1. Pendahuluan
Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu
bahasa’ atau ‘studi ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam
The New Oxford Dictionary of English (2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:
“
The scientific study of language and its structure, including
the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of
linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics,
computational linguistics, comparative linguistics, and structural
linguistics.”
Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang
bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang
bahasa dapat dibedakan antara (1) tata bahasa tradisional dan (2)
linguistik modern. Selanjutnya Linguistik dapat dibagi menjadi beberapa
cabang yaitu, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
2. Tahapan Studi Linguistik
a. Tahap pertama yaitu tahap spekulasi maksudnya pernyataan tentang
bahasa tidak didasarkan pada data empiris, melainkan pada dongeng/cerita
dan klasifikasi.
b. Tahap kedua, tahap observasi dan klasifikasi. Pada tahapan ini
diadakan pengamatan dan penggolongan terhadap bahasa-bahasa yang
diselidiki, tetapi belum sampai pada merumuskan teori.
c. Tahap ketiga, tahap perumusan teori atau membuat teori-teori, sehingga dapat dikatakan bersifat ilmiah.
3. Sejarah dan Aliran Linguistik
3.1 Linguistik Tradisional
Sejarah Linguistik dimulai dari linguistik tradisional,
Tata
bahasa tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan
semantik; sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan struktur atau
ciri-ciri formal yang ada dalam suatu bahasa tertentu.
Misalnya
dalam merumuskan kata kerja, tata bahasa tradisional mengatakan kata
kerja adalah kata yang menyatakan tindakan atau kejadian; sedangkan tata
bahasa struktural menyatakan kata kerja adalah kata yang dapat
berdistribusi dengan frase “dengan . . . .”.
Dalam perkembangannya di dalam aliran linguistik tradisional dikenal
linguistik zaman Yunani. Sejarah studi bahasa pada zaman Yunani ini
sangat panjang, yaitu dari lebih kurang abad ke-5 S.M sampai lebih
kurang abad ke 2 M. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan
pada linguis pada waktu itu adalah pertentangan antara bahasa bersifat
alami (fisis) dan bersifat konvensi (nomos). Bersifat alami atau fisis
maksudnya bahasa itu mempunyai hubungan asal-usul, sumber dalam
prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti di luar manusia itu
sendiri. kaum naturalis adalah kelompok yang menganut faham itu,
berpendapat bahwa setiap kata mempunyai hubungan dengan benda yang
ditunjuknya. Atau dengan kata lain, setiap kata mempunyai makna secara
alami, secara fisis. Sebaliknya kelompok lain yaitu kaum konvensional,
berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi, artinya, makna-makna kata
itu diperoleh dari hasil-hasil tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang
mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Selanjutnya yang menjadi pertentangan adalah antara analogi dan
anomali. Kaum analogi antara lain Plato dan Aristoteles, berpendapat
bahwa bahasa itu bersifat teratur. Karena adanya keteraturan itulah
orang dapat menyusun tata bahasa. Jika tidak teratur tentu yang dapat
disusun hanya idiom-idiom saja dari bahasa itu. Sebaliknya, kelompok
anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Kalau bahasa itu
tidak teratur mengapa bentuk jamak bahasa Inggris child menjadi
children, bukannya childs; mengapa bentuk past tense bahasa Inggris dari
write menjadi wrote dan bukannya writed ?
Kelompok-kelompok yang termasuk dalam aliriran ini adalah Kaum Sophis (abad ke-5 S.M), Plato (429-347 S.M),
Aristoteles (384-322 S.M),
Kaum Stoik (Abad ke- 4S.M), Kaum Alexandrian.
Kemudian dikenal
lingistik zaman
Romawi. Studi bahasa pada zaman Romawi dapat dianggap kelanjutan dari
zaman Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani dan munculnya kerajaan
Romawi. Tokoh pada zaman romawi yang terkenal antara lain, Varro (116 –
27 S.M) dengan karyanya
De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya
Institutiones Grammaticae.
Lalu, linguistik zaman Pertengahan.
Studi bahasa
pada zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh
para filsuf skolastik, dan bahasa Latin menjadi Lingua Franta, karena
dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa ilmu
pengetahuan.
Berikutnya, linguistik zaman Renaisans.
Dalam sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans ini yang
menonjol yang perlu dicatat, yaitu :
1) Selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada waktu itu juga menguasai bahasa Yunani, bahasa Ibrani, dan bahasa Arab.
2) Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-bahasa
Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan,
penyusunan tata bahasa dan malah juga perbandingan.
Dan yang terakhir yang termasuk ke dalam linguistik tradisional adalah masa menjelang lahirnya linguistik modern
. Dalam
masa ini ada satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah studi
bahasa, yaitu dinyatakan adanya hubungan kekerabatan antara bahasa
Sanskerta dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin dan bahasa-bahasa Jerman
lainnya. Dalam pembicaraan mengenai linguistik tradisional di atas, maka
secara singkat dapat dikatakan, bahwa :
a) Pada tata bahasa tradisional ini tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulisan;
b) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil patokan-patokan dari bahasa lain, terutama bahasa Latin;
c) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara prekriptif, yakni benar atau salah;
d) Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan melibatkan logika;
e) Penemuan-penemuan atau kaidah-kaidah terdahulu cenderung untuk selalu dipertahankan.
