa dilihat
sebagai bangunan yang berfondasikan pengertian Marxis tentang budaya
sebagai produk dari kekuasan, namun Poststrukturalis sekaligus juga
menolak metanaratif dari Marxisme. Kemudian, yang mau ditunjukkan
oleh para pemikir Poststrukturalis adalah keberlimpahan dan tarikmenarik
antara beraneka macam diskursus dan struktur
kekuasaan/pengetahuan.
Kelima, sementara itu, menyangkut sejarah, pemikiran
Strukturalis cenderung menekankan sejarah sebagai sesuatu yang bisa
dketahui dan bersifat linear, sementara kaum Poststrukturalis berpikir
bahwa sejarah berhubungan dengan pandangan kekuasaan dan
kebenaran. Mereka menolak konsep metanaratif seperti emansipasi dan
kemajuan (the idea of progress). Menurut mereka, jantung dari sejarah
adalah hakikatnya yang chaotic (kacau), dan bukan kemampuannya
untuk menyingkap rencana dan tatanan. Menimba inspirasi dari
Nietzsche, ide-ide deterministis seperti tahapan-tahapan historis yang
niscaya dalam sejarah (contoh: feodalisme, kapitalisme) diganti dengan
keterputusan (discontinuity), patahan (rupture), kontingensi, dan
kebetulan (chance), dalam pembentukan dinamik kultural dan
institusional.
Selanjutnya, berkaitan dengan pembahasan hipersemiotika, Amir
Pilliang (2003) menjelaskan bahwa hipersemiotika, yang berarti
melampaui batas semiotika, digunakan untuk menjelaskan sebuah
kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir —khususnya
pemikir semiotika mutakhir— yang berupaya melampaui batas oposisi
biner yang secara konvensional dibangun antara
struktur/perkembangan, konvensi/perubahan, fisika/metafisika,
sinkronik/diakronik, penanda/petanda, langue/parole, tanda/realitas.
Prinsip oposisi biner ini tampaknya sangat sentral dalam pemikiran
struktural mengenai semiotika. Hipersemiotika, dalam hal ini, mencoba
membongkar tembok oposisi biner ini, dan mengembangkan beberapa
prinsip, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
12
Pertama, prinsip perubahan dan transformasi. Hipersemiotika
menekankan pada perubahan tanda ketimbang struktur tanda, produksi
tanda-tanda ketimbang reproduksi kode dan makna, dinamika
pembiakan tanda yang tak berhingga ketimbang relasi yang tetap.
Reproduksi semiotik (semiotic reproduction) adalah relasi, yang di
dalamnya tanda-tanda (penanda dan petanda/bentuk dan makna) selalu
diproduksi ulang dalam bentuk yang sama oleh mesin reproduksi
semiotik (semiotic reproduction machine). Artinya, semiotika semacam ini
sangat menggantungkan dirinya pada konvensi di kanon-kanon.
Produksi semiotik (semiotic production) sebagai ciri Hipersemiotika,
sebaliknya, adalah sebuah relasi yang di dalamnya tanda-tanda tidak
lagi menggantungkan dirinya pada konvensi, kode, atau makna yang
ada, dan membiak tanpa btas dan tanpa pembatas lewat sebuah mesin
produksi semiotik (semiotic production machine) yang terus berputar
tanpa henti.
Kedua, prinsip imanensi (immanency). Hipersemiotika
menekankan sifat imanensi sebuah tanda ketimbang sifat
transendensinya, permainan permukaan material (fisik) ketimbang
kedalaman (metafisik), permainan penanda ketimbang petanda,
pengolahan bentuk ketimbang ketetapan makna, permainan kulit
ketimbang kepastian isi (content), penjelajahan jagad raya simulasi
ketimbang kanon-kanon representasi. Ketika rantai yang
menghubungkan penanda atau petanda, konsep atau makna dalam
sebuah relasi pertandaan diputuskan, maka yang terbentuk adalah
sebuah tanda yang tidak lagi menggantungkan dirinya pada rujukan
realitas, dan mengembangakan dirinya di dalam sebuah medan
permainan pure simulacrum, atau pure immanence, yang membentuk
sebuah dunia hiperealitas. Dengan demikian, ada kecenderungan
postmetafisik (post-metaphsysics) pada Hipersemiotika, dalam pengertian
bahwa yang dirayakan di dalamnya adalah permainan bebas penanda
(signifier) yang bersifat permukaan, dan melihat keberadaan petanda
(yang metafsik) hanya sebagai alibi saja dari permainan tersebut.