3.2. Linguistik Strukturalis
Linguistik strukturalis berusaha mendiskripsikan suatu bahasa
berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Berikut ini
merupakan tokoh dan aliran linguistik strukturalis.
Pertama, Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure (1857 – 1913)
dianggap sebagai bapak linguistik modern berdasarkan pandangan-pandangan
yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun
dan diterbitkan oleh Charles Bally dan albert Sechehay tahun 1915.
Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep :
1) Telaah sinkronik dan diakronik
Telaah bahasa secara sinkronik adalah mempelajari suatu bahasa pada
suatu kurun waktu tertentu saja. Sedangkan telaah bahasa secara
diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa, atau sepanjang zaman
bahasa itu digunakan oleh para penuturnya.
2) Perbedaan La Langue dan La Parole
La Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi
sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat
bahasa, sifatnya abstrak. Sedangkan yang dimaksud dengan
La Parole adalah
pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat
bahasa; sifatnya konkret karena parole itu tidak lain daripada realitas
fisis yang berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lain.
3) Perbedaan signifiant dan signifie
Signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita, sedangkan
signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita.
4) Hubungan sintagmatik dan paradigmatif
Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur
yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan,
bersifat linear. Sedangkan
hubungan paradigmatik adalah
hubungan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan
unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan.
Kedua,
Aliran praha
terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu
Vilem Mathesius (1882 – 1945). Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah
yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi.
Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi
mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem.
Ketiga, Aliran Glosematik lahir di Denmark, tokohnya antara lain :
Louis Hjemslev (1899 – 1965), yang meneruskan ajaran Ferdinand de
Saussure. Hjemslev juga menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan,
dan mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.
Keempat, aliran firthian, nama John R. Firth (1890 – 1960) guru besar
pada Universitas London sangat terkenal karena teorinya mengenai
fonologi prosodi. Karena itulah, aliran yang dikembangkannya dikenal
dengan nama aliran Prosodi.
Kelima, aliran sistemik,
nama aliran linguistik
sistemik tidak dapat dilepaskan dari nama M.A.K Halliday, yaitu salah
seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa,
khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagai
penerus Firth dan berdasarkan karangannya
Categories of the Theory of Grammar, maka teori yang dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan nama
Neo-Firthian Linguistics atau
Scals and Category Linguistics. Namun kemudian ada nama baru, yaitu
Systemic Linguistics (SL).
Keenam, Leonard Bloomfield dan strukturalis Amerika. Beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya aliran strukturalisme :
1) Pada masa itu para linguis di Amerika menghadapi masalah yang
sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian di Amerika yang belum
diperlukan.
2) Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim
filsafat yang berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat
behaviorisme.
3) Diantara linguis-linguis itu ada hubungan yang baik, karena adanya
The Linguistics Society of America, yang menerbitkan majalah
Language; wadah tempat melaporkan hasil kerja mereka.
Ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja mereka yang
sangat menekankan pentingnya data yang objektif untuk memberikan suatu
bahasa.
Ketujuh adalah Aliran Tagmemik. Aliran ini dipelopori oleh Kenneth L.
Price, seorang tokoh dari Summer Institute of Linguistics, yang
mewarisi pandangan-pandangan Bloomfeld, sehingga aliran ini juga
bersifat strukturalis, tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini
satuan dasar dan sintaksis adalah tagmem. Tagmem adalah korelasi antara
fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang
dapat saling diperlukan untuk mengisi slot tersebut.
3.3. Linguistik Tranformasional dan Aliran-aliran Sesudahnya
Dunia ilmu termasuk linguistik, bukan merupakan kegiatan yang statis,
melainkan merupakan kegiatan yang dinamis, berkembang terus menerus
sesuai dengan filsafat ilmu itu sendiri yang selalu mencari kebenaran
yang hakiki.
3.3.1. Tata Bahasa Transformasi
Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam
Chomsky. Sarjana inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui
bukunya
Syntactic Structures (1957), yang kemudian disebut
classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melalui
Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut
standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif
(generative syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori
extended standard theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku
generative semantics; tahun 1980
government and binding theory; dan tahun 1993
Minimalist program.
Setiap tata bahasa dari suatu bahasa, menurut Chomsky adalah
merupakan teori dari bahasa itu sendiri; dan tata bahasa itu harus
memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat
diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan
tidak dibuat-buat.
2) Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga
satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa
tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik
tertentu.
3.3.2. Semantik Generatif
Menjelang dasawarsa tujuh puluhan beberapa murid dan pengikut
Chomsky, antara lain Pascal, Lakoff, Mc Cawly, dan Kiparsky, sebagai
reaksi terhadap Chomsky, memisahkan diri dari kelompok Chomsky dan
membentuk aliran sendiri. Kelompok Lakoff ini, kemudian terkenal dengan
sebutan kaum Semantik generatif.
Menurut semantik generatif, sudah seharusnya semantik dan sintaksis diselidiki bersama sekaligus karena keduanya adalah satu.
3.3.3. Tata Bahasa Kasus
Tata bahasa kasus atau teori kasus pertama kali diperkenalkan oleh
Charles J. Fillmore dalam karangannya berjudul “The Case for Case” tahun
1968 yang dimuat dalam buku Bach, E. dan R. Harms
Universal in Linguistic Theory, terbitan Holt Rinehart and Winston.
Dalam karangannya yang terbit tahun 1968 itu Fillmore membagi kalimat
atas (1) modalitas, yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan
adverbia; dan (2) proposisi, yang terdiri dari sebuah verba disertai
dengan sejumlah kasus. Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini adalah
hubungan antara verba dengan nomina.
3.3.4. Tata Bahasa Relasional
Tata bahasa relasional muncul pada tahun 1970-an sebagai tantangan
langsung terhadap beberapa asumsi yang paling mendasar dari teori
sintaksis yang dicanangkan oleh aliran tata bahasa transformasi.
3.4. Tentang Linguistik Di Indonesia
Hingga saat ini bagaimana studi linguistik di Indonesia belum ada
catatan yang lengkap, meskipun studi linguistik di Indonesia sudah
berlangsung lama dan cukup semarak. Pada awalnya penelitian bahasa di
Indonesia dilakukan oleh para ahli Belanda dan Eropa lainnya, dengan
tujuan untuk kepentingan pemerintahan kolonial. Pendidikan formal
linguistik di fakultas sastra (yang jumlahnya juga belum seberapa) dan
di lembaga-lembaga pendidikan guru sampai akhir tahun lima puluhan masih
terpaku pada konsep-konsep tata bahasa tradisional yang sangat bersifat
normatif. Perubahan baru terjadi, lebih tepat disebut perkenalan dengan
konsep-konsep linguistik modern. Pada tanggal 15 November 1975, atas
prakarsa sejumlah linguis senior berdirilah organisasi kelinguistikan
yang diberi nama Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI). Anggotanya
adalah para linguis yang kebanyakan bertugas sebagai pengajar di
perguruan tinggi negeri atau swasta dan di lembaga-lembaga penelitian
kebahasaan. Penyelidikan terhadap bahasa-bahasa daerah Indonesia dan
bahasa nasional Indonesia, banyak pula dilakukan orang di luar
Indonesia. Misalnya negeri Belanda, London, Amerika, Jerman, Rusia, dan
Australia banyak dilakukan kajian tentang bahasa-bahasa Indonesia.
Sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, dan
bahasa negara maka bahasa Indonesia tampaknya menduduki tempat sentral
dalam kajian linguistik dewasa ini, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Pelbagai segi dan aspek bahasa telah dan masih menjadi kajian
yang dilakukan oleh banyak pakar dengan menggunakan pelbagai teori dan
pendekatan sebagai dasar analisis. Dalam kajian bahasa nasional
Indonesia, di Indonesia tercatat nama-nama seperti Kridalaksana,
Kaswanti Purwo, Dardjowidjojo, dan Soedarjanto, yang telah menghasilkan
tulisan mengenai pelbagai segi dan aspek bahasa Indonesia.
4. Kajian Fonologi
Bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disusun berdasarkan kesepakatan
bersama yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam rangka menjalankan
interaksi sosial. Interaksi yang dapat terjadi dapat menggunakan :
A bunyi → verbal
A tulis → lambang terhadap bunyi
Beberapa dasar tentang berbahasa :
Bebicara → bunyi
Mendengarkan → menyimak
Menulis → lambang
Membaca → memahami lambing
4.1 Defenisi Fonologi
Fonologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang mempelajari tata
bunyi/kaidah bunyi dan cara menghasilkannya. Mengapa bunyi dipelajari?
Karena wujud bahasa yang paling primer adalah bunyi. Bunyi adalah
Getaran udara yang masuk ke telinga sehingga menimbulkan suara.
Bunyi bahasa adalah bunyi yang dibentuk oleh tiga faktor, yaitu
pernafasan (sebagai sumber tenaga), alat ucap (yang menimbulkan
getaran), dan rongga pengubah getaran (pita suara). Fonologi dibedakan
menjadi, fonetik dan fonemik. Didalam fonologi terdapat istilah fonem,
fon, dan alofon. Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang masih abstrak
atau yang tidak diartikulasikan. Fonem merupakan aspek bahasa pada aspek
langue (istilah de Sausure), misalnya /t/. /d/, /c/. Fon adalah realisasi dari fonem (
parole),
atau bunyi yang diartikulasikan (diucapkan) misalnya {lari}. Alofon
adalah perbedaan bunyi yang tidak menimbulkan perbedaan makna,
misalnya /i/ dan /I/ dalam /menangIs/.