Ketiga, prinsip perbedaan atau pembedaan (difference).
Hipersemiotika menekankan perbedaan (difference) ketimbang identitas,
konvensi, dan kode sosial. Dalam hal ini, harus dibedakan antara
konsep perbedaan dan kebaruan (newness). Hipersemiotika bukanlah
mesin kebaruan (progress machine) seperti mesin modernisme, yang
mengharuskan adanya kebaruan, yaitu sesuatu yang belum pernah ada
sebelumnya. Ia, sebaliknya, adalah mesin pembedaan (difference
machine), yang raison d’erte-nya adalah memproduksi jagad raya
perbedaan-perbedaan tanda, yang tidak selalu harus baru. Sehingga,
penjelajahan menelusuri puing-puing tanda masa lalu (pastiche) sangat
dirayakan di dalamnya, dalam rangka menciptakan relasi-relasi dialogis
antarwaktu dan antar-ruang (ruang-waktu masa lalu/masa kini/ masa
depan) di dalam sebuah wadah ruang yang sama.
Keempat, prinsip permainan bahasa (language game).
Hipersemiotika menekankan permainan pada tingkat parole ketimbang
langue, event ketimbang sistem, reinterpretasi terus-menerus tanda
ketimbang pembangunan ulang struktur. Hipersemiotika, dengan
13
demikian, adalah mesin permainan bahasa (game machine), yang
memproduksi secara terus-menerus rimba raya permainan tanda-tanda
sebagai komoditi, tanpa merasa perlu mengikatkan diri pada sebuah
sistem yang tetap, semata dalam rangka menghasilkan keterpesonaan,
kesenangan, gairah, dan ekstasi dalam bermain itu sendiri. Yang
dipentingkan di dalamnya adalah pesona dalam tindakan (event)
produksi tanda itu sendiri (ekstasi komunikasi atau dalam bahasa
Marshall McLuhan, medium is the message) bukan makna yang
terkandung di dalamnya. Hipersemiotika, dengan demikian adalah
sebuah mesin pembunuh makna, yang di dalamnya makna tidak
mendapat ruang hidup disebabkan hegemoni permainan bebas pada
tingkat permukaan tanda (penanda—semiotic killing machine).
Kelima, prinsip simulasi (simulation). Simulasi adalah penciptaan
realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai
refrensinya, dan kini menjelma menjadi semacam realitas kedua (second
reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri (simulacrum of
simulacrum). Dengan demikian, simulasi bukanlah sebuah bentuk
representasi. Bahasa atau tanda-tanda di dalamnya seakan-akan
merefleksikan realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas
artifisial (artificial reality), yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi
simulasi, sehingga pada tingkat tertentu realitas ini tampak (dipercaya)
sebagai sama nyatanya atau bahkan lebih nyata dari realitas yang
sesungguhnya. Dalam pengertian inilah, tanda melebur dengan realitas.
Artinya, lewat kecanggihan teknologi simulasi, antara tanda dan realitas
ini—sebagai ciri Hipersemiotika—dengan sangat mudah ditemukan di
dalam media-media digital seperti internet.
Keenam, prinsip diskontinuitas (discontinuity). Hipersemiotika
menekankan pada diskontinuitas semiotik ketimbang kontinuitas
semiotik. Semiotic continuum adalah durasi atau ekstensi yang
berkelanjutan dan homogen secara absolut, yang di dalamnya tidak
dimungkinkan adanya perbedaan tanda, kode, dan makna—sebuah
sekuensi beraturan semiotik yang sama sekali tanpa interupsi. Semiotic
discontinuum, sebaliknya, adalah durasi atau ekstensi yang penuh
interupsi, keterputusan (break), dan persimpangan (rupture), yang di
dalamnya tercipta sebuah ruang bagi perbedaan dan pemainan bebas
tanda kode-kode. Bahasa disarati oleh rimba raya kejutan-kejutan, yang
menggiring setiap orang untuk semakin menjauh dari sistem atau
struktur awal yang mengikat mereka. Kejutan-kejutan interupsi semiotik
seperti ini merupakan sebuh bagian kehidupan sehari-hari di dalam
dunia realitas yang dikuasai oleh komoditi dan tanda-tanda kapitalisme,
seperti pda semiotika MTV, yang di dalamnya makna menjadi realitas
marjinal disebabkan begitu hegemoniknya permainan pada tingkatan
permukaan penanda.