Bunyi Vokal : bunyi yang tidak mengalami hambatan di daerah
artikulator. Disebut juga huruf hidup karena dapat berdiri sendiri dan
dapat menghidupkan konsonan. Terdiri dari : a, i, u, e, o. Diftong → au,
ai, oi
.
4.2 Klasifikasi vokal :
Berdasarkan bentuk bibir
· Vokal bulat → a, o, u
· Vokal lonjong → i, e
Berdasarkan tinggi rendah lidah
· Tinggi → i
· Tengah → e
· Bawah → a
Berdasarkan maju mundurnya lidah
· Depan → i, a
· Tengah → e
· Belakang → o
4.3 Bunyi Konsonan
Bunyi Konsonan adalah bunyi yang mengalami hambatan dalam pengucapan.
4.3.1. Pembentukan konsonan
a) Bilabial : pembentukan konsonan oleh 2 bibir. (b, p, m)
b) Apikodental : pembentukan konsonan oleh ujung lidah dan gigi (t, d, h)
c) Labiodental : pembentukan konsonan oleh gigi dan bibir (f, v)
d) Palatal : lidah – langit-langit keras (c, j)
e) Velar : belakang lidah – langit-langit lembut (k,g)
f) Hamzah (glottal stop) : posisi pita suara tertutup sama sekali.
g) Laringal : pita suara terbuka lebar, udara keluar melalui geseran.
4.4 Macam-macam bunyi bahasa
a. Bunyi Segmental
Bunyi segmental ialah bunyi yang dihasilkan oleh pernafasan, alat ucap dan pita suara. Bunyi Segmental ada empat macam
- Konsonan= bunyi yang terhambat oleh alat ucap
- Vokal = bunyi yang tidak terhambat oleh alat ucap
- Diftong= dua vokal yang dibaca satu bunyi, misalnya: /ai/ dalam sungai, /au/ dalam /kau/
- Kluster= dua konsonan yang dibaca satu bunyi.
Contoh Kluster/Konsonan Rangkap
ng: yang
ny: nyonya
kh: khusus, khas, khitmad,
pr: produksi, prakarya, proses
kr: kredit, kreatif, kritis, krisis
sy: syarat, syah, syukur
str: struktur, strata, strategi
spr: sprai
tr : tradisi, tragedi, tragis, trauma, transportasi.
b. Bunyi Supra Segmental
Dalam suatu runtutan bunyi yang sambung-bersambung terus-menerus
diselangseling dengan jeda singkat atau agak singkat, disertai dengan
keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, ada bunyi
yang dapat disegmentasikan yang disebut bunyi segmental.
1 . Tekanan atau Stres
Menyangkut masalah keras lunaknya bunyi.
2 . Nada atau Pitch
Berkenaan dengan tinggi rendahnya bunyi.
3 Jeda atau Persendian
Berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar.
Jeda antar kata, diberi tanda ( / )
Jeda antar frase, diberi tanda ( // )
Jeda antar kalimat, diberi tanda ( # )
Perhatikan contoh aplikasi bunyi berikut ini!
Doa
Karya Chairil Anwar
Tuhanku//
Dalam/ termangu//
Aku// masih/ menyebut/ namaMu///
Biar/ susah sungguh//
Mengingat Kau// penuh seluruh///
CayaMu// panas suci //
Tinggal// kerdip lilin// di kelam sunyi///
Tuhanku//
aku/ hilang bentuk//
remuk///
Aku/ mengembara// di negeri asing//
Tuhanku//
di pintuMu// aku// mengetuk//
aku// tidak bisa// berpaling#
5. Kajian Morfologi
Jika fonologi mengidentifikasi satuan dasar bahasa sebagai bunyi,
morfologi mengidentifikasi satuan dasar bahasa sebagai satuan
gramatikal. Bagian dari kompetensi linguistik seseorang termasuk
pengetahuan mengenai morfologi bahasa, yang meliputi kata, pengucapan
kata tersebut, maknanya, dan bagaimana unsur-unsur tersebut digabungkan
(Fromkin & Rodman, 1998:96). Morfologi mempelajari struktur internal
kata-kata. Jika pada umumnya kata-kata dianggap sebagai unit terkecil
dalam sintaksis, jelas bahwa dalam kebanyakan bahasa, suatu kata dapat
dihubungkan dengan kata lain melalui aturan. Misalnya, penutur bahasa
Inggris mengetahui kata dog, dogs, dan dog-catcher memiliki hubungan
yang erat. Penutur bahasa Inggris mengetahui hubungan ini dari
pengetahuan mereka mengenai aturan pembentukan kata dalam bahasa
Inggris.
Aturan yang dipahami penutur mencerminkan pola-pola tertentu (atau
keteraturan) mengenai bagaimana kata dibentuk dari satuan yang lebih
kecil dan bagaimana satuan-satuan tersebut digunakan dalam wicara. Jadi
dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah cabang linguistik yang
mempelajari pola pembentukan kata dalam bahasa, dan berusaha merumuskan
aturan yang menjadi acuan pengetahuan penutur bahasa tersebut. Dalam
hubungannya dengan sintaksis, beberapa relasi gramatikal dapat
diekspresikan baik secara infleksional (morfologis) atau secara
sintaksis (sebagai bagian dari struktur kalimat), misalnya pada kalimat
He loves books dan He is a lover of books. Apa yang di dalam suatu
bahasa ditandai dengan afiks infleksional, dalam bahasa lain ditandai
dengan urutan kata dan dalam bahasa yang lain lagi dengan kata fungsi.
Misalnya dalam bahasa Inggris, kalimat Maxim defends Victor (Maxim
mengalahkan Victor) memiliki makna yang berbeda dengan kalimat Victor
defends Maxim (Victor mengalahkan Maxim). Urutan kata sangat penting.
Demikian halnya jika bahasa Inggris memiliki penanda have dan be,
bahasa Indonesia menggunakan afiksasi untuk mengungkapkan hal yang sama,
misalnya: Dokter memeriksa saya.
The doctor examinesme. Saya diperiksa dokter.
I was examined by the doctor.
Selain itu, semua morfem memiliki struktur gramatikal yang dilekatkan
padanya. Terkadang, makna gramatikal hanya tampak jika morfem tersebut
digabungkan dengan morfem lain (seperti pada afiks yang dapat mengubah
makna gramatikal). Morfem infleksional adalah morfem yang tidak memiliki
makna di luar makna gramatikal, seperti penanda jamak â€s†dalam
bahasa Inggris. Tetapi morfem lain memiliki pengecualian, seperti pada
kata hit – hit (present – past), atau sheep – sheep (tunggal –
jamak). Tata bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun morfem.
Sebab morfem bukan merupakan satuan dalam sintaksis dan tidak semua
morfem punya makna secara filosofis. Morfem dikenalkan oleh kaum
strukturalis pada awal abad ke-20.
5.1 Identifikasi Morfem
Untuk menentukan bahwa sebuah satuan bentuk merupakan morfem atau
bukan kita harus membandingkan bentuk tersebut di dalam bentuk lain.
Bila satuan bentuk tersebut dapat hadir secara berulang dan punya makna
sama, maka bentuk tersebut merupakan morfem. Dalam studi morfologi
satuan bentuk yang merupakan morfem diapit dengan kurung kurawal ({ })
kata kedua menjadi {ke} + {dua}.
5.2 Morf dan Alomorf
Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya.
Sedangkan Alomorf nama untuk bentuk bila sudah diketahui status
morfemnya (bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama)
.
Melihat . me-
Membawa . mem-
Menyanyi . meny-
Menggoda . meng-
5.3 Klasifikasi Morfem
Klasifikasi morfem didasarkan pada kebebasannya, keutuhannya, maknanya dan sebagainya.
5.3.1 Morfem bebas dan Morfem terikat
Morfem Bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat
muncul dalam pertuturan. Sedangkan yang dimaksud dengan morfem terikat
adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat
muncul dalam pertuturan. Berkenaan dengan morfem terikat ada beberapa
hal yang perlu dikemukakan. Pertama bentuk-bentuk seperti : juang,
henti, gaul, dan , baur termasuk morfem terikat. Sebab meskipun bukan
afiks, tidak dapat muncul dalam petuturan tanpa terlebih dahulu
mengalami proses morfologi. Bentuk lazim tersebut disebut prakategorial.
Kedua, bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk
prakategorial karena bentuk tersebut merupakan pangkal kata, sehingga
baru muncul dalam petuturan sesudah mengalami proses morfologi. Ketiga
bentuk seperti : tua (tua renta), kerontang (kering kerontang), hanya
dapat muncul dalam pasangan tertentu juga, termasuk morfem terikat.
Keempat, bentuk seperti ke, daripada, dan kalau secara morfologis
termasuk morfem bebas. Tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat.
Kelima disebut klitika. Klitka adalah bentuk singkat, biasanya satu
silabel, secara fonologis tidak mendapat tekanan, kemunculannya dalam
pertuturan selalu melekat tetapi tidak dipisahkan .
5.3.2 Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Morfem utuh adalah morfem dasar, merupakan kesatuan utuh. Morfem
terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua bagian terpisah.
Catatan yang perlu diperhatikan dalam morfem terbagi. Pertama, semua
afiks disebut konfiks termasuk morfem terbagi. Untuk menentukan konfiks
atau bukan, harus diperhatikan makna gramatikal yang disandang. Kedua,
ada afiks yang disebut sufiks yakni yang disisipkan di tengah morfem
dasar.
5.3.3 Morfem Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem segmental.
Morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur
suprasegmental seperti tekanan, nada, durasi.