Dunia Hipersemiotika, kata Pilliang lebih lanjut, dengan demikian,
tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan oleh
Baudrillard (1983)—sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya
tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan bebas tanda-tanda
yang melampaui (hyper-sign)—sebuah tanda yang melampaui prinsip,
definisi, struktur, dan fungsinya sendiri. Dunia hipeRrealitas, dengan
14
demikian, dapat dipandang sebagai sebuah dunia perekayasaan (dalam
pengertian distorsi) realitas lewat hyper-signs, sedemikian rupa, sehingga
tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang
direpresentasikannya. HiperReaLitas menciptakan suatu kondisi, yang di
dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur
dengan masa kini; fakta bersimpang siur dengan kebenaran. Kategorikategori
kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak
berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.
C A T A T A N A K H I R
T e o r i C h a o s atau K em at i an S em i ot i k a
Dengan munculnya Hipersemiotika, lantas mengemuka
pertanyaan: Apakah Semiotika akan mengikuti jejak ―akhir‖ atau
―kematian‖ sebagai tema utama dalam dekade terakhir, seperti ―akhir
ideologi‖, ―akhir nasionalisme‖, ―akhir sejarah‖, ―akhir modernisme‖,
―kematian ilmu pengetahuan‖, ―kematian ilmu ekonomi‖, ―kematian
realitas‖, dan lain-lain?
Bila relasi Semiotika dan Hipersemiotika dilihat secara dikotomis,
maka yang berkembang adalah cara berpikir either/or—memilih salah
satu dari dua pilihan--, yang didalamnya kelahiran yang satu
mengakibatkan kematian yang lain. Dunia dilihat sebagai dua wajah
yang tidak bisa disatukan. Di satu pihak, dunia bahasa, tanda, simbol,
kode, dan konvensi sosial yng hidup di dalam stabilitas, kemapanan,
dan ketertutupannya, yang di dalamnya tidak ada pintu bagi perubahan,
perkembangan, dan transformasi, yang steril bagi permainan bahasa
dan permainan bebas tanda. Dipihak lain, dunia bahasa yang dibangun
oleh prinsip dekonstruksi, permainan bebas, perbedaan,
keanekaragaman, pembaharuan, trasnformasi, mutasi, pergantian
secara terus-menerus. Di antara dunia ini, seakan-akan terdapat sebuah
benteng pemisah, yang menyebabkan kedua dunia itu tidak bisa
dipertemukan, apalagi disatukan.
Amir Pilliang (2003) tidak melihatnya seperti itu. Menurutnya,
perbincangan mengenai Semiotika dan Hipersemiotika dapat dilihat
secara metaforis sebagai perbincangan mengenai relasi keberaturan
(order) dan ketidakberaturan (disorder) di dalam teori chaos.
Berdasarkan teori chaos, dunia tidak bisa dilihat secara parsial
dan dikotomis—sebagai sebuah keberaturan (order) semata, atau
ketidakberaturan (disorder) semata—melainkan kesalingberkaitan yang
mutual di antara kedua unsur tersebut. Chaos, adalah tingkah laku
yang sangat kompleks, irreguler dan random di dalam sebuah sistem
yang tidak bisa diprediksi di mana ia akan ditemukan di tempat
berikutnya, oleh karena ia bergerak secara acak, sehingga tidak akan
pernah muncul dalam keadaan yang sama untuk kedua kalinya.
Menurut Hogan (2005), banyak peneliti teori chaoplexity yang
menegaskan, bahwa banyak fenomena di dalam alam yang muncul,
15
menampilkan sifat-sifatnya yang tidak bisa diprediksi atau dimengerti
dengan hanya mengkaji beberapa bagian sistemnya. Akan tetapi, bila
keadaan acak tersebut diperhatikan dalam waktu yang cukup lama
dengan mempertimbangkan dimensi ruang waktu, maka akan
ditemukan juga keteraturan.