5.3.4 Morfem beralomorf zero
Morfem beralomorf zero adalah morfem yang salah satu alomorfnya tidak
berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi melainkan kekosongan.
5.3.5 Morfem bermakna Leksikal dan Morfem tidak bermakna Leksikal
Morfem bermakna leksikal adalah morfem yang secara inheren memiliki
makna pada dirinya sendiri tanpa perlu berproses dengan morfem lain.
Sedangkan morfem yang tidak bermakna leksikal adalah tidak mempunyai
makna apa-apa pada dirinya sendiri.
5.3.6 Morfem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal (stem), dan Akar(root)
Morfem dasar bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi bisa
diulang dalam suatu reduplikasi, bisa digabung dengan morfem lain dalam
suatu proses komposisi. Pangkal digunakan untuk menyebut bentuk dasar
dari proses infleksi. Akar digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak
dapat dianalisis lebih jauh.
6. Kajian Sintaksis
Morfosintaksis yaitu gabungan dari morfologi dan sintaksis. Morfologi
membicarakan tentang struktur internal kata. Sintaksis membicarakan
tentang hubungan kata dengan kata lain.
6.1 Struktur Sintaksis
Struktur sintaksis ada tiga yaitu fungsi sintaksis, kategori
sintaksis, dan peran sintaksis. Dalam fungsi sintaksis ada hal-hal
penting yaitu subjek, predikat, dan objek. Dalam kategori sintaksis ada
istilah nomina, verba, adjektiva, dan numeralia. Dalam peran sintaksis
ada istilah pelaku, penderita, dan penerima. Menurut Verhaar (1978),
fungsi-fungsi S, P, O, dan K merupakan kotak kosong yang diisi kategori
dan peranan tertentu.
Contohnya: Kalimat aktif: Nenek melirik kakek tadi pagi.
S P O K
pelaku sasaran
Kalimat pasif: Kakek dilirik nenek tadi pagi.
S P O K
sasaran pelaku
Agar menjadi kalimat berterima, maka fungsi S dan P harus berurutan
dan tidak disisipi kata di antara keduanya. Struktur sintaksis minimal
mempunyai fungsi subjek dan predikat seperti pada verba intransitif yang
tidak membutuhkan objek.
Contohnya: Kakek makan.
Verba transitif selalu membutuhkan objek.
Contohnya: Nenek membersihkan kamarnya.
Menurut Djoko Kentjono(1982), hadir tidaknya fungsi sintaksis tergantung konteksnya.
Contohnya: Kalimat seruan: Hebat!
Kalimat jawaban: Sudah!
Kalimat perintah: Baca!
Fungsi-fungsi sintaksis harus diisi kategori-kategori yang sesuai.
Fungsi subjek diisi kategori nomina, fungsi predikat diisi kategori
verba, fungsi objek diisi kategori nomina, dan fungsi keterangan diisi
kategori adverbia.
Contohnya: Dia guru.(salah) Dia adalah guru.(benar)
S O S P O
Kata “adalah” pada kalimat tersebut merupakan verba kopula, seperti to be pada bahasa Inggris.
- Berenang menyehatkan tubuh.
S P O
Kata “berenang” menjadi berkategori nomina karena yang dimaksud
adalah pekerjaan berenangnya. Peran dalam struktur sintaksis tergantung
pada makna gramatikalnya. Kata yang bermakna pelaku dan penerima tetap
tidak berubah walaupun kata kerja yang aktif diganti menjadi pasif.
Pelaku berarti objek yang melakukan pekerjaan. Penerima berarti objek
yang dikenai pekerjaan. Makna pelaku dan sasaran merupakan makna
gramatikal. Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan
kata, bentuk kata, dan intonasi. Perbedaan urutan kata dapat menimbulkan
perbedaan makna.
Contohnya: tiga jam – jam tiga.
Nenek melirik kakek. – Kakek melirik nenek.
Dalam kalimat aktif transitif mempunyai kendala gramatikal yaitu fungsi predikat dan objek tidak dapat diselipi kata keterangan.
Contohnya: Nenek melirik tadi pagi kakek.(salah)
Intonasi merupakan penekanan. Perbedaan intonasi juga menimbulkan
perbedaan makna. Intonasi ada tiga macam yaitu intonasi deklaratif untuk
kalimat bermodus deklaratif atau berita dengan tanda titik, intonasi
interogatif dengan tanda tanya, dan intonasi interjektif dengan tanda
seru. Intonasi juga dapat berupa nada naik atau tekanan.
Contohnya: Kucing / makan tikus mati.
Kucing makan tikus / mati.
Kalimat tersebut sudah berbeda makna karena tafsiran gramatikal yang
berbeda yang disebut ambigu atau taksa. Konektor bertugas menghubungkan
konstituen satu dengan yang lain. dilihat dari sifatnya, ada dua macam
konektor. Konektor koordinatif menghubungkan dua konstituen sederajat.
Konjungsinya seperti dan, atau, dan tetapi. Contohnya: Nenek dan kakek
pergi ke sawah. Konektor subordinatif menghubungkan dua konstituen yang
tidak sederajat. Konjungsinya seperti kalau, meskipun, dan karena.
Contohnya: Kalau diundang, saya tentu akan datang.
7. Kajian Semantik
Status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi dan
sintaksis adalah tidak sama. Semantik dengan objeknya yakni makna,
berada di seluruh tataran, yaitu berada di tataran fonologi, morfologi
dan sintaksis. Makna yang menjadi objek semantik sangat tidak jelas, tak
dapat diamati secara empiris, sehingga semantik diabaikan. Tetapi, pada
tahun 1965, Chomsky menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu
komponen dari tata bahasa dan makna kalimat sangat ditentukan oleh
semantik ini.
7.1 Hakikat Makna
Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda bahasa
terdiri dari 2 komponen, yaitu komponen signifian (yang mengartikan)
yang berwujud runtunan bunyi, dan komponen signifie (yang diartikan)
yang berwujud pengertian atau konsep (yang dimiliki signifian). Menurut
teori yang dikembangkan Ferdinand de Saussure, makna adalah pengertian
atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik.
Jika tanda linguistik tersebut disamakan identitasnya dengan kata atau
leksem, berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh
setiap kata atau leksem. Jika disamakan dengan morfem, maka makna adalah
pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik morfem
dasar maupun morfem afiks.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata, makna kata atau
leksem itu seringkali terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan
juga acuannya. Banyak pakar menyatakan bahwa kita baru dapat menentukan
makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks
kalimatnya. Pakar itu juga mengatakan bahwa makna kalimat baru dapat
ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau
konteks situasinya. Bahasa bersifat arbiter, sehingga hubungan antara
kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
7.2 Jenis Makna
a. Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski
tanpa konteks apapun. Dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah
makna yang sebenarnya, sesuai dengan hasil observasi indera kita atau
makna apa adanya. Makna gramatikal adalah makna yang ada jika terjadi
proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau
kalimatisasi. Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata
yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan
dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa
itu.
b. Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem dikatakan bermakna referensial jika ada
referensnya atau acuannya. Ada sejumlah kata yang disebut kata diektik,
yang acuannya tidak menetap pada satu wujud. Misalnya : kata-kata
pronominal seperti, dia, saya dan kamu.
c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya
yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna denotatif sebenarnya sama dengan
makna leksikal. Makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada
makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang yang
menggunakan kata tersebut. Konotasi sebuah kata bisa berbeda antara
seseorang dengan orang lain.
d. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi menjadi makna konseptual dan makna
asosiatif. Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah
leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Makna konseptual
sebenarnya sama dengan makna leksikal, deotatif dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
bahasa. Makna asosiasi sama dengan perlambangan yang digunakan oleh
suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai
kemiripan sifat, keadaaan atau ciri-ciri yang ada pada leksem tersebut.
Makna konotatif termasuk dalam makna asosiatif, karena kata-kata
tersebut berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna
stilistika berkenaan dengan perbedaan penggunaan kata sehubungan dengan
perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Makna afektif berkenaan dengan
perasaan pembicara terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang
dibicarakan. Makna kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu
yang dimiliki sebuah kata dengan kata-kata yang bersinonim.
e. Makna Kata dan Makna Istilah
Pada awalnya, makna yang dimiliki oleh sebuah kata adalah makna
leksikal, denotatif atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya
makna kata itu baru menjadi jelas jika kata itu sudah berada di dalam
konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Istilah mempunyai makna yang
pasti, jelas, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh
karena itu, istilah sering dikatakan bebas konteks, sedangkan kata tidak
bebas konteks.
f. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.
Idiom terbagi atas idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah
idiom yang semua unsurnya telah melebur menjadi satu kesatuan. Sedangkan
idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki
makna leksikal sendiri. Peribahasa memilliki makna yang masih dapat
ditelusuri dari makna unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna
asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
7.3 Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan yang lain.
a. Sinonim
Yaitu hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara
satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Dua buah ujaran yang
bersinonim maknanya tidak akan sama persis. Ketidaksamaan itu terjadi
karena faktor :
1. Faktor waktu
2. Faktor tempat atau wilayah
3. Faktor keformalan
4. Faktor sosial
5. Faktor bidang kegiatan
6. Faktor nuansa makna
b. Antonim
Yaitu hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya
menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan
yang lain.
c. Polisemi
Yaitu kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Dalam kasus
polisemi, biasanya makna pertama adalah makna sebenarnya, yang lain
adalah maknamakna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen
makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena itu,
makna-makna pada sebuah kata atau satuan ujaran yang polisemi ini masih
berkaitan satu dengan yang lain.
d. Homonim
Yaitu dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan”
sama dan maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau
bentuk ujaran yang berlainan. Pada kasus homonim ada dua istilah lain
yang biasa dibicarakan, yaitu homofon dan homograf. Homofon adalah
adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan
ejaannya. Homograf adalah bentuk ujaran yang ortografinya dan ejaannya
sama, tetapi ucapan dan maknanya berbeda. Perbedaan antara homonim
dengan polisemi adalah bahwa homonim yaitu dua buah bentuk ujaran atau
lebih yang “kebetulan” bentuknya sama, dan maknanya berbeda, sedangkan
polisemi yaitu sebuah bentuk ujaran yang memiliki makna lebih dari satu.