Chaos adalah keadaan antara: order dan disorder, di mana di
dalam setiap disorder selalu ada order, dan sebaliknya, di setiap order
selalu ada disorder. Sehingga, antara satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan. Tidak mungkin dunia dibangun hanya dari disorder
saja, atau order saja. Dunia dibangun berdasarkan prinsip
keanekaragaman, pluralitas, divesitas, multiplitas, dan perbedaanperbedaan
yang sangat kaya dan kompleks, tetapi sekaligus kesatuan,
keseimbangan, dan kesamaan tujuan.
Berdasarkan analogi dengan teori chaos ini, semiotik struktural
yang dikembangkan de Saussure dapat dilihat sebagai si pembangun
order dalam bahasa (lewat istilah-istilah kode, konvensi, keseimbangan);
sementara, Hipersemiotika yang dikembangkan oleh Derrida dan para
pendukung Postrukturalis lainnya, dapat dilihat sebagai si perusak
order, dengan perkataan lain si pembuat disorder dalam bahasa (lewat
istilah-istilah dekonstruksi, indeterminasi, differance, permainan bebas).
Selanjutnya, Amir Pilliang (2003) menyatakan, bahwa dunia
disorder yang ditawarkan oleh hipersemiotika adalah dunia yang
dipenuhi oleh enerji kegelisahan, gairah, hasrat, kehendak, jouissance,
dan ekstasi, yang mendorong bgi penjelajahan, pencarian, serta sintesissintesis
baru semiotis, sehingga menciptakan peluang kreativitas,
dinamisitas, dan produktivitas tanda. Akan tetapi, belajar dari teori
chaos, tidak mungkin dunia (tanda) hanya dibangun oleh prinsip
disorder itu semata. Selalu saja ada ruang, posisi, segmen, teritorial,
atau celah di dunia yang di dalamnya prinsip order (semiotika) menjadi
determinan.
Pilliang memberi contoh. Bayangkan, misalnya, sebuah cockpit
pesawat terbang, yang dibangun berdasarkan prinsip
hipersemiotika/disorder, apakah yang akan terjadi? Pesawat itu akan
hancur! Cockpit pesawat, sebaliknya, harus dibangun berdasarkan
prinsip semiotika konvensional/order, yang berpijak pada konvensi,
kode, dan makna-makna yang ketat dan memaksa (arbitary). Akan
tetapi, di bagian lain dari pesawat ada saja ruang, tempat, atau celah
yang di dalamnya dapat berlangsung disorder atau hipersemiotika,
misalnya seorang penumpang (mungkin seorang skizofrenik) yang
membaca majalah terbalik, dengan kode-kode yang sangat personal.
Dengan demikian, kelahiran hipersemiotika tidak berarti kematian
semiotika.
D A F T A R R U J U K A N
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2001). Strukturalisme Levi-Strauss; Mitos dan Karya
Sastra. Yogyakarta: Galang Press
Amir Pilliang, Yasraf (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra
16
-------------------------- (1999). Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan
-------------------------- (2003). Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga
Serangkai
Barthes, Roland (1967/1985). Element of Semiology. New York: Hill and Wang
---------------------(1976). Mythology. London: Paladin Book
Bauldrillard, Jean (1970/1998). The Consumer Society: Myths & Structures.
London: Sage Publications
------------------------ (1983). Simulations. New York: Semiotext(e).
Horgan, John (2005). The End of Science: Senjakala Ilmu Pengetahuan. Terj.
Djejen Zaenuddin dari The End of Science: Facing the Limits of Knowledge
in the Twilight of the Scientific Age. Jakarta: Mizan Publika.
Priyono, Herry B. (2002). Anthony Giddens; Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Ritzer, George (2005). Teori Sosial Posmodern. Terj. Muhammad Taufik dari: The
Postmodern Social Theory. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Smith, Philip (2001). Cultural Theory: An Introduction. Oxford & Massachusetts:
Blackwell Publishers
Sutrisno, Muji & Putranto, Hendar. Ed. (2005). Teori-teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius
Trifonas, Peter Pericles (2003). Barthes dan Imperium Tanda. Terj. Sigit
Djatmiko dari: Barthes and The Empire of Signs. Yogyakarta: Penerbit
Jendela

Tidak ada komentar:

Posting Komentar