Dengan demikian jelas bahwa antara keduanya tidak punya hubungan sama
sekali.
e. Hiponimi
Yaitu hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya
tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Relasi hiponimi bersifat
searah.
f. Ambiguitas atau Ketaksaan
Yaitu gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran
gramatikal yang berbeda. Ketaksaan terjadi dalam bahasa tulis akibat
perbedaan gramatikal karena ketiadaan unsur lisan, karena
ketidakcermatan dalam menyusun konstruksi beranaforis. Perbedaan homonim
dengan ambiguiti adalah bahwa homonim yaitu dua buah bentuk atau lebih
yang kebetulan bentuknya sama, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk
dengan dua tafsiran makna atau lebih. Perbedaan polisemi dengan
ambiguitas adalah bahwa polisemi biasanya hanya pada tataran kata, dan
makna-makna yang dimilikinya yang lebih dari satu itu, sedangkan
ambiguiti adalah satu bentuk ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu
sebagai akibat perbedaan tafsiran gramatikal.
g. Redudansi
Yaitu kata yang berlebih-lebihan yang menggunakan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.
7.4 Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah,
tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Dalam masa yang
relative singkat, makna sebuah kata tidak akan berubah, tetapi dalam
waktu yang relative lama ada kemungkinan makna tersebut akan berubah.
Ini tidak berlaku untuk semua kosakata, tetapi hanya terjadi pada sebuah
kata saja, yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
2. Perkembangan sosial budaya
3. Perkembangan pemakaian kata
4. Pertukaran tanggapan indera (sinestesia)
5. Adanya asosiasi
Asosiasi dapat berupa hubungan wadah dengan isinya, dan juga berupa
hubungan waktu dengan kejadian. Perubahan makna ada beberapa macam. Ada
perubahan meluas, menyempit dan berubah total. Perubahan yang meluas
yaitu jika tadinya sebuah kata bermakna A, maka kemudian menjadi
bermakna B. Perubahan yang menyempit yaitu jika tadinya sebuah kata
memiliki makna yang sangat umum, tetapi kini maknanya menjadi khusus
atau sangat khusus. Perubahan makna total yaitu makna yang dimiliki
sekarang sudah jauh berbeda dengan makna aslinya. Dalam pembicaraan
tentang perubahan makna, dikenal usaha untuk menghaluskan dan
mengkasarkan ungkapan. Usaha untuk menghaluskan ini dikenal dengan nama
eufemia atau eufemisme. Sedangkan usaha untuk mengkasarkan dikenal
dengan nama disfemia, usaha ini sengaja dilakukan untuk mencapai efek
pembicaraan menjadi tegas.
Penutup
Dewasa ini, perkembangan linguistik sangat pesat. Aspek lain yang
berkaitan dengan bidang-bidang kajian bahasa juga berkembang. Kajian
tentang bahasa tidak hanya meliputi satu aspek saja, tetapi telah meluas
ke bidang atau aspek-aspek di luar bahasa yang berkaitan dengan
penggunaan bahasa dan kehidupan manusia.
Teori linguistik merupakan cabang linguistik yang memusatkan
perhatian pada teori umum dan metode-metode umum dalam penelitian
bahasa. Cabang linguistik bisa terbagi atas fonologi, morfologi,
sintaksis, dan Semantik. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
kajian tentang linguistik lanjut sangat luas dan menarik untuk
diperbincangkan di kesempatan berikutnya.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A.Chaedar. 1993.
Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa Bandung
Alwi, Hasan, dkk. 2000.
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Arifin, Zaenal dan Junaiyah. 2007.
Morfologi: Bentuk, Makna, dan Fungsi. Jakarta: Grasindo
Chaer, Abdul. 1994.
Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2003.
Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Cahyono, Bambang Yudi. 1994.
Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press
De Saussure, Ferdinand. 1973/1988.
Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan
Cours de Linguistique Generale oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Finoza, Lamuddin. 2006.
Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia
http://susandi.wordpress.com/seputar-bahasa/kajian-linguistik/
I.G.N. Oka dan Suparno. 1994.
Linguistik Umum. Jakarta: Dirjendikti Depdikbud
Keraf, Gorys. 1993.
Komposisi. Flores: Nusa Indah
Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder. 2005.
Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Matthews, Peter. 1997.
The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford University Press
Muslich, Masnur. 2008.
Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Oka, I.G.N dan Suparno. 1994.
Linguistik Umum. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdikbud
Ramlan, M. 1996.
Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono
Verharr, J.W.M. 2008.
Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press